Komnas Perempuan Ungkap 63% Laporan Kekerasan Seksual Didominasi Pemerkosaan
Jum'at, 08 April 2022 - 14:14 WIB
JAKARTA - Komnas Perempuan menyebutkan sebagian besar laporan aduan korban kekerasan seksual yang diterima oleh Komnas Perempuan terkait kasus pemerkosaan. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Komnas Perempuan , Andy Yentriyani.
Baca juga: Komnas Perempuan mendesak Tiga RUU Segera Disahkan
"Dari total 4,323 kasus kekerasan yang dilaporkan ke lembaga layanan pada tahun 2021 di ranah personal dan publik, 2,638 atau 63 persen adalah kasus perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya," ujar Andy Yentriyani, Jumat (8/4/2022).
Ia menjelaskan, pentingnya keberadaan pasal terkait pemerkosaan di RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang saat ini tengah dalam pembahasan oleh DPR, pemerintah dan stakeholder terkait.
"Pasal tentang perkosaan saat ini ada di Pasal 285 KUHP, namun disitu juga menyebutkannya sebagai persetubuhan, tapi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan," jelas Andy Yentriyani.
Komnas Perempuan menyoroti tindak pemerkosaan yang dilakukan dengan tipu daya, atau dalam kondisi tidak berdaya atau pingsan diatur di pasal berikutnya.
"Kasus ini kadang disebut perkosaan, kadang disebut persetubuhan, jadinya sumir," ungkap Andy Yentriyani.
Meski demikian, ia mengapresiasi kemajuan dalam RUU TPKS yang ada saat ini. "Kemajuannya luar biasa, terobosan-terobosan penting untuk hukum acara pidana ada di sana juga pemulihan korban ada di RUU TPKS," jelasnya.
Tapi kata Komnas Perempuan, di saat bersamaan publik harus paham bahwa ada bagian yang belum terbahas, yang sengaja digantungkan ke revisi RUU KUHP.
"Tapi posisi Komnas Perempuan adalah mendukung segera pengesahan itu, jika dilengkapi akan lebih baik. Nantinya, jika poin pemerkosaan dan aborsi tidak dimuat di UU TPKS, maka harus dikawal dalam Revisi RUU KUHP," pungkas Andy Yentriyani.
Sebagaimana diketahui sebelumnya dalam pembahasan RUU TPKS di DPR terjadi polemik pasalnya DPR dan pemerintah sepakat untuk tidak mencantumkan perihal poin detail pemerkosaan dan aborsi dengan alasan akan dicantumkan dalam revisi RUU KUHP.
Padahal menurut Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti proses hukum kasus kekerasan seksual sejak awal hingga akhir akan menggunakan ketentuan UU yang lebih spesifik (RUU TPKS) dibandingkan ketentuan yang lebih umum (RUU KUHP).
"Yang digunakan dalam penerapan adalah yang lebih khusus, jadi ada satu adagium dalam hukum yakni lex specialis derogat legi generali. Artinya yang memang sudah lebih khusus mengatur harusnya digunakan dibandingkan yang lebih umum," ujar Bivitri Susanti, Jumat (8/4/2022).
Baca juga: Komnas Perempuan mendesak Tiga RUU Segera Disahkan
"Dari total 4,323 kasus kekerasan yang dilaporkan ke lembaga layanan pada tahun 2021 di ranah personal dan publik, 2,638 atau 63 persen adalah kasus perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya," ujar Andy Yentriyani, Jumat (8/4/2022).
Ia menjelaskan, pentingnya keberadaan pasal terkait pemerkosaan di RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang saat ini tengah dalam pembahasan oleh DPR, pemerintah dan stakeholder terkait.
"Pasal tentang perkosaan saat ini ada di Pasal 285 KUHP, namun disitu juga menyebutkannya sebagai persetubuhan, tapi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan," jelas Andy Yentriyani.
Komnas Perempuan menyoroti tindak pemerkosaan yang dilakukan dengan tipu daya, atau dalam kondisi tidak berdaya atau pingsan diatur di pasal berikutnya.
"Kasus ini kadang disebut perkosaan, kadang disebut persetubuhan, jadinya sumir," ungkap Andy Yentriyani.
Meski demikian, ia mengapresiasi kemajuan dalam RUU TPKS yang ada saat ini. "Kemajuannya luar biasa, terobosan-terobosan penting untuk hukum acara pidana ada di sana juga pemulihan korban ada di RUU TPKS," jelasnya.
Tapi kata Komnas Perempuan, di saat bersamaan publik harus paham bahwa ada bagian yang belum terbahas, yang sengaja digantungkan ke revisi RUU KUHP.
"Tapi posisi Komnas Perempuan adalah mendukung segera pengesahan itu, jika dilengkapi akan lebih baik. Nantinya, jika poin pemerkosaan dan aborsi tidak dimuat di UU TPKS, maka harus dikawal dalam Revisi RUU KUHP," pungkas Andy Yentriyani.
Sebagaimana diketahui sebelumnya dalam pembahasan RUU TPKS di DPR terjadi polemik pasalnya DPR dan pemerintah sepakat untuk tidak mencantumkan perihal poin detail pemerkosaan dan aborsi dengan alasan akan dicantumkan dalam revisi RUU KUHP.
Padahal menurut Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti proses hukum kasus kekerasan seksual sejak awal hingga akhir akan menggunakan ketentuan UU yang lebih spesifik (RUU TPKS) dibandingkan ketentuan yang lebih umum (RUU KUHP).
"Yang digunakan dalam penerapan adalah yang lebih khusus, jadi ada satu adagium dalam hukum yakni lex specialis derogat legi generali. Artinya yang memang sudah lebih khusus mengatur harusnya digunakan dibandingkan yang lebih umum," ujar Bivitri Susanti, Jumat (8/4/2022).
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda