Parpol Mulai Poles Cagub, Sinyal Pertarungan Pilgub DKI 2024 Bakal Sengit

Senin, 14 Maret 2022 - 15:15 WIB
“Kursi gubernur DKI Jakarta ibarat menjadi laboratorium bagi publik. Mereka yang berhasil di DKI dianggap mampu untuk memimpin Indonesia,” tutur Adjie Minggu (13/3).

Ancaman Isu Politik Identitas

Pilgub DKI Jakarta pada 2017 tercatat sebagai pilkada dengan pertarungan yang sangat keras. Pertarungan putaran kedua yang melibatkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung koalisi Gerindra-PKS dan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang diusung koalisi PDIP, diwarnai isu politik identitas. Terjadi pembelahan di masyarakat yang melibatkan pendukung dua kubu yang bertarung. Kelompok Islam diidentikkan dengan kubu Anies-Sandi, sedangkan kelompok nasionalis diidentikkan dengan Ahok-Djarot. Pembelahan di masyarakat sebagai residu pertarungan pilgub lima tahun lalu tersebut bahkan masih terasa hingga saat ini.

Baca juga: Politikus PKB Prediksi Gibran Tak Laku di Pilgub DKI Jakarta

Lantas, bagaimana tensi Pilgub DKI 2024? Adjie Alfaraby memprediksi pertarungan tetap bakal sengit, namun auranya tidak akan sepanas seperti perhelatan pada 2017, terutama jika dikaitkan dengan isu politik identitas. Kemungkinan penggunaan isu identitas masih ada masih ada namun skalanya lebih kecil dan minimal.

“Dan, pasti tak akan sama karena ketika pilgub sebelumnya ada Ahok sebagai double minority yang ikut bertarung dan ada dugaan kasus penistaan terhadap agama mayoritas,” kata dia.

Adapun yang menjadi perhatian, lanjut Adjie, yaitu blok politik di Pilpres 2019 yang mungkin masih tersisa dan ada kemungkinan mewarnai pertarungan Pilgub Jakarta 2024. Kelompok Islam politik mungkin akan menyatu pada calon yang dianggap paling mewakili mereka. Sementara, kelompok nasionalis juga akan menyatu pada calon yang dianggap paling mewakili mereka.

“Intinya, kedua kelompok ini tak ingin kalah di pertarungan Jakarta yang dianggap strategis. Yang akan menentukan kemenangan adalah kelompok pemilih yang di tengah-di tengah keduanya itu. Dan, jumlahnya lebih banyak,” ujar Adjie menganilisis.

Daya Ungkit Elektoral

Keputusan Golkar dan Nasdem mengenalkan pasangan cagub dan cawagubnya meski pilgub masih tersisa dua tahun disinyalir langkah politik dini. Namun, pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indosmep Riset & Consulting Aprikie Putra Wijaya menilai, langkah dua parpol tersebut sangat logis. Begitu pun partai lain seperti PDIP dan Gerindra yang juga sudah menyebut nama calon. Tujuan parpol tersebut adalah untuk mengaktivasi nama-nama yang ada supaya masuk ke frekuensi Pilgub Jakarta 2024.



“Karena ketika nama, seperti Sahroni, Airin, Gibran, Risma, Ahok, dan Riza Patria masuk ke dalam frekuensi calon gubernur Jakarta, para kandidat itu akan menjadi perbincangan publik, diulas oleh media, yang bahasannya kemudian sudah pada konteks sebagai calon gubernur atau wakil gubernur dalam Pilkada Jakarta,” ujarnya Sabtu (12/3).

Menurut dia, yang diharapkan parpol ketika melempar nama-nama calon gubernur tersebut ke publik adalah mereka cepat dikenal sebagai calon gubernur atau wakil gubernur yang secara tidak langsung juga akan memberikan daya ungkit elektoral. “Ditambah juga dengan riset-riset politik yang pasti akan menganalisa kelayakan elektoral nama-nama calon tersebut . Sehingga nanti parpol bisa mengambil keputusan yang tepat dalam menentukan kandidat terbaik yang akan diusung di pilgub,” paparnya.

Terkait tensi pilkada, Pilgub Jakarta menurut Aprikie akan melahirkan dinamika yang tinggi. Tetap akan tersaji pertarungan yang keras karena masih ada polarisasi pasca-Pilgub Jakarta 2017. “Apalagi nama Ahok juga mulai dimunculkan kembali sebagai calon gubernur DKI. Meskipun itu belum pasti, tapi pasti sudah disiapkan antisipasi oleh faksi yang kontra,” ujarnya.

Peneliti Indikator Politik Indonesia (IPI) Bawono Kumoro juga memahami sikap sejumlah parpol yang mulai melirik sosok bakal cagub yang berpotensi maju di Pilkada Jakarta 2024. Jakarta disebutnya memiliki posisi strategis. Selain ibu kota negara, Jakarta juga pusat kanal dan arus informasi.

“Karena itu, Pilkada Jakarta seperti jadi barometer politik nasional. Orang nomor satu di Ibu Kota akan memperoleh coverage media massa dan juga atensi publik luas dari seluruh Indonesia. Meski nanti DKI Jakarta sudah tidak lagi menjadi ibu kota negara tetapi magnet dari Pilkada Jakarta tidak akan hilang sama sekali,” kata Bawono, Minggu (13/3).



Menjadi pemimpin Jakarta juga akan mengerek popularitas gubernur dan wakil gubernur terutama jika dapat membuktikan kinerjanya. Dengan begitu bukan hal mustahil mereka akan digadang-gadang naik level bertarung di pilpres.

“Memang tren sejak dua pemilu terakhir ini sumber-sumber kepemimpinan nasional akan berasal dari kepala-kepala daerah. Karena jabatan kepala daerah memungkinkan seseorang untuk dapat menunjukkan kapasitas kepemimpinan mereka dalam mengatasi problem warga sehari-hari dibandingkan jabatan publik lain,” lanjut dia.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More