Kemenkes Ingatkan Potensi Ancaman Ganda Kasus DBD dan Virus Corona
Senin, 22 Juni 2020 - 11:23 WIB
JAKARTA - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik pada Kementerian Kesehatan ( Kemenkes ), Siti Nadia Tarmizi mengingatkan, potensi ancaman ganda kasus demam berdarah dengue (DBD) dan virus corona (COVID-19). Saat ini sebanyak 460 kabupaten/kota yang melaporkan kasus demam berdarah, 439 di antaranya juga menyampaikan adanya kasus corona.
"Mungkin, satu yang ingin saya sampaikan ya dari 460 kabupaten kota yang melaporkan ada kasus demam berdarah . Sebanyak 439 yaitu daerah kabupaten/kota yang juga melaporkan adanya kasus COVID . Jadi ini ada infeksi ganda," kata Nadia dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta, Selasa (22/6/2020).
Nadia mengatakan, fenomena infeksi ganda yakni demam berdarah dan COVID-19 saat ini terjadi bersamaan. Artinya, fenomena ini memungkinkan seseorang yang terinfeksi virus corona , dia juga dapat berisiko untuk atau infeksi demam berdarah. "Karena pada prinsipnya sama demam berdarah adalah suatu penyakit yang sampai sekarang juga belum obatnya, vaksinnya belum terlalu efektif dan salah satu upaya untuk mencegahnya adalah kita menghindari gigitan nyamuk. Dan sama-sama virus ini," ungkapnya.( )
Nadia menambahkan, fenomena kasus demam berdarah biasanya puncak kasusnya adalah Maret. Namun, di tahun ini adalah penambahan kasus demam berdarah sampai dengan Juni masih ditemukan jumlah kasus demam berdarah yang cukup banyak. Artinya angka kasus demam berdarah di tahun ini, kata Nadia, agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
"Kita melihat bahwa sampai saat ini masih menemukan kasus antara 100 sampai dengan 500 kasus per harinya. Jadi kalau kita melihat jumlah kasus tadi sudah disampaikan 68.000 kasus demam berdarah seluruh Indonesia," katanya.
"Di mana, tentunya kita melihat bahwa kita melihat kembali lagi hal provinsi-provinsi yang ada itu adalah provinsi-provinsi yang juga dengan kasus COVID tertinggi dan juga memiliki kasus demam berdarah yang tertinggi," kata Nadia.
Nadia mengatakan, kasus demam berdarah tertinggi ada di provinsi Jawa Barat, kemudian ada provinsi Lampung, ada NTT, Jawa Timur kemudian Jawa Tengah, dan Yogyakarta. "Dan kita tahu, termasuk juga Sulawesi Selatan yang kita tahu juga secara jumlah kasus COVID-nya juga merupakan tinggi," katanya.( )
Di sisi lain, kata Nadia, demam berdarah ini juga menimbulkan angka kematian. "Jadi angka kematian kita saat ini sudah mencapai pada angka 346. Dan sama, kurang lebih gambarannya adalah provinsi-provinsi yang tadi, jadi ada Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur yang merupakan juga kasus-kasus tertinggi mengakibatkan kematian," katanya.
Nadia mengatakan, kalau berbicara mengenai sejarah, demam berdarah awalnya masuk di Indonesia pada 1968. "Dan pada waktu itu sama dengan situasi COVID seperti saat ini adalah angka kematiannya dan angka kesakitannya 50%," katanya.
Saat ini, kata Nadia, sebenarnya sudah bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian, di mana angka kematian yang tadinya 50% dan bisa turun dibawah angka 1%. "Dan target kita tentunya tidak ada kematian lagi ya. Sementara angka kesakitan masih di angka fluktuasi karena memang di tahun 2016 kita pernah mengalami kejadian luar biasa, di mana angka-angka kesakitannya masih cukup tinggi yang tadinya sudah di bawah 20%. Dan saat ini kita tetap terus pertahankan tetapi jangan sampai di tahun 2016 itu terjadi kejadian lagi," katanya.
"Mungkin, satu yang ingin saya sampaikan ya dari 460 kabupaten kota yang melaporkan ada kasus demam berdarah . Sebanyak 439 yaitu daerah kabupaten/kota yang juga melaporkan adanya kasus COVID . Jadi ini ada infeksi ganda," kata Nadia dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta, Selasa (22/6/2020).
Nadia mengatakan, fenomena infeksi ganda yakni demam berdarah dan COVID-19 saat ini terjadi bersamaan. Artinya, fenomena ini memungkinkan seseorang yang terinfeksi virus corona , dia juga dapat berisiko untuk atau infeksi demam berdarah. "Karena pada prinsipnya sama demam berdarah adalah suatu penyakit yang sampai sekarang juga belum obatnya, vaksinnya belum terlalu efektif dan salah satu upaya untuk mencegahnya adalah kita menghindari gigitan nyamuk. Dan sama-sama virus ini," ungkapnya.( )
Nadia menambahkan, fenomena kasus demam berdarah biasanya puncak kasusnya adalah Maret. Namun, di tahun ini adalah penambahan kasus demam berdarah sampai dengan Juni masih ditemukan jumlah kasus demam berdarah yang cukup banyak. Artinya angka kasus demam berdarah di tahun ini, kata Nadia, agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
"Kita melihat bahwa sampai saat ini masih menemukan kasus antara 100 sampai dengan 500 kasus per harinya. Jadi kalau kita melihat jumlah kasus tadi sudah disampaikan 68.000 kasus demam berdarah seluruh Indonesia," katanya.
"Di mana, tentunya kita melihat bahwa kita melihat kembali lagi hal provinsi-provinsi yang ada itu adalah provinsi-provinsi yang juga dengan kasus COVID tertinggi dan juga memiliki kasus demam berdarah yang tertinggi," kata Nadia.
Nadia mengatakan, kasus demam berdarah tertinggi ada di provinsi Jawa Barat, kemudian ada provinsi Lampung, ada NTT, Jawa Timur kemudian Jawa Tengah, dan Yogyakarta. "Dan kita tahu, termasuk juga Sulawesi Selatan yang kita tahu juga secara jumlah kasus COVID-nya juga merupakan tinggi," katanya.( )
Di sisi lain, kata Nadia, demam berdarah ini juga menimbulkan angka kematian. "Jadi angka kematian kita saat ini sudah mencapai pada angka 346. Dan sama, kurang lebih gambarannya adalah provinsi-provinsi yang tadi, jadi ada Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur yang merupakan juga kasus-kasus tertinggi mengakibatkan kematian," katanya.
Nadia mengatakan, kalau berbicara mengenai sejarah, demam berdarah awalnya masuk di Indonesia pada 1968. "Dan pada waktu itu sama dengan situasi COVID seperti saat ini adalah angka kematiannya dan angka kesakitannya 50%," katanya.
Saat ini, kata Nadia, sebenarnya sudah bisa menurunkan angka kesakitan dan kematian, di mana angka kematian yang tadinya 50% dan bisa turun dibawah angka 1%. "Dan target kita tentunya tidak ada kematian lagi ya. Sementara angka kesakitan masih di angka fluktuasi karena memang di tahun 2016 kita pernah mengalami kejadian luar biasa, di mana angka-angka kesakitannya masih cukup tinggi yang tadinya sudah di bawah 20%. Dan saat ini kita tetap terus pertahankan tetapi jangan sampai di tahun 2016 itu terjadi kejadian lagi," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda