Subsidi Energi Harus Tepat Sasaran

Senin, 18 April 2022 - 16:31 WIB
Subsidi energi yang tidak tepat berpotensi menggerogoti anggaran negara. FOTO/WAWAN BASTIAN
Kebutuhan energi fosil , terutama untuk bahan bakar minyak (BBM) , diyakini masih akan tinggi kendati para pembuat kebijakan di level global maupun di dalam negeri terus mendorong transisi energi menuju energi bersih. Kondisi ini jelas menjadi tantangan tesendiri karena di saat yang sama produksi minyak nasional justru tidak mengalami peningkatan.

Ini berkaca pada realisasiliftingminyak dari tahun ke tahun yang cenderung turun. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, pada 2021lifting(produksi minyak siap jual) hanya mencapai 660.000 barel per hari. Pada 2020 sebesar 707.000 barel per hari. Angka ini signifikan dibanding pada 2019 yang mencapai 745.000 barel per hari dan 2018 sebanyak 772 barel per hari. Bahkan pada 2016liftingminyak nasional sempat mencapai 831.000 barel per hari.

Angkaliftingminyak yang terus menurun itu berbanding terbalik dengan konsumsi minyak nasional yang justru cenderung meningkat. Sejak beberapa tahun terakhir konsumsi minyak nasional mencapai di atas 1,4 – 1,5 juta barel per hari. Dari sini terlihatgapyang cukup besar antara produksi dan konsumsi sehingga untuk menutupi selisihnya harus mengimpor.

Imbasnya, mau tidak mau pemerintah harus menyiapkan anggaran melalui anggaranpendapatan dan belanja negara (APBN) guna memenuhi pasokan minyak. Memang akhir-akhir ini pemerintah mendapatanwindfall profitdari kenaikan harga minyak dunia yang mencapai di atas USD100 per barel, di atas harga acuan APBN sebesar USD63 per barel, akibat perang Rusia-Ukraina.



Akan tetapi, keuntungan tersebut tidak serta-merta dapat dinikmati secara langsung mengingat di satu sisi pemerintah juga harus mengimpor minyak dengan harga mahal. Selain itu, profit dari kenaikan harga minyak juga digunakan untuk menutupi subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dijual ke masyarakat.

Data Kementerian ESDM memperlihatkan, realisasi subsidi energi pada 2021 mencapai Rp131,5 triliun, naik 19% dari target 2021 yang ditetapkan Rp110,5 triliun. Pemerintah menyebut kenaikan subsidi energi disebabkan pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat dalam pemulihan ekonomi.

Lonjakan signifikan berasal dari subsidi BBM dan elpiji yakni Rp83,7 triliun dari target awal Rp56,9 triliun, sedangkan subsidi listrik turun jadi Rp47,8 triliun dari target Rp53,6 triliun. Bila dibandingkan 2020, realisasi subsidi energi pada 2021 ini melonjak 37,4%. Realisasi subsidi energi pada 2020 mencapai Rp95,7 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan elpiji Rp47,7 triliun dan subsidi listrik Rp48 triliun.

Tahun ini, subsidi energi ditargetkan naik tipis menjadi Rp134 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan elpiji Rp77,5 triliun dan subsidi listrik Rp56,5 triliun.Jika tidakdikendalikan dengan penyesuaian harga BBM, elpiji dan listrik, subsidi energi tahun ini diperkirakan meningkat seiring kenaikan harga minyak global.

Besarnya subsidi di sektor energi tidak bisa dihindari karena BBM yang dijual kepada masyarakat saat ini tidak semuanya mengikuti harga pasar. Jenis pertalite misalnya, yang saat ini dijadikan BBM penugasan dan dikonsumsi oleh sekitar 60% pengguna kendaraan, harganya dipatok Rp7.650 per liter, jauh di bawah harga keekonomian yang dihitung oleh ESDM sebesar Rp16.000 per liter. Demikian pula harga gas elpiji kemasan 3 kg yang saat ini dijual di pasaran di kisaran Rp20.000 per tabung, harganya sudah disubsidi sebesar Rp11.250 per kg sehingga total subsidi untuk setiap tabung mencapai Rp33.750 per kg.

Mirisnya, kendati sudah ditentukan bahwa gas elpiji 3 kg dan BBM jenis pertalite dijadikan barang penugasan, yang notabene untuk masyakat bawah, di lapangan masih saja ditemukan penggunanya adalah golongan mampu. Misalnya, masih terlihat di SPBU-SPBU mobil-mobil keluaran baru “meminum” pertalite.

Memang, banyak kalangan mengakui bahwa kebijakan harga pertalite yang tidak dinaikkan sebagai langkah tepat dalam meredam inflasi. Hanya, perlu dipahami bahwa ”barang penugasan” untuk BBM tertentu itu berimplikasi kepada adanya anggaran pemerintah yang harus dialokasikan untuk menutupi selisih harga riilnya.

Maka, di sinilah pentingnya edukasi kepada masyarkat bahwa setiap satu rupiah dana yang digunakan untuk subsidi hendaknya bisa tepat sasaran. Jangan sampai pengguna kendaraan mewah justru yang memanfaatkannya.
(ynt)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More