Efek Domino Konflik Rusia-Ukraina
Sabtu, 23 April 2022 - 09:29 WIB
Tatkala harga impor pupuk fosfat dari Rusia naik, plus kenaikan harga gas, komponen utama pupuk Urea, harga aneka pupuk pun melonjak tinggi. Ruang fiskal yang sempit memaksa pemerintah menyederhanakan subsidi pupuk mulai Juli 2022: dari semula lima kini hanya dua (Urea dan NPK) yang disubsidi. Dan hanya tujuh komoditas (dari semula 70) yang menerima subsidi.
Efek domino penyederhanaan subsidi pupuk ini bisa panjang.Pertama, nasib 3,2 juta hektare dari 7,4 juta hektare sawah di luar Jawa. Sawah-sawah ini tetap memerlukan pupuk diluar Urea dan NPK.
Ketika harga pupuk, ZA dan SP-36 misalnya, naik berlipat-lipat ada peluang petani mengurangi, bahkan tidak memupuk sawahnya.Kedua, harga pupuk non-subsidi akan naik-turun mengikuti mekanisme pasar. Meskipun pupuk hanya mengambil 10% dari ongkos produksi, kenaikan harga pupuk nonsubsidi akan menekan kapasitas fiskal petani. Dalam jangka panjang taruhannya adalah produksi aneka pangan.
Respons dan adaptasi kebijakan pemerintah ini pasti tidak memuaskan. Terutama bagi petani dan para pembelanya. Sebagai produsen dan pemberi makan, mengapa petani yang jadi korban? Siapapun yang berkuasa saat ini akan menghadapi situasi tak mudah.
Kerumitan semacam inigivensejak pandemi Covid-19 menyergap. “Dunia yang satu” dan terkoneksi satu sama lain menyulitkan melakukan isolasi.
Indonesia tidak sendiri. Negara lain pun kelimpungan melakukan adaptasi tatkala merespons harga-harga pangan naik tinggi sejak tahun lalu. Kenaikan berasal dari negara-negara dengan populasi besar, seperti China dan India, yang mengalami peralihan dari status pandemi ke endemi.
Permintaan yang tinggi dan tiba-tiba tak serta-merta bisa direspons oleh pasokan, yang memang memerlukan waktu. Harga pun terpantik tinggi. Setahun terakhir, hargaoatnaik 112,6%, kopi 82,6%, gandum 65,7%, minyak sawit 57,8%, kanola 43,3%, gula 31,6%, jagung 33%, dan kedelai 20,4%. Kenaikan lebih tinggi terjadi pada minyak mentah (65,6%), gas alam (150,3%), dan batu bara (213,2%). Ada dua dampak kenaikan simultan itu.
Pertama, perebutan kontainer pengiriman barang yang berujung kelangkaan.Kedua, biaya transportasi makin mahal. Harga pangan yang sudah mahal jadi kian mahal.
Kenaikan harga-harga itu niscaya memicu inflasi. Setelah gangguan pasokan dari pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina telah meningkatkan inflasi global yang tinggi dan menjalar ke banyak negara. Turki, misalnya, lira yang terjun bebas mendorong inflasi makanan jadi 64,5% (year on year). Kazakhstan, Azerbaijan, Mesir, Kongo, Lebanon, Turki, dan Armenia menghadapi risiko serius.
Negara-negara itu tidak hanya tergantung akut pada biji-bijian Rusia-Ukraina, tapi mayoritas warganya memakai ponsel, pemuda menganggur tinggi, dan indeks demokrasinya rendah. Kenaikan harga pangan plus inflasi akan jadi bahan bakar jitu guna menggerakan kerusuhan sipil (Jaochim Klement, 2022).
Efek domino penyederhanaan subsidi pupuk ini bisa panjang.Pertama, nasib 3,2 juta hektare dari 7,4 juta hektare sawah di luar Jawa. Sawah-sawah ini tetap memerlukan pupuk diluar Urea dan NPK.
Ketika harga pupuk, ZA dan SP-36 misalnya, naik berlipat-lipat ada peluang petani mengurangi, bahkan tidak memupuk sawahnya.Kedua, harga pupuk non-subsidi akan naik-turun mengikuti mekanisme pasar. Meskipun pupuk hanya mengambil 10% dari ongkos produksi, kenaikan harga pupuk nonsubsidi akan menekan kapasitas fiskal petani. Dalam jangka panjang taruhannya adalah produksi aneka pangan.
Respons dan adaptasi kebijakan pemerintah ini pasti tidak memuaskan. Terutama bagi petani dan para pembelanya. Sebagai produsen dan pemberi makan, mengapa petani yang jadi korban? Siapapun yang berkuasa saat ini akan menghadapi situasi tak mudah.
Kerumitan semacam inigivensejak pandemi Covid-19 menyergap. “Dunia yang satu” dan terkoneksi satu sama lain menyulitkan melakukan isolasi.
Indonesia tidak sendiri. Negara lain pun kelimpungan melakukan adaptasi tatkala merespons harga-harga pangan naik tinggi sejak tahun lalu. Kenaikan berasal dari negara-negara dengan populasi besar, seperti China dan India, yang mengalami peralihan dari status pandemi ke endemi.
Permintaan yang tinggi dan tiba-tiba tak serta-merta bisa direspons oleh pasokan, yang memang memerlukan waktu. Harga pun terpantik tinggi. Setahun terakhir, hargaoatnaik 112,6%, kopi 82,6%, gandum 65,7%, minyak sawit 57,8%, kanola 43,3%, gula 31,6%, jagung 33%, dan kedelai 20,4%. Kenaikan lebih tinggi terjadi pada minyak mentah (65,6%), gas alam (150,3%), dan batu bara (213,2%). Ada dua dampak kenaikan simultan itu.
Pertama, perebutan kontainer pengiriman barang yang berujung kelangkaan.Kedua, biaya transportasi makin mahal. Harga pangan yang sudah mahal jadi kian mahal.
Kenaikan harga-harga itu niscaya memicu inflasi. Setelah gangguan pasokan dari pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina telah meningkatkan inflasi global yang tinggi dan menjalar ke banyak negara. Turki, misalnya, lira yang terjun bebas mendorong inflasi makanan jadi 64,5% (year on year). Kazakhstan, Azerbaijan, Mesir, Kongo, Lebanon, Turki, dan Armenia menghadapi risiko serius.
Negara-negara itu tidak hanya tergantung akut pada biji-bijian Rusia-Ukraina, tapi mayoritas warganya memakai ponsel, pemuda menganggur tinggi, dan indeks demokrasinya rendah. Kenaikan harga pangan plus inflasi akan jadi bahan bakar jitu guna menggerakan kerusuhan sipil (Jaochim Klement, 2022).
Lihat Juga :
tulis komentar anda