Kontroversi Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
Kamis, 17 Maret 2022 - 15:25 WIB
Mayoritas ulama yang bermukim di Hijaz (Mekkah) mengingkarinya. Mereka menganggap bahwa seluruh aktivitas yang dikerjakan di malam Nishfu Sya’ban untuk memuliakan dan menghidupkan malam tersebut adalah bidah. Menurut aL-Syamany, bidah adalah “sesuatu yang diada-adakan yang berlawanan dengan yang haq (benar) yang telah diterima dari Rasulullah saw, baik berupa ilmu, amal, ataupun keadaan. Diadakan itu karena suatu keterangan yang samar atau dianggap baik dan dipandang sebagai ajaran agama yang lurus” (M. Hasbi ash-Shiddieqy, Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, cet. IV, hlm. 45).
Sahabat kenamaan yang dikenal sebagai cendekiawan muda, berbudi pekerti sangat luhur, perawi banyak hadis, dan putra Khalifah Umar bin Khattab, yakni Abdullah bin Umar ra, mengatakan Rasulullah saw bersabda: “Ada lima malam yang tidak akan ditolak permohonan atau doa seseorang. Lima malam itu ialah: malam Jumat, malam sepuluh bulan Muharam, malam Nishfu Sya’ban, serta malam Idulfitri dan Iduladha” (Al-Khaubariy, 235).
Al-Auza’i, seorang imam, ulama, dan ahli fikih di Negeri Syam berpendapat, dimakruhkan berkumpul dalam jumlah jamaah yang besar pada malam Nishfu Sya’ban di masjid-masjid untuk mengerjakan salat sunat sebagaimana yang terjadi di zaman sekarang. Para ulama ahli fikih telah sepakat memakruhkan melakukan salat sunat secara berjamaah selain dari salat tarawih, istisqa (salat meminta hujan), dan salat kusuf (gerhana matahari dan bulan) (Al-Khaubariy, 220).
Berdasarkan penelusuran sejarah, pertama kali munculnya perbuatan bidah memuliakan dan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban adalah sekitar tahun 448 H. Imam al-Thurtusiy menuturkan bahwasanya seseorang telah mendatangi bait al-muqaddas, lalu ia melaksanakan salat sunat pada malam Nishfu Sya’ban di Masjid Al-Aqsha. Setelah takbir pertama, di belakangnya ada satu orang yang mengikuti salat, lalu bertambah dua orang, tiga orang, empat orang hingga banyak lagi yang mengikutinya. Pada tahun berikutnya, ia melakukan lagi salat yang serupa dan diikuti oleh orang banyak yang akhirnya menjadi populer serta merambah tempat-tempat lain. Mereka menetapkan sebagai sunah yang mentradisi di masyarakat, padahal ulama mutaakhirin (kontemporer) mencelanya, bahkan menegaskan bahwa hal seperti itu hukumnya bidah qabihah (bidah yang buruk), yang di dalamnya terdapat berbagai kemungkaran.
Di masa sekarang, bila diamati dengan saksama, ternyata masih ada aktivitas sebagian masyarakat muslim yang mengisi malam Nishfu Sya’ban dengan pelaksanaan salat sunat Nishfu Sya’ban berjumlah dua rakaat dan salat qadha yang bertujuan untuk membayar salat-salat yang mungkin pernah ditinggalkan. Perilaku seperti ini jelas merupakan perbuatan bidah qabihah yang wajib dijauhi dan dicegah. Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang khawatir akan terjerumus pada kemungkaran, lebih tepat jika memilih salat di rumah saja apabila tidak ada masjid atau musala yang diyakini steril dari unsur bidah.
Al-Syeikh Zainuddin bin ‘Abd al-‘Aziz ibn Zainuddin al-Malibariy mengungkapkan secara tegas: “Termasuk bidah yang buruk dan tercela, yaitu mengerjakan salat al-raghaib 12 rakaat di antara magrib dan isya pada malam Jumat pertama bulan Rajab, salat 100 rakaat pada malam Nishfu Sya’ban, salat 17 rakaat pada akhir Jumat bulan Ramadan dengan niat meng-qadha salat lima waktu yang tidak yakin berapa yang belum atau harus di-qadha, salat 4 rakaat pada hari Asyura (10 Muharam) dan salat mingguan. Adapun hadis-hadis mengenai salat-salat tersebut adalah maudhu’ (palsu)” (Zainuddin bin ‘Abd al-‘Aziz ibn Zainuddin al-Malibariy, Irsyad al-‘Ibad, Surabaya: Dar al-Nasyr al-Mishriyah, tth., hlm. 23).
Dengan demikian, walaupun ada beberapa hadis yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan mayoritas ulama membolehkan mengamalkan hadis-hadis itu yang dinilainya daif, selagi mendorong supaya gemar mengerjakan amal-amal kebajikan (fadhail al-a’mal), tidak berarti kaum muslimin harus mengultuskan dan mengagungkannya hingga terkadang berlebihan yang akhirnya terjerumus pada perilaku bidah.
Masyarakat muslim di Mesir dan Yaman telah melaksanakan tradisi menghidupkan malam Nishfu Sya’ban. Ritual peribadatan Nishfu Sya’ban kemudian masuk ke Indonesia, khususnya ke wilayah masyarakat Betawi yang menurut perkiraan dibawa oleh para ulama atau habib dari Yaman sehingga wajar jika ritual peribadatan Nishfu Sya`ban di Betawi khususnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Yaman.
Di masyarakat Betawi, peringatan Nishfu Sya'ban seakan telah menjadi acara wajib seperti halnya Maulidan dan Rajaban yang dilakukan di masjid dan musala setelah salat magrib.
Berdasarkan penjelasan beberapa literatur tentang Nishfu Sya’ban, dapat disimpulkan bahwa ekspresi kegembiraan menyambut malam Nishfu Sya’ban yang sudah menjadi tradisi di kalangan mayoritas muslimin saat ini dapat ditoleransi selama tidak menyimpang dari manhaj ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunah. Hal itu bahkan dianjurkan, sebab menjadi bagian dari syiar yang diharapkan dapat menumbuhkan motivasi serta kesiapan mental berupa semangat dan kesungguhan untuk meraih ampunan Allah swt.
Sahabat kenamaan yang dikenal sebagai cendekiawan muda, berbudi pekerti sangat luhur, perawi banyak hadis, dan putra Khalifah Umar bin Khattab, yakni Abdullah bin Umar ra, mengatakan Rasulullah saw bersabda: “Ada lima malam yang tidak akan ditolak permohonan atau doa seseorang. Lima malam itu ialah: malam Jumat, malam sepuluh bulan Muharam, malam Nishfu Sya’ban, serta malam Idulfitri dan Iduladha” (Al-Khaubariy, 235).
Al-Auza’i, seorang imam, ulama, dan ahli fikih di Negeri Syam berpendapat, dimakruhkan berkumpul dalam jumlah jamaah yang besar pada malam Nishfu Sya’ban di masjid-masjid untuk mengerjakan salat sunat sebagaimana yang terjadi di zaman sekarang. Para ulama ahli fikih telah sepakat memakruhkan melakukan salat sunat secara berjamaah selain dari salat tarawih, istisqa (salat meminta hujan), dan salat kusuf (gerhana matahari dan bulan) (Al-Khaubariy, 220).
Berdasarkan penelusuran sejarah, pertama kali munculnya perbuatan bidah memuliakan dan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban adalah sekitar tahun 448 H. Imam al-Thurtusiy menuturkan bahwasanya seseorang telah mendatangi bait al-muqaddas, lalu ia melaksanakan salat sunat pada malam Nishfu Sya’ban di Masjid Al-Aqsha. Setelah takbir pertama, di belakangnya ada satu orang yang mengikuti salat, lalu bertambah dua orang, tiga orang, empat orang hingga banyak lagi yang mengikutinya. Pada tahun berikutnya, ia melakukan lagi salat yang serupa dan diikuti oleh orang banyak yang akhirnya menjadi populer serta merambah tempat-tempat lain. Mereka menetapkan sebagai sunah yang mentradisi di masyarakat, padahal ulama mutaakhirin (kontemporer) mencelanya, bahkan menegaskan bahwa hal seperti itu hukumnya bidah qabihah (bidah yang buruk), yang di dalamnya terdapat berbagai kemungkaran.
Di masa sekarang, bila diamati dengan saksama, ternyata masih ada aktivitas sebagian masyarakat muslim yang mengisi malam Nishfu Sya’ban dengan pelaksanaan salat sunat Nishfu Sya’ban berjumlah dua rakaat dan salat qadha yang bertujuan untuk membayar salat-salat yang mungkin pernah ditinggalkan. Perilaku seperti ini jelas merupakan perbuatan bidah qabihah yang wajib dijauhi dan dicegah. Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang khawatir akan terjerumus pada kemungkaran, lebih tepat jika memilih salat di rumah saja apabila tidak ada masjid atau musala yang diyakini steril dari unsur bidah.
Al-Syeikh Zainuddin bin ‘Abd al-‘Aziz ibn Zainuddin al-Malibariy mengungkapkan secara tegas: “Termasuk bidah yang buruk dan tercela, yaitu mengerjakan salat al-raghaib 12 rakaat di antara magrib dan isya pada malam Jumat pertama bulan Rajab, salat 100 rakaat pada malam Nishfu Sya’ban, salat 17 rakaat pada akhir Jumat bulan Ramadan dengan niat meng-qadha salat lima waktu yang tidak yakin berapa yang belum atau harus di-qadha, salat 4 rakaat pada hari Asyura (10 Muharam) dan salat mingguan. Adapun hadis-hadis mengenai salat-salat tersebut adalah maudhu’ (palsu)” (Zainuddin bin ‘Abd al-‘Aziz ibn Zainuddin al-Malibariy, Irsyad al-‘Ibad, Surabaya: Dar al-Nasyr al-Mishriyah, tth., hlm. 23).
Dengan demikian, walaupun ada beberapa hadis yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan mayoritas ulama membolehkan mengamalkan hadis-hadis itu yang dinilainya daif, selagi mendorong supaya gemar mengerjakan amal-amal kebajikan (fadhail al-a’mal), tidak berarti kaum muslimin harus mengultuskan dan mengagungkannya hingga terkadang berlebihan yang akhirnya terjerumus pada perilaku bidah.
Masyarakat muslim di Mesir dan Yaman telah melaksanakan tradisi menghidupkan malam Nishfu Sya’ban. Ritual peribadatan Nishfu Sya’ban kemudian masuk ke Indonesia, khususnya ke wilayah masyarakat Betawi yang menurut perkiraan dibawa oleh para ulama atau habib dari Yaman sehingga wajar jika ritual peribadatan Nishfu Sya`ban di Betawi khususnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Yaman.
Di masyarakat Betawi, peringatan Nishfu Sya'ban seakan telah menjadi acara wajib seperti halnya Maulidan dan Rajaban yang dilakukan di masjid dan musala setelah salat magrib.
Berdasarkan penjelasan beberapa literatur tentang Nishfu Sya’ban, dapat disimpulkan bahwa ekspresi kegembiraan menyambut malam Nishfu Sya’ban yang sudah menjadi tradisi di kalangan mayoritas muslimin saat ini dapat ditoleransi selama tidak menyimpang dari manhaj ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunah. Hal itu bahkan dianjurkan, sebab menjadi bagian dari syiar yang diharapkan dapat menumbuhkan motivasi serta kesiapan mental berupa semangat dan kesungguhan untuk meraih ampunan Allah swt.
Lihat Juga :
tulis komentar anda