Kemajuan Ekonomi Kreatif Indonesia Dalam Bayang-bayang Pelanggaran HAKI

Jum'at, 29 April 2022 - 17:21 WIB
Sebagai merek dengan produk dengan daya kreativitas tinggi, Joger tentunya menjunjung tinggi urusan HAKI. Kaus kata-kata Joger yang murni atas daya kreatif sang pendiri Joger, Joseph Theodorus Wulianadi atau Mr Joger, sangat terkenal di dunia pariwisata nasional dan mancanegara.

Menurut Mr Joger, pihaknya pada tahun 1999 pernah memperkarakan masalah penjiplakan kaus Joger. Berawal dari berbagai persuasi yang dilakukan kepada para pedagang oleh-oleh di Bali, namun tak didengarkan.

"Kita bagi-bagi bunga mengimbau supaya jangan menjual barang jiplakan Joger," kisah Mr Joger.

Setelah beberapa kali melakukan persuasi, manajemen Joger akhirnya memperkarakan beberapa pedagang yang masih menjual kaus tiruan Joger.

"Karena sudah keterlaluan. Beberapa kali sudah diingatkan dengan baik, tapi karena sudah kelewatan ya sudah kita masukkan ke meja hijau," ucap pria yang mulai merintis usaha pabrik kata-kata sejak tahun 1981 tersebut.

Beberapa kasus berakhir damai, namun sebagian diteruskan hingga inkrah di pengadilan. Berdasarkan penelusuran, mereka yang memproduksi produk jiplakan Joger kebanyakan adalah orang-orang dengan status ekonomi dan sosial tinggi di Bali.

Bagi Mr Joger, perlindungan karya merupakan hal penting. Sebab, dia memulai usahanya dari nol sejak tahun 1980-an. Dimulai ketika dia menjadi guide untuk turis asing di Bali, khususnya warga negara Jerman.

"Selama menjadi guide saya melihat celah-celah atau hal-hal yang kurang bagus di dunia art shop dalam pariwisata di Bali. Hanya menghormati turis-turis asing yang bawa dollar atau devisa. Seharusnya kan kita lebih menghormati turis lokal," cerita Mr Joger.

Berangkat dari situ, Mr Joger lalu membuka Art and Batik Shop di Denpasar. Nama Joger adalah singkatan dari Joseph dan Gerhard. Gerhard sendiri adalah sahabat 'bule' Mr Joger yang sudah dianggap seperti saudara sejak dia sekolah perhotelan di Jerman.

Mengawali bisnisnya, Mr Joger dengan bermodalkan uang Rp500 ribu berangkat ke Pulau Jawa untuk belajar soal batik. Dia berhasil mendapat pengalaman di Pasar Klewer yang menjadi pusat batik di Solo. Mulai dari usaha kecil-kecilan, nama Mr Joger menjadi harum di Pasar Klewer dan mendapat kemudahan untuk mendapatkan barang dagangan.

Akhirnya setelah berkembang, Mr Joger membangun tempat sendiri di Kuta dan mengganti nama usahanya menjadi Pabrik Kata-Kata Joger pada tahun 1987. Ada banyak produk yang dijual, secara khusus yakni kaus kata-kata hasil kreativitas Mr Joger.

"Saya kumpulkan yang terbaik-terbaik, kemudian saya sajikan dengan harga supportif. Tidak terlalu mahal, tapi juga tidak terlalu murah. Satu harga untuk memperlakukan semua orang secara sama," terang salah satu tokoh Bali yang dikenal nyeleneh ini.

Baca juga: Minim, Baru 11% UMKM Miliki HAKI yang Telah Terdaftar

Joger diketahui sudah memiliki konsumen tersendiri. Bahkan tak sedikit yang menantikan karya-karya unik Mr Joger.

"Tahun 1983 saya pernah iseng, pengen tes ini orang emang seneng sama saya apa gimana. Saya buat kaus saya tanda tangani pakai kuas dengan 3 warna, laku juga ternyata," kata Mr Joger.

Mr Joger pun berharap para pelaku usaha memiliki kesadaran untuk memajukan pariwisata Bali, dengan tidak menjual karya jiplakan. Sekalipun mereka berargumen tidak betul-betul menjual produk yang sama persis dengan Joger.

"Mereka bilang itu kan ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi). Itu ditanggapi secara tidak beretika. Mereka ngawur, saya punya gambar A lalu desain B digabung oleh mereka jadi sebuah desain baru itu katanya kreatif, ATM. Saya ndak mau," tegasnya.

"Harapan saya mulailah sadar bahwa bikin desain itu nggak sulit. Kok malah mempersulit citra diri sendiri. Tapi kalau profit oriented kan mereka nggak peduli, yang penting untung. Ini yang di belakangnya tidak mungkin UMKM," imbuh Mr Joger.

Di sisi lain, Mr Joger juga meminta agar pemerintah semakin menegakkan perlindungan HAKI. Ia mengaku saat ini dalam menghadapi persoalan penjiplakan karya Joger, tidak lagi dilakukan lewat ranah hukum karena terlanjur pesimistis.

"Jadi memang susah sistem kita. Makanya belakangan saya tidak mau lagi masuk ke ranah hukum. Jadi di moral saja, ada orang pakai mirip-mirip kayak punya kita, kita mohon untuk ganti pakaian, atau kita pinjemin jaket," tukasnya.

Mr Joger mengingatkan, Indonesia sudah memiliki citra negatif dari sisi perlindungan HAKI. Untuk itu ia mengajak semua pihak, termasuk konsumen itu sendiri, untuk lebih menghargai kekayaan intelektual agar dunia ekonomi kreatif Indonesia tidak tergerus akibat pelanggaran hak cipta.

"Niatnya pemerintah itu ke mana? Kalau mau menegakkan HAKI ya mbok dipastikan. Tapi sampai sekarang kalau sudah masuk ranah hukum, ya ngawur. Dan saya nggak mau main sogok," katanya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More