BPOM Ungkap 7 Penyakit yang Bisa Dipicu Senyawa BPA
Jum'at, 03 Juni 2022 - 20:19 WIB
Dijelaskan bahwa otoritas keamanan pangan Eropa, EFSA, pada 2010 menetapkan ambang TDI untuk BPA sebesar 50 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun lima tahun kemudian, pada 2015, seiring kemunculan berbagai riset dan penelitian mutakhir tentang BPA sebagai endocrine disruptor yang bisa memicu sejumlah penyakit serius, EFSA memutuskan memperkecil ambang TDI menjadi 4 mikrogram.
"Pada akhir 2021, TDI dipatok turun jadi 0,00004 mikrogram atau 100.000 kali lebih rendah," kata Rita. "Inilah alasan kenapa Uni Eropa menurunkan level migrasi BPA menjadi 0,05 bpj (bagian per juta) dari sebelumnya 0,6 bpj pada 2011," katanya.
Sebagai perbandingkan, sejak 2019, Indonesia mematok level migrasi BPA 0,6 bpj sebagai syarat yang harus dipatuhi semua produsen pangan, termasuk produsen galon bermerek, yang menggunakan kemasan dari jenis plastik polikarbonat (pembuatannya menggunakan BPA). Namun, menurut Rita, hasil pengecekan paska pasar yang dilakukan BPOM atas galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat periode 2021-2022 menunjukkan level migrasi BPA tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
"Hasil pengecekan menunjukkan ada 3,4% dari total sampel galon air minum pada sarana distribusi dan peredaran yang level migrasi BPA-nya sudah di atas ambang batas aman 0,6 bpj," katanya.
Sementara itu, hasil uji juga menunjukkan level migrasi yang mengkhawatirkan, berada di antara ambang batas 0,05-0,6 bpj, mencapai 46,97% dari total sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 30,91% pada sarana produksi. "Ini artinya migrasi BPA pada galon guna ulang sudah sangat mengkhawatirkan dan karena itulah BPOM hadir untuk menyusun regulasi terkait pelabelan risiko BPA," katanya.
Sekaitan itu, Rita menyebut draf regulasi pelabelan tersebut sekaligus bertujuan mendidik publik, menunaikan hak konsumen atas informasi produk yang detil dan memecut industri air kemasan untuk berlomba menghadirkan kemasan yang lebih aman dan sehat untuk masyarakat luas.
"Pada akhir 2021, TDI dipatok turun jadi 0,00004 mikrogram atau 100.000 kali lebih rendah," kata Rita. "Inilah alasan kenapa Uni Eropa menurunkan level migrasi BPA menjadi 0,05 bpj (bagian per juta) dari sebelumnya 0,6 bpj pada 2011," katanya.
Sebagai perbandingkan, sejak 2019, Indonesia mematok level migrasi BPA 0,6 bpj sebagai syarat yang harus dipatuhi semua produsen pangan, termasuk produsen galon bermerek, yang menggunakan kemasan dari jenis plastik polikarbonat (pembuatannya menggunakan BPA). Namun, menurut Rita, hasil pengecekan paska pasar yang dilakukan BPOM atas galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat periode 2021-2022 menunjukkan level migrasi BPA tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
"Hasil pengecekan menunjukkan ada 3,4% dari total sampel galon air minum pada sarana distribusi dan peredaran yang level migrasi BPA-nya sudah di atas ambang batas aman 0,6 bpj," katanya.
Sementara itu, hasil uji juga menunjukkan level migrasi yang mengkhawatirkan, berada di antara ambang batas 0,05-0,6 bpj, mencapai 46,97% dari total sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 30,91% pada sarana produksi. "Ini artinya migrasi BPA pada galon guna ulang sudah sangat mengkhawatirkan dan karena itulah BPOM hadir untuk menyusun regulasi terkait pelabelan risiko BPA," katanya.
Sekaitan itu, Rita menyebut draf regulasi pelabelan tersebut sekaligus bertujuan mendidik publik, menunaikan hak konsumen atas informasi produk yang detil dan memecut industri air kemasan untuk berlomba menghadirkan kemasan yang lebih aman dan sehat untuk masyarakat luas.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda