Penundaan Pemilu dan Kudeta Kekuasaan

Jum'at, 18 Maret 2022 - 15:54 WIB
loading...
Penundaan Pemilu dan Kudeta Kekuasaan
Jamaludin Ghafur (Foto: Ist)
A A A
Jamaludin Ghafur
Dosen HTN dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)

ISU mengenai penundaan pemilu telah menyedot perhatian khalayak seantero Nusantara. Hal ini dapat dipahami sebab ditinjau dari perspektif kedaulatan rakyat, boleh dibilang pemilu adalah momentum satu-satunya di mana suara atau pilihan warga begitu berharga karena bersifat mengikat. Di luar pemilu, suara rakyat seringkali hanya dijadikan bahan pertimbangan yang tidak mengikat oleh pemerintah.

Di antara sekian banyak fungsi pemilu, yang terpenting adalah ia merupakan sebuah mekanisme untuk melaksanakan pergantian kepemimpinan secara damai. Dari sudut pandang demokrasi, suksesi kepemimpinan merupakan suatu keniscayaan sebab seorang pemimpin dipilih tidak dimaksudkan untuk berkuasa selamanya, tetapi kepemimpinan yang dibatasi oleh periode waktu.

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 secara tegas mengatur bahwa pengisian jabatan baik di lembaga eksekutif maupun legislatif harus dilakukan secara periodik setiap 5 tahun sekali. Bahkan khusus untuk lembaga kepresidenan, Pasal 7 UUD 1945 membatasi seseorang hanya boleh menduduki jabatan ini maksimal dua periode.

Begitu urgennya suksesi kepemimpinan, tidak heran bila para teoritisi demokrasi menempatkannya sebagai salah satu kriteria demokrasi yang paling penting dan fundamental dengan argumentasi bahwa dalam sebuah negara demokrasi, setiap warga negara harus diberi hak dan kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan politis.

Ada dua hal penting yang harus dimiliki oleh sebuah kepemimpinan dalam negara demokrasi yaitu: legalitas dan legitimasi. Legalitas merujuk kepada pengertian bahwa cara untuk memperoleh kekuasaan harus berdasarkan hukum dan konstitusi. Sementara legitimasi bermakna kepemimpinan mesti mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat luas.

Untuk menciptakan kepemimpinan yang memenuhi dua kualifikasi tersebut, tidak ada cara lain kecuali harus melalui mekanisme pemilu yang bersifat partisipatif. Pemilu dengan demikian adalah instrumen legal untuk meraih kekuasaan, dan sekaligus sebagai alat pengukur yang sahih untuk menghitung dukungan rakyat sebagai basis legitimasi kekuasaan.

Singkat kata, setiap pemerintahan demokratis yang mentahbiskan dirinya berasal dari rakyat, haruslah terbentuk berdasarkan hasil pemilu. Inilah titik pembeda antara demokrasi dan autokrasi. Dalam demokrasi, pemerintahan sangat bergantung pada dukungan massa karena semua warga negara memiliki hak suara dalam pembentukan pemerintah. Ketergantungan pada dukungan massa ini yang kemudian memaksa pemerintah demokratis untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berbasis pada kepentingan mayoritas rakyat.

Sementara, dalam sistem autokrasi bergantung pada dukungan minoritas karena hanya terdapat sedikit warga terpilih yang diberikan hak suara dalam pembentukan pemerintahan seperti anggota keluarga kerajaan, perwira militer, elite birokrasi, atau elite bisnis. Warga negara lainnya secara formal atau faktual diasingkan dari politik baik karena memang tidak ada pemilu, atau adanya pembatasan hak suara, atau praktik pemilu yang curang, dan atau karena kelompok oposisi ditekan sedemikian rupa.

Pandemi dan Penundaan Pemilu
Salah satu alasan yang dikemukakan oleh sebagian pihak yang mengusulkan penundaan pemilu adalah didasarkan pada Pandemi Covid-19 yang dianggap belum mereda. Menurut kelompok ini, pandemi telah memenuhi unsur terjadinya “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945, dan “keadaan bahaya” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Berlandasakan pada alasan kedaruratan inilah penundaan pemilu itu disandarkan.

Dalam sejarah perjalanan ketatanegaraan Indonesia, kondisi darurat ini telah terjadi beberapa kali sehingga mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang sebenarnya inkonstitusional tetapi terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan kepentingan negara dan demokrasi yang lebih besar.

Misalnya, diawal kemerdekaan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi: "Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan komite nasional." Berdasarkan ketentuan tersebut kedudukan komite nasional adalah hanya pembantu Presiden. Namun dalam perkembangannya, demi kepentingan agar Indonesia tidak di cap sebagai negara otoriter di mana kekuasaan hanya menumpuk di tangan Presiden, dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang mengubah status komite nasional sepenuhnya menjadi pemegang kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Pertanyaan pentingnya kemudian adalah, betulkah pandemi Covid-19 ini telah menyebabkan kondisi darurat luar biasa dan kemudian perlu adanya menundaan pemilu? Semua orang pasti setuju bahwa Covid-19 telah melahirkan kondisi darurat di bidang kesehatan yang telah berdampak pada banyak dimensi kehidupan seperti ekonomi, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Namun demikian, betatapun dahsyatnya dampak pandemi bagi kehidupan masyarakat tersebut, tidak serta merta hal ini dapat dijadikan alasan pembenar untuk menunda pemilu. Sebabnya adalah pada 2020 di mana saat itu pandemi sedang pada puncaknya, ternyata pemerintah mampu melaksanakan pilkada serentak tanpa halangan apapun. Dan, berdasarkan evaluasi, penyelenggaraan pilkada tidak berkontribusi pada semakin memburuknya penyebaran virus korona.

Dengan demikian, menjadikan pandemi sebagai alasan untuk menunda pemilu, sama sekali tidak didukung oleh argumentasi dan fakta yang kuat sebab pengalaman justru menunjukkan sebaliknya yaitu penyelenggaraan pemilu di tengah-tengah pandemi terlaksana sukses dan tidak memunculkan akibat buruk sebagaimana yang dikhawatirkan. Terlebih, jika menilik pada angka penyebaran Covid-19 belakangan, datanya justru menunjukkan tren penurunan.

Jalan Tengah
Jika merujuk pada data komparasi di berbagai negara, akan ditemukan fakta bahwa memang ada negara yang karena alasan pandemi menunda pemilunya. Tetapi ada pula yang tetap menyelenggarakannya. Antara 21 Februari 2020 hingga 21 Februari 2022, paling tidak 80 negara dan teritori menunda pemilu. Sementara yang tetap melaksanakan pemilu di tengah-tengah korona ada lebih banyak lagi, yaitu lebih dari 160 negara dan teritori (Indrayana: 2022).

Berdasarkan data tersebut, bisa saja pemerintah mendalilkan bahwa “menunda” atau “tetap menyelenggarakan” pemilu sama-sama terdapat contohnya sehingga hal ini hanya akan menyebabkan perdebatan yang tak berkesudahan. Karena itu, perlu dicari solusi terbaik terutama bila pilihannya adalah tetap ingin menunda pemilu.

Jika merujuk pada ketentuan konstitusi yang saat ini berlaku, jelas tidak ada dasar konstitusional untuk menunda pemilu. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melalui konvensi ketatanegaraan. Sebagaimana lazim diketahui, konvensi merupakan salah satu sumber hukum tata negara yang eksistensinya bahkan bisa mengesampingkan berlakunya ketentuan dalam konstitusi.

Namun yang harus diingat adalah agar konvensi memiliki kekuatan hukum yang sama dengan konstitusi, hal ini mempersyaratkan adanya penerimaan oleh publik secara luas. Dengan demikian, konvensi tidak cukup hanya disepakati oleh para elite politik, tetapi ia juga harus dipatuhi oleh masyarakat luas. Penolakan oleh mayoritas rakyat, akan serta merta menyebabkan konvensi tersebut kehilangan dasar mengikatnya secara hukum.

Berdasarkan hal tersebut, satu-satunya cara untuk menunda pemilu yang keputusannya dapat mengikat semua pihak adalah melalui referendum yaitu pemerintah secara langsung bertanya kepada rakyat tentang perlu tidaknya menunda pemilu di era pandemi ini. Jika mayoritas jawabannya setuju, hal itu bisa dijadikan dasar konstitusional oleh pemerintah. Namun bila hasilnya adalah sebaliknya, tentu tindakan pemerintah harus selaras dengan aspirasi masyarakat tersebut.

Melaksanakan referendum merupakan jalan tengah yang sekaligus meminimalkan risiko ketatanegaraan yang tidak diinginkan. Menunda pemilu tanpa persetujuan rakyat akan membawa bangsa ini tergelincir pada chaos dan huru-hara yang tak berkesudahan. Akibat terburuknya adalah pemerintahan sipil yang demokratis akan lumpuh dan tidak akan mampu melayani kepentingan serta melindungi keamanan masyarakat. Bila kondisi ini muncul akan membuka jalan yang lebar bagi kalangan militer untuk mengabil alih atau mengudeta kekuasaan atas nama stabilitas. Jika itu terjadi, maka riwayat pemerintahan demokratis akan seketika tamat!

Karena itu, ide untuk menunda pelaksanaan pemilu harus dipertimbangkan secara matang dan penuh kehati-hatian. Kesalahan dan kecerobohan kita dalam menyikapi usulan penundaan pemilu ini bukan tidak mungkin akan menghancurkan tatanan demokrasi yang sudah kita ciptakan secara jatuh-bangun sejak era reformasi dengan mengorbankan banyak tenaga, pikiran, harta, dan bahkan nyawa warga negara.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2487 seconds (0.1#10.140)