Penundaan Pemilu dan Kudeta Kekuasaan

Jum'at, 18 Maret 2022 - 15:54 WIB
Sementara, dalam sistem autokrasi bergantung pada dukungan minoritas karena hanya terdapat sedikit warga terpilih yang diberikan hak suara dalam pembentukan pemerintahan seperti anggota keluarga kerajaan, perwira militer, elite birokrasi, atau elite bisnis. Warga negara lainnya secara formal atau faktual diasingkan dari politik baik karena memang tidak ada pemilu, atau adanya pembatasan hak suara, atau praktik pemilu yang curang, dan atau karena kelompok oposisi ditekan sedemikian rupa.

Pandemi dan Penundaan Pemilu

Salah satu alasan yang dikemukakan oleh sebagian pihak yang mengusulkan penundaan pemilu adalah didasarkan pada Pandemi Covid-19 yang dianggap belum mereda. Menurut kelompok ini, pandemi telah memenuhi unsur terjadinya “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945, dan “keadaan bahaya” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Berlandasakan pada alasan kedaruratan inilah penundaan pemilu itu disandarkan.

Dalam sejarah perjalanan ketatanegaraan Indonesia, kondisi darurat ini telah terjadi beberapa kali sehingga mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang sebenarnya inkonstitusional tetapi terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan kepentingan negara dan demokrasi yang lebih besar.

Misalnya, diawal kemerdekaan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi: "Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan komite nasional." Berdasarkan ketentuan tersebut kedudukan komite nasional adalah hanya pembantu Presiden. Namun dalam perkembangannya, demi kepentingan agar Indonesia tidak di cap sebagai negara otoriter di mana kekuasaan hanya menumpuk di tangan Presiden, dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang mengubah status komite nasional sepenuhnya menjadi pemegang kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Pertanyaan pentingnya kemudian adalah, betulkah pandemi Covid-19 ini telah menyebabkan kondisi darurat luar biasa dan kemudian perlu adanya menundaan pemilu? Semua orang pasti setuju bahwa Covid-19 telah melahirkan kondisi darurat di bidang kesehatan yang telah berdampak pada banyak dimensi kehidupan seperti ekonomi, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Namun demikian, betatapun dahsyatnya dampak pandemi bagi kehidupan masyarakat tersebut, tidak serta merta hal ini dapat dijadikan alasan pembenar untuk menunda pemilu. Sebabnya adalah pada 2020 di mana saat itu pandemi sedang pada puncaknya, ternyata pemerintah mampu melaksanakan pilkada serentak tanpa halangan apapun. Dan, berdasarkan evaluasi, penyelenggaraan pilkada tidak berkontribusi pada semakin memburuknya penyebaran virus korona.

Dengan demikian, menjadikan pandemi sebagai alasan untuk menunda pemilu, sama sekali tidak didukung oleh argumentasi dan fakta yang kuat sebab pengalaman justru menunjukkan sebaliknya yaitu penyelenggaraan pemilu di tengah-tengah pandemi terlaksana sukses dan tidak memunculkan akibat buruk sebagaimana yang dikhawatirkan. Terlebih, jika menilik pada angka penyebaran Covid-19 belakangan, datanya justru menunjukkan tren penurunan.

Jalan Tengah

Jika merujuk pada data komparasi di berbagai negara, akan ditemukan fakta bahwa memang ada negara yang karena alasan pandemi menunda pemilunya. Tetapi ada pula yang tetap menyelenggarakannya. Antara 21 Februari 2020 hingga 21 Februari 2022, paling tidak 80 negara dan teritori menunda pemilu. Sementara yang tetap melaksanakan pemilu di tengah-tengah korona ada lebih banyak lagi, yaitu lebih dari 160 negara dan teritori (Indrayana: 2022).
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More