Masjid Ramah Lingkungan
Jum'at, 03 Juni 2022 - 11:05 WIB
Gestur baik sudah ditunjukkan pada COP22 2016 di Maroko dengan mengarusutamakan agenda proyek “Masjid Hijau”. Negara itu menginisiasi modifikasi desain panel surya dan LED ke dalam 600-an masjid. Dengan proyek itu, pada 2030 Maroko menargetkan untuk tidak mengimpor energinya, melainkan memproduksi 52% energi yang dihasilkan dengan sumber-sumber tebarukan. Bahkan Masjid Jamia al-Kutubiyya di Marakesh yang dibangun pada abad ke-12, dengan penambahan panel surya, telah menjadi masjid energi-plus atau berhasil menciptakan lebih banyak energi dibandingkan mengonsumsinya.
Langkah maju itu diikuti oleh Greenpeace Indonesia pada 29 Oktober 2021 dengan mendorong lima target; pembentukan komunitas masjid yang berkomitmen pada masjid hijau, penanaman pohon di sekiling masjid, pengaturan ulang penggunaan air wudhu, pengelolaan sampah organik di lingkungan masjid, dan penggunaan tenaga surya pada masjid. Gerakan ini merupakan bagian dari kampanye global Ummah for Earth yang menginginkan masjid sebagai cerminan rahmatan li alamin (untuk semesta alam).
Secara konkret, Indonesia juga memiliki gerakan ecoMasjid yang berbasis pemberdayaan masjid untuk pelestarian lingkungan hidup. Gerakan itu menghimpun 206 masjid. Jumlah ini tentu masih sedikit bila dibandingkan data masjid Kementerian Agama RI yang mencapai 741.991.
Mereka menginisiasi banyak inovasi seperti embung desa, kompor biomasa, tungku bakar sampah tanpa asap, penyediaan air bersih desa dari pengelolaan air wudhu, dan listrik surya. Salah satu inovasi mereka, 300 Keran Hemat Air yang menekan penggunaan air hingga 50%, telah digunakan di Pondok Pesantren Al-Amanah dan Azzikra.
Dari Isu Elitis ke Populis
Barangkali kampanye Masjid Hijau di Indonesia masih menjadi isu elitis, namun bila melihat masjid-masjid ramah lingkungan di Turki, usaha itu sangat mungkin menjadi sebuah gerakan populis. Setidaknya ada dua faktor mengapa kampanye tersebut bisa menjadi gerakan populis; kebudayaan yang menjadi basis inspirasi dan objektivikasi negara terhadap kebudayaan tersebut.
Sejak masa Utsmani, masjid-masjid di Turki telah dibangun berdasarkan kedekatan dengan alam. Mudah sekali menemukan masjid-masjid tradisional di Turki yang menyediakan rumah bagi para hewan, seperti burung, anjing, dan kucing. Di sekililing masjid-masjid di Turki juga tidak sulit ditemukan pepohonan rindang yang menambah keasrian sekitar. Tradisi ini kemudian juga diterapkan di masjid-masjid yang dibangun di masa Republik.
Berkaitan dengan ini, negara melakukan objektivikasi terhadap tradisi itu, seperti mengesahkan undang-undang tentang hak hewan, yang di antaranya mengelola kesejahteraan hewan dan melarang sirkus-sirkus hewan serta mengubah nomenklatur Kementerian Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Lingkungan Hidup, Urbanisasi, dan Perubahan Iklim pada 2021 lalu. Dengan perubahan nomenklatur itu, negara dituntut untuk lebih aktif dalam mengampanyekan target bebas emisi karbon.
Kementerian menargetkan penggunaan bahan netral-karbon pada bangunan-bangunan publik yang digunakan secara populis, seperti stadion sepak bola dan masjid. Beberapa masjid di Turki, seperti Masjid Sakirin di Istanbul yang didesain oleh seorang perempuan, Zeynep Fadillioglu sudah dibangun dengan dominasi bahan netral-karbon.Indonesia sejatinya sudah memiliki percontohan masjid hijau, seperti Masjid Istiqlal dan Masjid Raya Pondok Indah. Untuk menjadikannya lebih populis, kehadiran negara sebagai creative minority, terutama dalam regulasi dan kampanye perlu lebih jauh.
Negara bisa mengakomodasi secara serius organisasi massa, pesantren, maupun komunitas keagamaan menjadi imam dalam melestarikan lingkungan berbasis masjid, seperti melalui perlombaan, lokakarya yang rutin, alokasi anggaran untuk panel surya, hingga kategorisasi masjid hijau. Dalam hal ini, dikaitkannya isu lingkungan terhadap persoalan agama membuat hubungan antara negara-agama terjalin positif dan produktif.
Langkah maju itu diikuti oleh Greenpeace Indonesia pada 29 Oktober 2021 dengan mendorong lima target; pembentukan komunitas masjid yang berkomitmen pada masjid hijau, penanaman pohon di sekiling masjid, pengaturan ulang penggunaan air wudhu, pengelolaan sampah organik di lingkungan masjid, dan penggunaan tenaga surya pada masjid. Gerakan ini merupakan bagian dari kampanye global Ummah for Earth yang menginginkan masjid sebagai cerminan rahmatan li alamin (untuk semesta alam).
Secara konkret, Indonesia juga memiliki gerakan ecoMasjid yang berbasis pemberdayaan masjid untuk pelestarian lingkungan hidup. Gerakan itu menghimpun 206 masjid. Jumlah ini tentu masih sedikit bila dibandingkan data masjid Kementerian Agama RI yang mencapai 741.991.
Mereka menginisiasi banyak inovasi seperti embung desa, kompor biomasa, tungku bakar sampah tanpa asap, penyediaan air bersih desa dari pengelolaan air wudhu, dan listrik surya. Salah satu inovasi mereka, 300 Keran Hemat Air yang menekan penggunaan air hingga 50%, telah digunakan di Pondok Pesantren Al-Amanah dan Azzikra.
Dari Isu Elitis ke Populis
Barangkali kampanye Masjid Hijau di Indonesia masih menjadi isu elitis, namun bila melihat masjid-masjid ramah lingkungan di Turki, usaha itu sangat mungkin menjadi sebuah gerakan populis. Setidaknya ada dua faktor mengapa kampanye tersebut bisa menjadi gerakan populis; kebudayaan yang menjadi basis inspirasi dan objektivikasi negara terhadap kebudayaan tersebut.
Sejak masa Utsmani, masjid-masjid di Turki telah dibangun berdasarkan kedekatan dengan alam. Mudah sekali menemukan masjid-masjid tradisional di Turki yang menyediakan rumah bagi para hewan, seperti burung, anjing, dan kucing. Di sekililing masjid-masjid di Turki juga tidak sulit ditemukan pepohonan rindang yang menambah keasrian sekitar. Tradisi ini kemudian juga diterapkan di masjid-masjid yang dibangun di masa Republik.
Berkaitan dengan ini, negara melakukan objektivikasi terhadap tradisi itu, seperti mengesahkan undang-undang tentang hak hewan, yang di antaranya mengelola kesejahteraan hewan dan melarang sirkus-sirkus hewan serta mengubah nomenklatur Kementerian Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Lingkungan Hidup, Urbanisasi, dan Perubahan Iklim pada 2021 lalu. Dengan perubahan nomenklatur itu, negara dituntut untuk lebih aktif dalam mengampanyekan target bebas emisi karbon.
Kementerian menargetkan penggunaan bahan netral-karbon pada bangunan-bangunan publik yang digunakan secara populis, seperti stadion sepak bola dan masjid. Beberapa masjid di Turki, seperti Masjid Sakirin di Istanbul yang didesain oleh seorang perempuan, Zeynep Fadillioglu sudah dibangun dengan dominasi bahan netral-karbon.Indonesia sejatinya sudah memiliki percontohan masjid hijau, seperti Masjid Istiqlal dan Masjid Raya Pondok Indah. Untuk menjadikannya lebih populis, kehadiran negara sebagai creative minority, terutama dalam regulasi dan kampanye perlu lebih jauh.
Negara bisa mengakomodasi secara serius organisasi massa, pesantren, maupun komunitas keagamaan menjadi imam dalam melestarikan lingkungan berbasis masjid, seperti melalui perlombaan, lokakarya yang rutin, alokasi anggaran untuk panel surya, hingga kategorisasi masjid hijau. Dalam hal ini, dikaitkannya isu lingkungan terhadap persoalan agama membuat hubungan antara negara-agama terjalin positif dan produktif.
Lihat Juga :
tulis komentar anda