BPOM Ungkap 7 Penyakit yang Bisa Dipicu Senyawa BPA
loading...
A
A
A
JAKARTA - Deputi Bidang Pengawasan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) Rita Endang mengungkapkan adanya tujuh pernyakit yang bisa dipicu oleh Bisfenol A ( BPA ). Senyawa sintetis organik ini banyak terdapat di galon guna yang saat ini beredar luas di masyarakat.
Menurut Rita, BPA termasuk dalam endoktrin disruptor atau bahan kimia yang dapat mengganggu endoktrin atau sistem hormon tubuh, khususnya estrogen. Gangguan sistem hormon tersebut utamanya berdampak pada sistem reproduksi, baik pada pria dan wanita.
"Gangguan dapat menyebabkan kemandulan (infertilitas), menurunnya jumlah dan kualitas sperma, feminisasi pada janin laki-laki, gangguan libido, sulit ejakulasi," kata Rita dalam sebuah diskusi terkait perlindungan konsumen air minum kemasan di Jakarta dikutip, Jumat (3/6/2022).
Gangguan lainnya berupa munculnya penyakit tidak menular semisal diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal kronis, kanker prostat, dan kanker payudara. Selain itu, masih ada efek serius berupa gangguan perkembangan kesehatan mental dan autisme pada anak-anak.
"Data tersebut merujuk pada hasil riset dan kajian di berbagai negara, termasuk dari dalam negeri yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga," kata Rita.
Dalam draf revisi kedua Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan, yang dipublikasi pertama kali pada November 2021, BPOM mewajibkan produsen air kemasan yang menggunakan galon berbahan plastik polikarbonat untuk memasang label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali mampu membuktikan sebaliknya. Draf juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan selama tiga tahun sejak pengesahan.
Baca juga: Desakan Kebijakan Pelabelan BPA pada Galon AMDK Terus Mencuat
Rita menyatakan penyusunan draf, yang saat ini memasuki fase revisi lanjutan di BPOM, antara lain merujuk pada tren pengetatan ambang Tolerable Daily Intake (jumlah BPA yang wajar dikonsumsi tubuh) di sejumlah negara.
"Aturan TDI semakin ketat, termasuk di Eropa" ujarnya.
Dijelaskan bahwa otoritas keamanan pangan Eropa, EFSA, pada 2010 menetapkan ambang TDI untuk BPA sebesar 50 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun lima tahun kemudian, pada 2015, seiring kemunculan berbagai riset dan penelitian mutakhir tentang BPA sebagai endocrine disruptor yang bisa memicu sejumlah penyakit serius, EFSA memutuskan memperkecil ambang TDI menjadi 4 mikrogram.
"Pada akhir 2021, TDI dipatok turun jadi 0,00004 mikrogram atau 100.000 kali lebih rendah," kata Rita. "Inilah alasan kenapa Uni Eropa menurunkan level migrasi BPA menjadi 0,05 bpj (bagian per juta) dari sebelumnya 0,6 bpj pada 2011," katanya.
Sebagai perbandingkan, sejak 2019, Indonesia mematok level migrasi BPA 0,6 bpj sebagai syarat yang harus dipatuhi semua produsen pangan, termasuk produsen galon bermerek, yang menggunakan kemasan dari jenis plastik polikarbonat (pembuatannya menggunakan BPA). Namun, menurut Rita, hasil pengecekan paska pasar yang dilakukan BPOM atas galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat periode 2021-2022 menunjukkan level migrasi BPA tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
"Hasil pengecekan menunjukkan ada 3,4% dari total sampel galon air minum pada sarana distribusi dan peredaran yang level migrasi BPA-nya sudah di atas ambang batas aman 0,6 bpj," katanya.
Sementara itu, hasil uji juga menunjukkan level migrasi yang mengkhawatirkan, berada di antara ambang batas 0,05-0,6 bpj, mencapai 46,97% dari total sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 30,91% pada sarana produksi. "Ini artinya migrasi BPA pada galon guna ulang sudah sangat mengkhawatirkan dan karena itulah BPOM hadir untuk menyusun regulasi terkait pelabelan risiko BPA," katanya.
Sekaitan itu, Rita menyebut draf regulasi pelabelan tersebut sekaligus bertujuan mendidik publik, menunaikan hak konsumen atas informasi produk yang detil dan memecut industri air kemasan untuk berlomba menghadirkan kemasan yang lebih aman dan sehat untuk masyarakat luas.
Menurut Rita, BPA termasuk dalam endoktrin disruptor atau bahan kimia yang dapat mengganggu endoktrin atau sistem hormon tubuh, khususnya estrogen. Gangguan sistem hormon tersebut utamanya berdampak pada sistem reproduksi, baik pada pria dan wanita.
"Gangguan dapat menyebabkan kemandulan (infertilitas), menurunnya jumlah dan kualitas sperma, feminisasi pada janin laki-laki, gangguan libido, sulit ejakulasi," kata Rita dalam sebuah diskusi terkait perlindungan konsumen air minum kemasan di Jakarta dikutip, Jumat (3/6/2022).
Gangguan lainnya berupa munculnya penyakit tidak menular semisal diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal kronis, kanker prostat, dan kanker payudara. Selain itu, masih ada efek serius berupa gangguan perkembangan kesehatan mental dan autisme pada anak-anak.
"Data tersebut merujuk pada hasil riset dan kajian di berbagai negara, termasuk dari dalam negeri yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga," kata Rita.
Dalam draf revisi kedua Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan, yang dipublikasi pertama kali pada November 2021, BPOM mewajibkan produsen air kemasan yang menggunakan galon berbahan plastik polikarbonat untuk memasang label peringatan "Berpotensi Mengandung BPA", kecuali mampu membuktikan sebaliknya. Draf juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan selama tiga tahun sejak pengesahan.
Baca juga: Desakan Kebijakan Pelabelan BPA pada Galon AMDK Terus Mencuat
Rita menyatakan penyusunan draf, yang saat ini memasuki fase revisi lanjutan di BPOM, antara lain merujuk pada tren pengetatan ambang Tolerable Daily Intake (jumlah BPA yang wajar dikonsumsi tubuh) di sejumlah negara.
"Aturan TDI semakin ketat, termasuk di Eropa" ujarnya.
Dijelaskan bahwa otoritas keamanan pangan Eropa, EFSA, pada 2010 menetapkan ambang TDI untuk BPA sebesar 50 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun lima tahun kemudian, pada 2015, seiring kemunculan berbagai riset dan penelitian mutakhir tentang BPA sebagai endocrine disruptor yang bisa memicu sejumlah penyakit serius, EFSA memutuskan memperkecil ambang TDI menjadi 4 mikrogram.
"Pada akhir 2021, TDI dipatok turun jadi 0,00004 mikrogram atau 100.000 kali lebih rendah," kata Rita. "Inilah alasan kenapa Uni Eropa menurunkan level migrasi BPA menjadi 0,05 bpj (bagian per juta) dari sebelumnya 0,6 bpj pada 2011," katanya.
Sebagai perbandingkan, sejak 2019, Indonesia mematok level migrasi BPA 0,6 bpj sebagai syarat yang harus dipatuhi semua produsen pangan, termasuk produsen galon bermerek, yang menggunakan kemasan dari jenis plastik polikarbonat (pembuatannya menggunakan BPA). Namun, menurut Rita, hasil pengecekan paska pasar yang dilakukan BPOM atas galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat periode 2021-2022 menunjukkan level migrasi BPA tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
"Hasil pengecekan menunjukkan ada 3,4% dari total sampel galon air minum pada sarana distribusi dan peredaran yang level migrasi BPA-nya sudah di atas ambang batas aman 0,6 bpj," katanya.
Sementara itu, hasil uji juga menunjukkan level migrasi yang mengkhawatirkan, berada di antara ambang batas 0,05-0,6 bpj, mencapai 46,97% dari total sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 30,91% pada sarana produksi. "Ini artinya migrasi BPA pada galon guna ulang sudah sangat mengkhawatirkan dan karena itulah BPOM hadir untuk menyusun regulasi terkait pelabelan risiko BPA," katanya.
Sekaitan itu, Rita menyebut draf regulasi pelabelan tersebut sekaligus bertujuan mendidik publik, menunaikan hak konsumen atas informasi produk yang detil dan memecut industri air kemasan untuk berlomba menghadirkan kemasan yang lebih aman dan sehat untuk masyarakat luas.
(abd)