Jalan Terjal Kedewasaan Beragama
Kamis, 31 Maret 2022 - 16:38 WIB
Kedua, untuk mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan. Moderasi beragama diimplementasikan dalam seluruh lapisan masyarakat sebagai pegangan beragama yang moderat di tengah keragaman tafsir keagamaan. Tidak bisa dipungkiri, tafsir keagamaan sangat mudah ditemui dengan penuh agitasi, terutama dalam ruang digital. Tak jarang pula, tafsir keagamaan yang menggema adalah penafsiran yang cenderung rigid, hitam-putih, dan menyalahkan tafsir yang lain. Penafsirannya sendiri dianggap paling benar sementara pendapat orang lain dianggap salah.
Inilah fenomena kebeberagamaan saat ini di tengah menjamurnya absolutisme pendapat. Setiap orang mengaku beragama, namun ekspresi keagamaannya tergambar pada perasaan gamang akan ketidaknyamanannya melihat kelompok lain. Banyak orang beragama namun hatinya terasa tidak damai karena selalu curiga dan tidak suka pada kelompok lain. Bisa dikatakan, ada kesalahan dalam memahami dan menghayati keberagamaan. Alih-alih beragama kemudian peka terhadap persoalan sosial dan kemanusiaan, yang ada perasaannya masih diselimuti kebencian terhadap liyan (others).
Ketiga, sebagai perekat antara semangat beragama dan komitmen berbangsa untuk merawat keindonesiaan. Dalam konteks ini, moderasi beragama diharapkan dapat menggiring pada kedewasaan beragama. Yang dimaksud dengan kedewasaan beragama adalah menempatkan semangat beragama tanpa berlebihan dan juga tidak merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan hasutan, cacian, dan pelabelan diskriminatif.
Moderasi beragama menjadi gerakan untuk mengarahkan cara pandang beragama dengan jalan kecerdasan dan kedewasaan. Kedewasaan yang dimaksud dapat membentuk prinsip moderat yang dapat membentuk seseorang untuk memiliki tiga karakter utama yaitu kebijaksanaan (wisdom), ketulusan (purity), dan keberanian (courage) (Moderasi Beragama, Balitbang dan Diklat Kemenag RI, 2019). Kebijaksanaan menjadi kunci dalam beragama dengan kemampuan untuk berada pada posisi tengah dalam pengamalan cara beragama. Pada titik ini, menjadi mafhum bahwa moderasi beragama tidak hanya diperuntukkan bagi satu agama tertentu. Moderasi beragama menjadi pilihan sikap dan cara pandang yang berada dalam jalan kecerdasan dan kedewasaan. Sehingga, tidak terjebak pada ekstremisme, kekerasan, dan intoleransi.
Apa yang dipertontonkan oleh pendeta Saifuddin jelas tidak mencerminkan kedewasaan beragama. Satu sisi, semangat bernegara ia gelorakan dengan penuh kepercayaan diri, tapi disisi yang lain ia kebablasan dalam merekatkan esensi ajaran agama yang mengajarkan kerukunan antar umat beragama. Inilah paradoks yang sering kita jumpai dalam altar keberagamaan saat ini. Overdosis beragama kerapkali melahirkan sikap pembangkangan berdasarkan nurani (conscientious objection).
Sikap Kesalingan
Setiap orang tentu memiliki kebebasan berpendapat. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya. Tidak hanya itu, negara juga menjamin kemerdekaan beragama dan berkepercayaan di Indonesia. Hal itu diatur dalam pasal 28 E ayat 1 dan 2 serta pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 28 E ayat 2 berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Sudah sangat jelas, menyatakan sikap dan pikiran tidak menjadi persoalan. Namun yang menjadi catatan, sikap dan perilaku yang ditunjukkan tidak memprovokasi. Sikap provokatif yang dibalut dengan fanatisme itulah yang dapat menimbulkan gelombang rasa permusuhan, ketakutan, dan kebencian antar pemeluk agama.
Setiap umat beragama memiliki tanggung jawab untuk dapat menumbuhkan rasa positif dan penuh harapan tentang kerukunan dan kehidupan yang damai. Kehidupan yang damai menuntut setiap kita untuk dapat mendudukkan sikap asah, asih, dan asuh dalam altar pusat moralitas, dimana di dalamnya diisi dengan kesalingan, saling mengerti, saling menghormati, dan saling menghargai terhadap keragaman masing-masing.
Inilah fenomena kebeberagamaan saat ini di tengah menjamurnya absolutisme pendapat. Setiap orang mengaku beragama, namun ekspresi keagamaannya tergambar pada perasaan gamang akan ketidaknyamanannya melihat kelompok lain. Banyak orang beragama namun hatinya terasa tidak damai karena selalu curiga dan tidak suka pada kelompok lain. Bisa dikatakan, ada kesalahan dalam memahami dan menghayati keberagamaan. Alih-alih beragama kemudian peka terhadap persoalan sosial dan kemanusiaan, yang ada perasaannya masih diselimuti kebencian terhadap liyan (others).
Ketiga, sebagai perekat antara semangat beragama dan komitmen berbangsa untuk merawat keindonesiaan. Dalam konteks ini, moderasi beragama diharapkan dapat menggiring pada kedewasaan beragama. Yang dimaksud dengan kedewasaan beragama adalah menempatkan semangat beragama tanpa berlebihan dan juga tidak merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan hasutan, cacian, dan pelabelan diskriminatif.
Moderasi beragama menjadi gerakan untuk mengarahkan cara pandang beragama dengan jalan kecerdasan dan kedewasaan. Kedewasaan yang dimaksud dapat membentuk prinsip moderat yang dapat membentuk seseorang untuk memiliki tiga karakter utama yaitu kebijaksanaan (wisdom), ketulusan (purity), dan keberanian (courage) (Moderasi Beragama, Balitbang dan Diklat Kemenag RI, 2019). Kebijaksanaan menjadi kunci dalam beragama dengan kemampuan untuk berada pada posisi tengah dalam pengamalan cara beragama. Pada titik ini, menjadi mafhum bahwa moderasi beragama tidak hanya diperuntukkan bagi satu agama tertentu. Moderasi beragama menjadi pilihan sikap dan cara pandang yang berada dalam jalan kecerdasan dan kedewasaan. Sehingga, tidak terjebak pada ekstremisme, kekerasan, dan intoleransi.
Apa yang dipertontonkan oleh pendeta Saifuddin jelas tidak mencerminkan kedewasaan beragama. Satu sisi, semangat bernegara ia gelorakan dengan penuh kepercayaan diri, tapi disisi yang lain ia kebablasan dalam merekatkan esensi ajaran agama yang mengajarkan kerukunan antar umat beragama. Inilah paradoks yang sering kita jumpai dalam altar keberagamaan saat ini. Overdosis beragama kerapkali melahirkan sikap pembangkangan berdasarkan nurani (conscientious objection).
Sikap Kesalingan
Setiap orang tentu memiliki kebebasan berpendapat. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya. Tidak hanya itu, negara juga menjamin kemerdekaan beragama dan berkepercayaan di Indonesia. Hal itu diatur dalam pasal 28 E ayat 1 dan 2 serta pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 28 E ayat 2 berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Sudah sangat jelas, menyatakan sikap dan pikiran tidak menjadi persoalan. Namun yang menjadi catatan, sikap dan perilaku yang ditunjukkan tidak memprovokasi. Sikap provokatif yang dibalut dengan fanatisme itulah yang dapat menimbulkan gelombang rasa permusuhan, ketakutan, dan kebencian antar pemeluk agama.
Setiap umat beragama memiliki tanggung jawab untuk dapat menumbuhkan rasa positif dan penuh harapan tentang kerukunan dan kehidupan yang damai. Kehidupan yang damai menuntut setiap kita untuk dapat mendudukkan sikap asah, asih, dan asuh dalam altar pusat moralitas, dimana di dalamnya diisi dengan kesalingan, saling mengerti, saling menghormati, dan saling menghargai terhadap keragaman masing-masing.
(bmm)
tulis komentar anda