Pancasila versi 1945, Orde Baru, dan Masa Depan
Rabu, 17 Juni 2020 - 11:51 WIB
Para sesepuh, pemimpin negara, pengendali politik, ekonomi, dan agama yang ada saat ini di antara kita tentu dibentuk dan adalah produk Pancasila era Orde Baru. Generasi Pancasila 1945 sudah meninggal semua.
Pancasila di benak kita adalah warisan Orde Baru. Pancasila era Soekarno telah lama menghilang dan belum pernah berani untuk kembali muncul secara terang-terangan.
Di sisi lain, tafsir Pancasila ala Reformasi masih dalam bentuk pencarian. Isu-isu mileneal terkini belum semuanya adahadir di benak dan wacana kita: hak asasi manusia, isu lingkungan, globalisasi, teknologi dan informasi, keragaman, toleransi, media sosial, pandemi dan lain-lain.
Tafsir Pancasila era Reformasi belum benar-benar terpikirkan secara serius. Buktinya adalah respons terhadap RUU HIP (Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila).
Jadi berdebatan seputar RUU HIP yang berkembang di pers dan media sosial adalah bentuk pertarungan wacana pengembalian Pancasila versi idealis 1945 dan reaksi versi pragmatis Orde Baru. Versi Orde Baru begitu kuat. Hantu traumatis 1965 masih terus menyeramkan bagi generasi kita yang saat ini sedang bermasyarakat dan bernegara.
Jelaslah kekuatan komunisme di dunia ini sudah runtuh lama: Tembok pemisah Jerman Timur dan Jerman Barat telah roboh tahun 1989, Uni Soviet tutup tahun 1991, dan China sudah menjadi negara adidaya kapitalis. Hanya Kuba, Veneuzuela, dan Korea Utara yang terlampau miskin dan tak mungkin mendanai bangkitnya komunisme dunia.
Kita sudah meninggalkan trauma itu 55 tahun. Orde Baru sudah memburu persembunyian cicit-cicitnya sampai ke lubang tikus terkecil pun. Tetapi trauma sudah menjadi hantu, yang menutupi kejernihan olah pikir.
Hantu itu tetap gentayangan di pikiran kita, dan siapa yang bisa membuktikan hantu itu ada? Secara ilmiah, hantu itu tidak nyata.
Tetapi, takhayul kuno itu masih dipercaya di hampir semua budaya etnis di seluruh Nusantara. Buktinya penampakan dan kisah hantu masih diminati pasar Indonesia dan layak di jual di banyak sinetron, film, talkshow, reality show, dan program para artis ibu kota cantik dan seksi dengan berbagai manipulasi: rumah seram, Jumat manis, jembatan rusak, pocong, jailangkung, kuburan, roh jahat, Nyai Blorong, gadis cantik jelmaan ular, tuyul pesugihan, kesurupan demit, dan masih banyak lagi. Hantu begitu kuat ada di pikiran dan memang pasar menghendaki demikian.
Keseraman hantu itu juga laku keras di pasar, tidak hanya di dunia hiburan yang semakin kapitalis, tetapi juga mungkin didunia politik yang semakin populis. Kesadaran diri untuk bangun dari halusinasi, trauma, pengalaman pahit, konflik masa lalu, dan sejarah kelam perlu keberanian.
Pancasila di benak kita adalah warisan Orde Baru. Pancasila era Soekarno telah lama menghilang dan belum pernah berani untuk kembali muncul secara terang-terangan.
Di sisi lain, tafsir Pancasila ala Reformasi masih dalam bentuk pencarian. Isu-isu mileneal terkini belum semuanya adahadir di benak dan wacana kita: hak asasi manusia, isu lingkungan, globalisasi, teknologi dan informasi, keragaman, toleransi, media sosial, pandemi dan lain-lain.
Tafsir Pancasila era Reformasi belum benar-benar terpikirkan secara serius. Buktinya adalah respons terhadap RUU HIP (Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila).
Jadi berdebatan seputar RUU HIP yang berkembang di pers dan media sosial adalah bentuk pertarungan wacana pengembalian Pancasila versi idealis 1945 dan reaksi versi pragmatis Orde Baru. Versi Orde Baru begitu kuat. Hantu traumatis 1965 masih terus menyeramkan bagi generasi kita yang saat ini sedang bermasyarakat dan bernegara.
Jelaslah kekuatan komunisme di dunia ini sudah runtuh lama: Tembok pemisah Jerman Timur dan Jerman Barat telah roboh tahun 1989, Uni Soviet tutup tahun 1991, dan China sudah menjadi negara adidaya kapitalis. Hanya Kuba, Veneuzuela, dan Korea Utara yang terlampau miskin dan tak mungkin mendanai bangkitnya komunisme dunia.
Kita sudah meninggalkan trauma itu 55 tahun. Orde Baru sudah memburu persembunyian cicit-cicitnya sampai ke lubang tikus terkecil pun. Tetapi trauma sudah menjadi hantu, yang menutupi kejernihan olah pikir.
Hantu itu tetap gentayangan di pikiran kita, dan siapa yang bisa membuktikan hantu itu ada? Secara ilmiah, hantu itu tidak nyata.
Tetapi, takhayul kuno itu masih dipercaya di hampir semua budaya etnis di seluruh Nusantara. Buktinya penampakan dan kisah hantu masih diminati pasar Indonesia dan layak di jual di banyak sinetron, film, talkshow, reality show, dan program para artis ibu kota cantik dan seksi dengan berbagai manipulasi: rumah seram, Jumat manis, jembatan rusak, pocong, jailangkung, kuburan, roh jahat, Nyai Blorong, gadis cantik jelmaan ular, tuyul pesugihan, kesurupan demit, dan masih banyak lagi. Hantu begitu kuat ada di pikiran dan memang pasar menghendaki demikian.
Keseraman hantu itu juga laku keras di pasar, tidak hanya di dunia hiburan yang semakin kapitalis, tetapi juga mungkin didunia politik yang semakin populis. Kesadaran diri untuk bangun dari halusinasi, trauma, pengalaman pahit, konflik masa lalu, dan sejarah kelam perlu keberanian.
tulis komentar anda