Pemerintah Harus Konsisten dan Komitmen Perhatikan Isu Diskriminasi
Selasa, 23 Juni 2020 - 15:43 WIB
JAKARTA - Ahli Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Riau (UIR), Ranggi Ade Febrian meminta pemerintah konsisten dan komitmen dalam memperhatikan isu-isu diskriminasi di tanah air.
Ranggi mencatat setidaknya ada lima peristiwa besar di Indonesia yang terkait suku, ras, agama dan antargolongan (SARA). (Baca juga: Di Dewan HAM, RI Serukan Tindakan Tegas Terhadap Aksi Kekerasan Rasial)
"Pertama itu peristiwa konflik yang ada di Ambon. Kemudian konflik yang ada di Sampit, kemudian kerusuhan Mei 1998, kemudian Ahmadiyah di Mataram tentang pengungsi Ahmadiyah, kemudian kelima ada konflik Lampung Selatan," ujar Ranggi dalam Webinar daring SINDO Goes to Campus bertajuk Peran Media Meredam Diskriminasi Sosial, Selasa (23/6/2020).
(Baca juga: 7 Tapol Bakal Dibebaskan, Masyarakat Papua Diminta Rajut Kembali Relasi Sosial)
Dia menilai, lima peristiwa itu terjadi akibat pemerintah tidak menaruh perhatian yang sangat penting terhadap isu diskriminasi. Dia berpendapat, pemerintah seperti menganggap isu diskriminasi itu sebagai hal yang tidak sensitif.
Sehingga, lanjut dia, lima peristiwa itu meledak, menimbulkan korban jiwa yang luar biasa. "Ke depannya, pemerintah harus konsisten dan komitmen dalam memperhatikan isu-isu diskriminasi ini," ungkapnya.
Dia melanjutkan, pemerintah sudah membuat regulasi, yakni Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. "Nah dalam UU ini jelas tidak ada toleransi bagi pelaku atau kelompok-kelompok yang melakukan diskriminasi," katanya.
Karena, lanjut dia, UU tersebut diteruskan atau diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2010 tentang tata cara pengawasan terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
"Makanya di sini pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam, hanya saja harus terus konsisten dan komitmen untuk menjaga isu-isu diskriminasi ini digiringkan dari awal tidak seperti bom waktu tadi pada lima peristiwa besar di Indonesia," pungkasnya.
Ranggi mencatat setidaknya ada lima peristiwa besar di Indonesia yang terkait suku, ras, agama dan antargolongan (SARA). (Baca juga: Di Dewan HAM, RI Serukan Tindakan Tegas Terhadap Aksi Kekerasan Rasial)
"Pertama itu peristiwa konflik yang ada di Ambon. Kemudian konflik yang ada di Sampit, kemudian kerusuhan Mei 1998, kemudian Ahmadiyah di Mataram tentang pengungsi Ahmadiyah, kemudian kelima ada konflik Lampung Selatan," ujar Ranggi dalam Webinar daring SINDO Goes to Campus bertajuk Peran Media Meredam Diskriminasi Sosial, Selasa (23/6/2020).
(Baca juga: 7 Tapol Bakal Dibebaskan, Masyarakat Papua Diminta Rajut Kembali Relasi Sosial)
Dia menilai, lima peristiwa itu terjadi akibat pemerintah tidak menaruh perhatian yang sangat penting terhadap isu diskriminasi. Dia berpendapat, pemerintah seperti menganggap isu diskriminasi itu sebagai hal yang tidak sensitif.
Sehingga, lanjut dia, lima peristiwa itu meledak, menimbulkan korban jiwa yang luar biasa. "Ke depannya, pemerintah harus konsisten dan komitmen dalam memperhatikan isu-isu diskriminasi ini," ungkapnya.
Dia melanjutkan, pemerintah sudah membuat regulasi, yakni Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. "Nah dalam UU ini jelas tidak ada toleransi bagi pelaku atau kelompok-kelompok yang melakukan diskriminasi," katanya.
Karena, lanjut dia, UU tersebut diteruskan atau diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2010 tentang tata cara pengawasan terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
"Makanya di sini pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam, hanya saja harus terus konsisten dan komitmen untuk menjaga isu-isu diskriminasi ini digiringkan dari awal tidak seperti bom waktu tadi pada lima peristiwa besar di Indonesia," pungkasnya.
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda