Kejagung: Berkas Perkara Tersangka Pelanggaran HAM Berat di Paniai P21

Kamis, 19 Mei 2022 - 20:16 WIB
Kejagung menyatakan, berkas perkara tersangka IS dalam kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat telah lengkap alias P21 pada Jumat 13 Mei 2022. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan, berkas perkara tersangka IS dalam kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat telah lengkap alias P21 pada Jumat 13 Mei 2022.

Baca juga: Kejagung Periksa Anggota TNI Terkait Peristiwa Paniai Papua

Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana menyampaikan, berkas perkara tersangka pelanggaran HAM pada peristiwa Paniai di Provinsi Papua tahun 2014 tersebut telah lengkap secara formil dan materiil.



"Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat (3) huruf b, Pasal 138 Ayat (1) dan Pasal 139 KUHP, jaksa penyidik diminta untuk menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum guna menentukan apakah perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan," kata Sumedana dalam keterangannya, Kamis (19/5/2022).

"Adapun tersangka IS akan dilakukan penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti atau Tahap II oleh penyidik pada Direktorat Pelanggaran HAM Berat kepada Tim Penuntut Umum sebelum akhir bulan Mei 2022," sambung Ketut Sumedana.

Adapun tersangka IS disangka melanggar Pasal 42 Ayat (1) Jo Pasal 9 huruf a Jo Pasal 7 huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Pasal 40 jo. Pasal 9 huruf h Jo Pasal 7 huruf b UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kasus ini berawal dari insiden dugaan pembunuhan dan penganiayaan serta pelanggaran HAM berat pada 2014. Ketut menjelaskan, peristiwa pelanggaran HAM berat ini terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer. Akibat peristiwa tersebut 4 orang meninggal dunia dan 21 orang mengalami luka-luka.

"Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de jure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya, serta tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya dan juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia," ujarnya.
(maf)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More