Jalan Terjal Kedewasaan Beragama
Kamis, 31 Maret 2022 - 16:38 WIB
Wildani Hefni
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
AGAMA dan beragama kian mengalami jarak yang luas. Agama yang sesungguhnya damai dan mendamaikan, justru kemudian lahir permusuhan akibat tumbuhnya tafsir yang kebablasan. Kedewasaan beragama mengalami jalan terjal antara semangat beragama dan semangat bernegara. Pada ruang yang curam itu, kita mendapati segregasi sosial.
Ruang terjal itu dapat kita lihat dalam sisi paradoksial beragama dari pernyataan seorang pendeta Saifuddin Ibrahim pada sebuah video yang dalam dua pekan terakhir ini mewarnai percakapan media sosial. Dalam video tersebut, Saifuddin meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menghapus 300 ayat Alquran karena berbagai alasan. Tidak hanya itu, Saifuddin juga mengklaim pesantren telah melahirkan kaum radikal. Pada titik ini, pertanyaan yang patut diajukan, buat apa beragama jika dampaknya tidak melahirkan kebaikan?
Jika pernyataan Saifuddin diniatkan sebagai kritik dan saran terhadap pemerintah, terutama saran untuk memberantas gerakan Islam garis keras, tentu masih banyak pilihan redaksi untuk disuarakan. Pernyataan yang sangat tidak pantas terletak pada permintaan menghapus 300 ayat Alquran yang dianggap sebagai pemicu gerakan intoleran. Saifuddin juga mengusulkan kepada Menteri Agama agar ayat-ayat Alquran yang keras tidak diajarkan di Pesantren ataupun madrasah di Indonesia.
Pernyataan sebagaimana terungkap di atas menggambarkan cara beragama under siege mentality (di bawah kepungan mentalitas) yang jauh dari cerminan kecerdasan beragama. Barangkali pernyataan tersebut hendak menunjukkan semangat beragama yang toleran, namun justru yang nampak adalah narasi dan aksentuasi yang kebablasan. Sudah barang tentu, pernyataan itu dapat memicu keretakan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Alih-alih menyuarakan tentang toleransi, yang ada memperkeruh suasana, bahkan merusak komitmen pemerintah yang saat ini tengah menggencarkan dan menggemakan gerakan moderasi beragama.
Kedewasaan Beragama
Jika diringkas, moderasi beragama yang digemakan oleh pemerintah setidaknya bermuara pada pada tiga hal (Moderasi Beragama, Balitbang dan Diklat Kemenag RI, 2019). Pertama, untuk memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, esensi ajaran agama mengajarkan kemaslahatan. Tidak ada agama yang mengajarkan tindakan brutalisme. Sebagaimana diungkap Abdillah Toha dalam bukunya Buat Apa Beragama? Renungan Memaknai Religiusitas di Tengah Kemodernan (2020), agama bukan sekadar iman, identitas, atau menjadi anggota suatu kelompok, melainkan beragama adalah berperilaku sebagai manusia yang utuh dan berguna.
Bagi umat Islam, Alquran adalah kitab suci yang diyakini sempurna dan tidak mengandung ajaran kekerasan. Umat Islam memiliki kaidah-kaidah dalam memahami Alquran. Tidak ada ayat Alquran yang mengajarkan untuk berbuat intoleran. Justru yang menyebabkan terjadinya tindakan kesewenang-wenangan itu lahir dari tafsir keagamaan yang menyimpang dengan pendekatan eksklusif-legal-formal. Karena itu, moderasi beragama menjadi suluh dalam upaya internalisasi nilai-nilai esensi ajaran agama menjadi jangkar penguat terhadap landasan spiritual, etika, moral, yang muaranya dapat menggiring pada kehidupan kerukunan di tengah realitas masyarakat yang majemuk.
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
AGAMA dan beragama kian mengalami jarak yang luas. Agama yang sesungguhnya damai dan mendamaikan, justru kemudian lahir permusuhan akibat tumbuhnya tafsir yang kebablasan. Kedewasaan beragama mengalami jalan terjal antara semangat beragama dan semangat bernegara. Pada ruang yang curam itu, kita mendapati segregasi sosial.
Ruang terjal itu dapat kita lihat dalam sisi paradoksial beragama dari pernyataan seorang pendeta Saifuddin Ibrahim pada sebuah video yang dalam dua pekan terakhir ini mewarnai percakapan media sosial. Dalam video tersebut, Saifuddin meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menghapus 300 ayat Alquran karena berbagai alasan. Tidak hanya itu, Saifuddin juga mengklaim pesantren telah melahirkan kaum radikal. Pada titik ini, pertanyaan yang patut diajukan, buat apa beragama jika dampaknya tidak melahirkan kebaikan?
Jika pernyataan Saifuddin diniatkan sebagai kritik dan saran terhadap pemerintah, terutama saran untuk memberantas gerakan Islam garis keras, tentu masih banyak pilihan redaksi untuk disuarakan. Pernyataan yang sangat tidak pantas terletak pada permintaan menghapus 300 ayat Alquran yang dianggap sebagai pemicu gerakan intoleran. Saifuddin juga mengusulkan kepada Menteri Agama agar ayat-ayat Alquran yang keras tidak diajarkan di Pesantren ataupun madrasah di Indonesia.
Pernyataan sebagaimana terungkap di atas menggambarkan cara beragama under siege mentality (di bawah kepungan mentalitas) yang jauh dari cerminan kecerdasan beragama. Barangkali pernyataan tersebut hendak menunjukkan semangat beragama yang toleran, namun justru yang nampak adalah narasi dan aksentuasi yang kebablasan. Sudah barang tentu, pernyataan itu dapat memicu keretakan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Alih-alih menyuarakan tentang toleransi, yang ada memperkeruh suasana, bahkan merusak komitmen pemerintah yang saat ini tengah menggencarkan dan menggemakan gerakan moderasi beragama.
Kedewasaan Beragama
Jika diringkas, moderasi beragama yang digemakan oleh pemerintah setidaknya bermuara pada pada tiga hal (Moderasi Beragama, Balitbang dan Diklat Kemenag RI, 2019). Pertama, untuk memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, esensi ajaran agama mengajarkan kemaslahatan. Tidak ada agama yang mengajarkan tindakan brutalisme. Sebagaimana diungkap Abdillah Toha dalam bukunya Buat Apa Beragama? Renungan Memaknai Religiusitas di Tengah Kemodernan (2020), agama bukan sekadar iman, identitas, atau menjadi anggota suatu kelompok, melainkan beragama adalah berperilaku sebagai manusia yang utuh dan berguna.
Bagi umat Islam, Alquran adalah kitab suci yang diyakini sempurna dan tidak mengandung ajaran kekerasan. Umat Islam memiliki kaidah-kaidah dalam memahami Alquran. Tidak ada ayat Alquran yang mengajarkan untuk berbuat intoleran. Justru yang menyebabkan terjadinya tindakan kesewenang-wenangan itu lahir dari tafsir keagamaan yang menyimpang dengan pendekatan eksklusif-legal-formal. Karena itu, moderasi beragama menjadi suluh dalam upaya internalisasi nilai-nilai esensi ajaran agama menjadi jangkar penguat terhadap landasan spiritual, etika, moral, yang muaranya dapat menggiring pada kehidupan kerukunan di tengah realitas masyarakat yang majemuk.
tulis komentar anda