Pengeras Suara: Bid’ah yang Baik atau Buruk?
loading...
A
A
A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SEMUA alat-alat teknologi hasil rekayasa manusia, termasuk pengeras suara, adalah inovasi. Inovasi dalam bahasa Arabnya kira-kira sepadan dengan bid’ah. Jadi pengeras suara itu bisa dikategorikan sebagai bid’ah, atau barang temuan baru yang belum ada zaman Nabi Muhammad SAW.
Bid’ah sendiri dalam kajian hadits (sabda Nabi Muhammad), sunnah (perilaku Nabi), dan fiqh (hukum Islam), terbagi dua macam secara umum: bid’ah yang baik (hasanah) dan yang tidak baik (zalalah). Apakah itu bid’ah hasanah, atau bid’ah zalalah tergantung dari cara pemakaian, kemanfaatan, atau mudarat dari barang-barang inovatif tadi.
Pisau untuk mengiris bawang bermanfaat. Tetapi pisau untuk menusuk orang, itu perbuatan menyakiti orang lain dan tentu dosa. Itu bid’ah zalalah. Instagram atau Twitter jelas bid’ah, atau inovasi mutaakhir. Sosial media untuk menyerang orang jelas zalalah. Tetapi sosial media untuk kampanye pemanasan global, hak asasi manusia, keadilan, kejujuran adalah bid’ah hasanah.
Pengeras suara juga tidak ada bedanya. Pengeras suara adalah jelas bid’ah, atau inovasi manusia terkini. Pengeras suara dengan suara bagus, merdu, dan orang yang mendengarnya terhibur, jelas hasanah (kebajikan). Jika pengeras suara itu mengganggu, mengusik, membisingkan, atau membangunkan yang sedang tidur tengah malam, dengan suara parau, serak, sumbang, tidak indah, dan tidak mendidik, itu jelas zalalah (keburukan).
Jadi pengeras suara itu netral. Perbuatan dan penempatan itu bisa menghasilkan mudarat atau manfaat, begitu dalam bahasa Ushul Fiqh (kaidah hukum Islam). Seribu lima ratus tahun yang lalu, yang biasa disebut era Late Antiquity (era antik akhir), yaitu abad tujuh, teknologi manusia jauh lebih sederhana dibanding saat ini. Jelas zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada pengeras suara, apalagi telepon genggam, mobil, kereta, pesawat, jalan tol, apalagi teleskop yang mengintai ruang angkasa.
Semua itu bisa disebut inovasi manusia pasca zaman industrialisasi. Terutama alat-alat yang sifatnya digital baru saja lima puluh tahun terakhir, atau bahkan dua puluh terakhir. Betapa bid’ahnya kita semua karena menggunakan alat-alat temuan yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW. Semua pertimbangan guna menggunakan tentang pengeras suara, jelas pertimbangan baru juga (illat).
Pertimbangan penggunaan alat suara semata-mata dijustifikasi oleh dalil-dalil naqli saja jelas tidak bisa, tanpa melihat perkembangan masyarakat modern dan pasca-modern. Peraturan dan hukum negara selalu dikait-kaitkan dengan agama jelas tidak bijak. Tidak semua bisa dilihat dari kacamata teologis, apalagi jika sampai ada penghakiman dari sudut pandang mazhab atau bahasa Kitab Suci.
Pengaturan penggunaan pengeras suara dikaitkan dengan politik, atau kepentingan politik, juga tidak tepat. Mari berfikir jernih, rasional, dan runtut. Tentang penggunaan dan tata tertib pengeras suara itu sudah diatur lama oleh Kementerian Agama 44 tahun yang lalu. Penggunaan pengeras suara adalah isu lama.
Peraturan itu termaktub dalam Instruksi Direktur Jendral bimbingan masyarakat Islam nomer KEP/D/I/78 dengan judul “Tuntutan penggunaan pengeras suara di masjid dan musholla”. Tuntunan itu disahkan di Jakarta tanggal 17 Juli 1978. Yang menandatangani Direktur Jenderal Drs. Kafrawi MA. Peraturan Dirjend itu termasuk rinci.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SEMUA alat-alat teknologi hasil rekayasa manusia, termasuk pengeras suara, adalah inovasi. Inovasi dalam bahasa Arabnya kira-kira sepadan dengan bid’ah. Jadi pengeras suara itu bisa dikategorikan sebagai bid’ah, atau barang temuan baru yang belum ada zaman Nabi Muhammad SAW.
Bid’ah sendiri dalam kajian hadits (sabda Nabi Muhammad), sunnah (perilaku Nabi), dan fiqh (hukum Islam), terbagi dua macam secara umum: bid’ah yang baik (hasanah) dan yang tidak baik (zalalah). Apakah itu bid’ah hasanah, atau bid’ah zalalah tergantung dari cara pemakaian, kemanfaatan, atau mudarat dari barang-barang inovatif tadi.
Pisau untuk mengiris bawang bermanfaat. Tetapi pisau untuk menusuk orang, itu perbuatan menyakiti orang lain dan tentu dosa. Itu bid’ah zalalah. Instagram atau Twitter jelas bid’ah, atau inovasi mutaakhir. Sosial media untuk menyerang orang jelas zalalah. Tetapi sosial media untuk kampanye pemanasan global, hak asasi manusia, keadilan, kejujuran adalah bid’ah hasanah.
Pengeras suara juga tidak ada bedanya. Pengeras suara adalah jelas bid’ah, atau inovasi manusia terkini. Pengeras suara dengan suara bagus, merdu, dan orang yang mendengarnya terhibur, jelas hasanah (kebajikan). Jika pengeras suara itu mengganggu, mengusik, membisingkan, atau membangunkan yang sedang tidur tengah malam, dengan suara parau, serak, sumbang, tidak indah, dan tidak mendidik, itu jelas zalalah (keburukan).
Jadi pengeras suara itu netral. Perbuatan dan penempatan itu bisa menghasilkan mudarat atau manfaat, begitu dalam bahasa Ushul Fiqh (kaidah hukum Islam). Seribu lima ratus tahun yang lalu, yang biasa disebut era Late Antiquity (era antik akhir), yaitu abad tujuh, teknologi manusia jauh lebih sederhana dibanding saat ini. Jelas zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada pengeras suara, apalagi telepon genggam, mobil, kereta, pesawat, jalan tol, apalagi teleskop yang mengintai ruang angkasa.
Semua itu bisa disebut inovasi manusia pasca zaman industrialisasi. Terutama alat-alat yang sifatnya digital baru saja lima puluh tahun terakhir, atau bahkan dua puluh terakhir. Betapa bid’ahnya kita semua karena menggunakan alat-alat temuan yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW. Semua pertimbangan guna menggunakan tentang pengeras suara, jelas pertimbangan baru juga (illat).
Pertimbangan penggunaan alat suara semata-mata dijustifikasi oleh dalil-dalil naqli saja jelas tidak bisa, tanpa melihat perkembangan masyarakat modern dan pasca-modern. Peraturan dan hukum negara selalu dikait-kaitkan dengan agama jelas tidak bijak. Tidak semua bisa dilihat dari kacamata teologis, apalagi jika sampai ada penghakiman dari sudut pandang mazhab atau bahasa Kitab Suci.
Pengaturan penggunaan pengeras suara dikaitkan dengan politik, atau kepentingan politik, juga tidak tepat. Mari berfikir jernih, rasional, dan runtut. Tentang penggunaan dan tata tertib pengeras suara itu sudah diatur lama oleh Kementerian Agama 44 tahun yang lalu. Penggunaan pengeras suara adalah isu lama.
Peraturan itu termaktub dalam Instruksi Direktur Jendral bimbingan masyarakat Islam nomer KEP/D/I/78 dengan judul “Tuntutan penggunaan pengeras suara di masjid dan musholla”. Tuntunan itu disahkan di Jakarta tanggal 17 Juli 1978. Yang menandatangani Direktur Jenderal Drs. Kafrawi MA. Peraturan Dirjend itu termasuk rinci.