Ibu Kota Negara
Senin, 21 Maret 2022 - 11:13 WIB
Otoritas politik idealnya dipisahkan dari otoritas yang lain. Tentu tempo dulu melihat otoritas agama yang hampir sepadan dengan politik. Tokoh agama masa lalu sangat kuat pengaruhnya karena sekaligus mengatur sosial, politik dan bahkan ekonomi.
Pemisahan menandai adanya pembagian ruang, peran, dan fungsi. Sampai era reformasi di Indonesia, pemisahan agama dan politik masih perlu diskusi lebih lanjut. Relasi antara ekonomi dan politik mendapat banyak sorotan.
Relasi antara ekonomi dan agama masih dinamis. Relasi antara para pemuka agama, cendikiawan, kaum profesional, dan politisi masih terus mencari bentuk ideal. Sekulariasi di atas meja dan rundingan tentang makna itu masih terus bergulir.
Ibu kota era tempo dulu menyatukan semuanya. Ibu kota modern memberi harapan pemisahan. Jakarta saat ini masih terkesan menyatukan politik, sosial, ekonomi, agama dan banyak sektor. Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Ibu kota baru diharapkan agar pemisahan antara politik dan sektor lain lebih jelas, terutama dengan ekonomi.
Lihatlah Amerika, New York sebagai pusat metropolitan yang ramai, bandingkan dengan ibu kota pemerintahan Washington yang sepi. Sydney lebih ramai daripada Canberra. Memang ada konsep berbeda, seperti Tokyo sebagai pusat keramaian sekaligus ibu kota. Paris juga sama.
Tetapi mungkin alternatif pandangan lain perlu. Mumbai di India lebih besar dari Delhi. Sanghai lebih megah dari Beijing. Tetangga kita Kuala Lumpur masih menjadi tempat gedung-gedung termegah di Malaysia.
Perpindahan kekuasaan dan musim politik dalam sejarah Nusantara itu sendiri juga sering. Di abad empat sampai abad sepuluh Sumatera menjadi pusat dunia.
Keuntungan dua angin yang membawa layar kapal-kapal ke arah Palembang Sriwijaya dari arah China menjadikan Sriwijaya tempat singgah sebelum kapal itu lanjut ke arah India. China dan India dihubungkan dengan pusat budaya dan spiritualitas Buddhisme.
Sekali lagi, agama dan politik menyatu di sini, sama seperti era Romawi kuno. Budhisme juga mempengaruhi pola politik Nusantara, sebagaimana kita saksikan hasil karyanya seperti Borobudur di Jawa.
Batavia atau Jakarta adalah warisan Belanda. Di kota itu tempat bercampurnya berbagai etnis dan budaya. Eropa, China, Arab, India, Melayu, Bugis, Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Batak, dan lain-lain sejak tinggal di Batavia sebagai melting pot (bercampurnya berbagai ras dan etnis).
Pemisahan menandai adanya pembagian ruang, peran, dan fungsi. Sampai era reformasi di Indonesia, pemisahan agama dan politik masih perlu diskusi lebih lanjut. Relasi antara ekonomi dan politik mendapat banyak sorotan.
Relasi antara ekonomi dan agama masih dinamis. Relasi antara para pemuka agama, cendikiawan, kaum profesional, dan politisi masih terus mencari bentuk ideal. Sekulariasi di atas meja dan rundingan tentang makna itu masih terus bergulir.
Ibu kota era tempo dulu menyatukan semuanya. Ibu kota modern memberi harapan pemisahan. Jakarta saat ini masih terkesan menyatukan politik, sosial, ekonomi, agama dan banyak sektor. Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Ibu kota baru diharapkan agar pemisahan antara politik dan sektor lain lebih jelas, terutama dengan ekonomi.
Lihatlah Amerika, New York sebagai pusat metropolitan yang ramai, bandingkan dengan ibu kota pemerintahan Washington yang sepi. Sydney lebih ramai daripada Canberra. Memang ada konsep berbeda, seperti Tokyo sebagai pusat keramaian sekaligus ibu kota. Paris juga sama.
Tetapi mungkin alternatif pandangan lain perlu. Mumbai di India lebih besar dari Delhi. Sanghai lebih megah dari Beijing. Tetangga kita Kuala Lumpur masih menjadi tempat gedung-gedung termegah di Malaysia.
Perpindahan kekuasaan dan musim politik dalam sejarah Nusantara itu sendiri juga sering. Di abad empat sampai abad sepuluh Sumatera menjadi pusat dunia.
Keuntungan dua angin yang membawa layar kapal-kapal ke arah Palembang Sriwijaya dari arah China menjadikan Sriwijaya tempat singgah sebelum kapal itu lanjut ke arah India. China dan India dihubungkan dengan pusat budaya dan spiritualitas Buddhisme.
Sekali lagi, agama dan politik menyatu di sini, sama seperti era Romawi kuno. Budhisme juga mempengaruhi pola politik Nusantara, sebagaimana kita saksikan hasil karyanya seperti Borobudur di Jawa.
Batavia atau Jakarta adalah warisan Belanda. Di kota itu tempat bercampurnya berbagai etnis dan budaya. Eropa, China, Arab, India, Melayu, Bugis, Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Batak, dan lain-lain sejak tinggal di Batavia sebagai melting pot (bercampurnya berbagai ras dan etnis).
tulis komentar anda