Kriteria Ideal dan Tantangan Panglima TNI Mendatang
Selasa, 16 Juni 2020 - 23:05 WIB
Keempat, Panglima TNI yang baru harus memiliki kemampuan inovasi yang memadai dalam konteks melanjutkan upaya profesionalisasi militer yang sudah sukses berjalan setelah 1998. Militer Indonesia sudah canggih dalam ilmu perang, dan kita yakin justru akan semakin canggih dalam semua cabang ilmu pengetahuan.
“Untuk itu, perlu ada kepemimpinan yang beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,” paparnya.
Boni mengatakan, tidak bisa dipungkiri keadaan bahwa ada kelompok sipil yang muncul dengan mengatasnamakan apa pun untuk memperjuangkan cita-cita politik yang sempit. Ada yang memakai simbol etnik untuk memerdekakan diri dari NRKI. Misalnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Republik Maluku Selatan (RMS) benar-benar nyata dan masih bergerak.
“Tokoh-tokoh mereka terus bergerak di luar negeri mempengaruhi opini dunia untuk mendapatkan dukungan internasional,” katanya.
Menurut dia, Pemerintahan Presiden Jokowi sejak awal mulai dengan komitmen kemanusiaan yang kuat untuk berpihak pada kelompok yang miskin dan “terlupakan” dalam proses pembangunan sejak Indonesia merdeka.
“Itu sebabnya Papua menjadi begitu diistimewakan oleh Presiden Jokowi sejak awal. Demikian juga Aceh dan daerah terluar lainnya di tapal batas yang menghubungkan kita dengan dunia luar,” tuturnya.
Dia menjelaskan, fokus utama negara adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan bagi setiap warganya. Tapi apa yang terjadi saat ini, politisasi makin liar. Gejolak isu rasisme Papua saat ini tidak sepenuhnya persoalan kemanusiaan, meskipun diakui aspek kemanusiaan di balik isu itu cukup menonjol.
“Tetapi, harus juga kita jujur bahwa ada unsur politik dalam gerakan itu. Ada kelompok politik dari Pulau Jawa yang ikut-ikutan memainkan isu ini untuk kepentingan pilpres 2024. Mereka tidak sepenuhnya peduli Papua, mereka hanya ingin merusak negara dan mencoreng citra pemerintahan Presiden Jokowi,” tuturnya.
Dalam situasi macam ini, koordinasi TNI dengan Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) menjadi kekuatan sentral yang menjamin pengendalian situasi bisa berlangsung efektif dan tetap dalam koridor demokrasi.
“Untuk itu, perlu ada kepemimpinan yang beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,” paparnya.
Boni mengatakan, tidak bisa dipungkiri keadaan bahwa ada kelompok sipil yang muncul dengan mengatasnamakan apa pun untuk memperjuangkan cita-cita politik yang sempit. Ada yang memakai simbol etnik untuk memerdekakan diri dari NRKI. Misalnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Republik Maluku Selatan (RMS) benar-benar nyata dan masih bergerak.
“Tokoh-tokoh mereka terus bergerak di luar negeri mempengaruhi opini dunia untuk mendapatkan dukungan internasional,” katanya.
Menurut dia, Pemerintahan Presiden Jokowi sejak awal mulai dengan komitmen kemanusiaan yang kuat untuk berpihak pada kelompok yang miskin dan “terlupakan” dalam proses pembangunan sejak Indonesia merdeka.
“Itu sebabnya Papua menjadi begitu diistimewakan oleh Presiden Jokowi sejak awal. Demikian juga Aceh dan daerah terluar lainnya di tapal batas yang menghubungkan kita dengan dunia luar,” tuturnya.
Dia menjelaskan, fokus utama negara adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan bagi setiap warganya. Tapi apa yang terjadi saat ini, politisasi makin liar. Gejolak isu rasisme Papua saat ini tidak sepenuhnya persoalan kemanusiaan, meskipun diakui aspek kemanusiaan di balik isu itu cukup menonjol.
“Tetapi, harus juga kita jujur bahwa ada unsur politik dalam gerakan itu. Ada kelompok politik dari Pulau Jawa yang ikut-ikutan memainkan isu ini untuk kepentingan pilpres 2024. Mereka tidak sepenuhnya peduli Papua, mereka hanya ingin merusak negara dan mencoreng citra pemerintahan Presiden Jokowi,” tuturnya.
Dalam situasi macam ini, koordinasi TNI dengan Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) menjadi kekuatan sentral yang menjamin pengendalian situasi bisa berlangsung efektif dan tetap dalam koridor demokrasi.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda