Parpol Mulai Poles Cagub, Sinyal Pertarungan Pilgub DKI 2024 Bakal Sengit
loading...
A
A
A
PERSAINGANpartai politik memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2024 mulai menghangat. Partai politik bahkan mulai terang-terangan mengenalkan kandidat jagoan mereka, meski pilkada baru akan digelar dua tahun mendatang.
Persiapan menyambut Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI antara lain ditunjukkan oleh Golkar dan Nasdem. Pada Kamis (11/3) pekan lalu kedua partai memperkenalkan dua kader masing-masing, yakni Ahmad Sahroni dan Airin Rachmi Diany sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Pengenalan Sahroni-Airin ke publik ditengarai langkah awal kedua parpol sebelum nanti resmi berkoalisi di Pilgub Jakarta.
Baca juga: Dilirik Partai Politik, Mungkinkah Raffi Ahmad Maju Pilgub DKI Jakarta?
Sebelum Golkar dan Nasdem, parpol lain juga sudah lebih dulu menyebut kadernya yang akan mereka usung sebagai calon gubernur (cagub). Satu di antaranya adalah PDI Perjuangan yang merupakan partai pemenang Pemilu 2019. Meski belum ada keputusan resmi partai, namun PDIP secara terbuka menyebut tiga nama kader andalan mereka sebagai bakal cagub. Ketiganya, yakni Gibran Rakabuming Raka yang juga putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjabat wali kota Solo, Tri Rismaharini yang menjabat menteri sosial, dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang saat ini menjabat komisaris utama Pertamina.
Partai Gerindra juga tidak ketinggalan. Partai pemenang kedua Pemilu 2019 ini menyatakan siap mencalonkan Ahmad Riza Patria yang kini menjabat wakil gubernur petahana, mendampingi Gubernur Anies Baswedan.
Sejumlah kalangan menilai wajar jika parpol-parpol sudah menyiapkan langkah persiapan pilgub dari sekarang. Penyebabnya, Pilgub Jakarta dengan berbagai dinamikanya selalu mendapatkan sorotan paling tinggi.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, daya tarik Jakarta adalah kedudukannya yang strategis sebagai ibu kota. Berbagai persoalan yang muncul di Jakarta seringkali menjadi sorotan media massa dan menjadi perhatian nasional.
“Hal itu yang lantas menjadikan Pilgub Jakarta sebagai panggung politik lokal tapi rasa nasional,” ujar Qodari Minggu (13/3).
Selain itu, Pilgub Jakarta menjadi kian menarik karena muncul tren baru bahwa jabatan gubernur Jakarta adalah batu loncatan untuk naik kelas menjadi seorang calon presiden. Qodari menyebut jabatan gubernur Jakarta memang panggung yang sangat strategis bagi seorang pemimpin untuk menuju pentas nasional. Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut sudah membuktikannya. Sebelum maju di Pemilihan Presiden 2014, dia adalah gubernur DKI Jakarta.
“Pak Jokowi lalu menjadi calon presiden paling populer dan paling kuat hanya enam bulan setelah terpilih jadi gubernur. Walaupun itu juga tergantung dari kinerja yang bersangkutan,” ujarnya.
Kendati demikian, dia mengaku belum bisa menyimpulkan siapa figur yang paling kuat untuk maju di pilgub dan punya kans menang karena pelaksanaan pilgub masih jauh.
“Dan, perlu diingat, pilkada 2024 itu mesti menunggu hasil pileg (pemilu legislatif) 2024 dulu. Ketika bicara calon, lebih baik bicara siapa figur ketimbang partai karena partai nanti tergantung pada hasil pileg 2024,” paparnya.
Qodari menyebutkan Gubenur Jakarta Anies Baswedan yang belakangan santer disebut bakal maju di Pilpres 2024 sebagai calon kuat di pilgub. Baru satu periode menjabat popularitas Anies diakui cukup meroket sebagai bakal capres, meski trennya disebut agak menurun belakangan ini. Dia meyakini Anies masih punya peluang kuat untuk kembali duduk sebagai gubernur jika urung maju sebagai capres. Selain Anies, Ahmad Riza Patria yang kini menjabat wagub juga disebutnya cukup punya peluang.
Baca juga: Digosipkan Maju Pilgub DKI, Jubir Sandiaga: Biarlah Waktu yang Menjawab
Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio berpandangan, dengan wacana Sahroni-Airin diusung Nasdem dan Golkar di Pilgub Jakarta maka sinyal Anies untuk maju di pilpres makin jelas. Nasdem termasuk partai yang sering disebut akan mengusung Anies di Pilpres 2024. Dengan “hilangnya” Anies dari peta pilgub, kata Hendri, justru kesempatan yang baik buat Riza Patria sebagai wakil gubernur petahana. Namun, bukan langkah yang mudah juga buat Riza terpilih.
“Pilgub Jakarta sejak dilaksanakan secara langsung belum pernah petahana menang atau menjabat dua periode. Ini masukan untuk Riza Patria, harus hati-hati sekali, harus tepat dalam memilih pasangan dan mengatur strategi,” tandasnya.
Sementara itu, peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby juga menegaskan keunikan Pilgub Jakarta. Menurutnya, ketika seseorang terpilih menjadi gubernur Jakarta, lalu berkinerja baik, dan dicitrakan baik pula oleh publik, maka itu menjadi modal popularitas dan elektabilitas dalam memasuki pertarungan level nasional.
“Kursi gubernur DKI Jakarta ibarat menjadi laboratorium bagi publik. Mereka yang berhasil di DKI dianggap mampu untuk memimpin Indonesia,” tutur Adjie Minggu (13/3).
Ancaman Isu Politik Identitas
Pilgub DKI Jakarta pada 2017 tercatat sebagai pilkada dengan pertarungan yang sangat keras. Pertarungan putaran kedua yang melibatkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung koalisi Gerindra-PKS dan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang diusung koalisi PDIP, diwarnai isu politik identitas. Terjadi pembelahan di masyarakat yang melibatkan pendukung dua kubu yang bertarung. Kelompok Islam diidentikkan dengan kubu Anies-Sandi, sedangkan kelompok nasionalis diidentikkan dengan Ahok-Djarot. Pembelahan di masyarakat sebagai residu pertarungan pilgub lima tahun lalu tersebut bahkan masih terasa hingga saat ini.
Baca juga: Politikus PKB Prediksi Gibran Tak Laku di Pilgub DKI Jakarta
Lantas, bagaimana tensi Pilgub DKI 2024? Adjie Alfaraby memprediksi pertarungan tetap bakal sengit, namun auranya tidak akan sepanas seperti perhelatan pada 2017, terutama jika dikaitkan dengan isu politik identitas. Kemungkinan penggunaan isu identitas masih ada masih ada namun skalanya lebih kecil dan minimal.
“Dan, pasti tak akan sama karena ketika pilgub sebelumnya ada Ahok sebagai double minority yang ikut bertarung dan ada dugaan kasus penistaan terhadap agama mayoritas,” kata dia.
Adapun yang menjadi perhatian, lanjut Adjie, yaitu blok politik di Pilpres 2019 yang mungkin masih tersisa dan ada kemungkinan mewarnai pertarungan Pilgub Jakarta 2024. Kelompok Islam politik mungkin akan menyatu pada calon yang dianggap paling mewakili mereka. Sementara, kelompok nasionalis juga akan menyatu pada calon yang dianggap paling mewakili mereka.
“Intinya, kedua kelompok ini tak ingin kalah di pertarungan Jakarta yang dianggap strategis. Yang akan menentukan kemenangan adalah kelompok pemilih yang di tengah-di tengah keduanya itu. Dan, jumlahnya lebih banyak,” ujar Adjie menganilisis.
Daya Ungkit Elektoral
Keputusan Golkar dan Nasdem mengenalkan pasangan cagub dan cawagubnya meski pilgub masih tersisa dua tahun disinyalir langkah politik dini. Namun, pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indosmep Riset & Consulting Aprikie Putra Wijaya menilai, langkah dua parpol tersebut sangat logis. Begitu pun partai lain seperti PDIP dan Gerindra yang juga sudah menyebut nama calon. Tujuan parpol tersebut adalah untuk mengaktivasi nama-nama yang ada supaya masuk ke frekuensi Pilgub Jakarta 2024.
“Karena ketika nama, seperti Sahroni, Airin, Gibran, Risma, Ahok, dan Riza Patria masuk ke dalam frekuensi calon gubernur Jakarta, para kandidat itu akan menjadi perbincangan publik, diulas oleh media, yang bahasannya kemudian sudah pada konteks sebagai calon gubernur atau wakil gubernur dalam Pilkada Jakarta,” ujarnya Sabtu (12/3).
Menurut dia, yang diharapkan parpol ketika melempar nama-nama calon gubernur tersebut ke publik adalah mereka cepat dikenal sebagai calon gubernur atau wakil gubernur yang secara tidak langsung juga akan memberikan daya ungkit elektoral. “Ditambah juga dengan riset-riset politik yang pasti akan menganalisa kelayakan elektoral nama-nama calon tersebut . Sehingga nanti parpol bisa mengambil keputusan yang tepat dalam menentukan kandidat terbaik yang akan diusung di pilgub,” paparnya.
Terkait tensi pilkada, Pilgub Jakarta menurut Aprikie akan melahirkan dinamika yang tinggi. Tetap akan tersaji pertarungan yang keras karena masih ada polarisasi pasca-Pilgub Jakarta 2017. “Apalagi nama Ahok juga mulai dimunculkan kembali sebagai calon gubernur DKI. Meskipun itu belum pasti, tapi pasti sudah disiapkan antisipasi oleh faksi yang kontra,” ujarnya.
Peneliti Indikator Politik Indonesia (IPI) Bawono Kumoro juga memahami sikap sejumlah parpol yang mulai melirik sosok bakal cagub yang berpotensi maju di Pilkada Jakarta 2024. Jakarta disebutnya memiliki posisi strategis. Selain ibu kota negara, Jakarta juga pusat kanal dan arus informasi.
“Karena itu, Pilkada Jakarta seperti jadi barometer politik nasional. Orang nomor satu di Ibu Kota akan memperoleh coverage media massa dan juga atensi publik luas dari seluruh Indonesia. Meski nanti DKI Jakarta sudah tidak lagi menjadi ibu kota negara tetapi magnet dari Pilkada Jakarta tidak akan hilang sama sekali,” kata Bawono, Minggu (13/3).
Menjadi pemimpin Jakarta juga akan mengerek popularitas gubernur dan wakil gubernur terutama jika dapat membuktikan kinerjanya. Dengan begitu bukan hal mustahil mereka akan digadang-gadang naik level bertarung di pilpres.
“Memang tren sejak dua pemilu terakhir ini sumber-sumber kepemimpinan nasional akan berasal dari kepala-kepala daerah. Karena jabatan kepala daerah memungkinkan seseorang untuk dapat menunjukkan kapasitas kepemimpinan mereka dalam mengatasi problem warga sehari-hari dibandingkan jabatan publik lain,” lanjut dia.
Siapa pun nantinya yang akan maju di pilgub, Bawono berharap pertarungan akan berlangsung lebih kondusif. Tidak lagi mengulang kejadian seperti pilkada sebelumnya, terutama memanfaatkan isu politik identitas untuk mencari suara publik. Masyarakat, menurut dia, akan lebih menantikan tawaran soal kinerja para calon jika nantinya terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
Persiapan menyambut Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI antara lain ditunjukkan oleh Golkar dan Nasdem. Pada Kamis (11/3) pekan lalu kedua partai memperkenalkan dua kader masing-masing, yakni Ahmad Sahroni dan Airin Rachmi Diany sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Pengenalan Sahroni-Airin ke publik ditengarai langkah awal kedua parpol sebelum nanti resmi berkoalisi di Pilgub Jakarta.
Baca juga: Dilirik Partai Politik, Mungkinkah Raffi Ahmad Maju Pilgub DKI Jakarta?
Sebelum Golkar dan Nasdem, parpol lain juga sudah lebih dulu menyebut kadernya yang akan mereka usung sebagai calon gubernur (cagub). Satu di antaranya adalah PDI Perjuangan yang merupakan partai pemenang Pemilu 2019. Meski belum ada keputusan resmi partai, namun PDIP secara terbuka menyebut tiga nama kader andalan mereka sebagai bakal cagub. Ketiganya, yakni Gibran Rakabuming Raka yang juga putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjabat wali kota Solo, Tri Rismaharini yang menjabat menteri sosial, dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang saat ini menjabat komisaris utama Pertamina.
Partai Gerindra juga tidak ketinggalan. Partai pemenang kedua Pemilu 2019 ini menyatakan siap mencalonkan Ahmad Riza Patria yang kini menjabat wakil gubernur petahana, mendampingi Gubernur Anies Baswedan.
Sejumlah kalangan menilai wajar jika parpol-parpol sudah menyiapkan langkah persiapan pilgub dari sekarang. Penyebabnya, Pilgub Jakarta dengan berbagai dinamikanya selalu mendapatkan sorotan paling tinggi.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, daya tarik Jakarta adalah kedudukannya yang strategis sebagai ibu kota. Berbagai persoalan yang muncul di Jakarta seringkali menjadi sorotan media massa dan menjadi perhatian nasional.
“Hal itu yang lantas menjadikan Pilgub Jakarta sebagai panggung politik lokal tapi rasa nasional,” ujar Qodari Minggu (13/3).
Selain itu, Pilgub Jakarta menjadi kian menarik karena muncul tren baru bahwa jabatan gubernur Jakarta adalah batu loncatan untuk naik kelas menjadi seorang calon presiden. Qodari menyebut jabatan gubernur Jakarta memang panggung yang sangat strategis bagi seorang pemimpin untuk menuju pentas nasional. Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut sudah membuktikannya. Sebelum maju di Pemilihan Presiden 2014, dia adalah gubernur DKI Jakarta.
“Pak Jokowi lalu menjadi calon presiden paling populer dan paling kuat hanya enam bulan setelah terpilih jadi gubernur. Walaupun itu juga tergantung dari kinerja yang bersangkutan,” ujarnya.
Kendati demikian, dia mengaku belum bisa menyimpulkan siapa figur yang paling kuat untuk maju di pilgub dan punya kans menang karena pelaksanaan pilgub masih jauh.
“Dan, perlu diingat, pilkada 2024 itu mesti menunggu hasil pileg (pemilu legislatif) 2024 dulu. Ketika bicara calon, lebih baik bicara siapa figur ketimbang partai karena partai nanti tergantung pada hasil pileg 2024,” paparnya.
Qodari menyebutkan Gubenur Jakarta Anies Baswedan yang belakangan santer disebut bakal maju di Pilpres 2024 sebagai calon kuat di pilgub. Baru satu periode menjabat popularitas Anies diakui cukup meroket sebagai bakal capres, meski trennya disebut agak menurun belakangan ini. Dia meyakini Anies masih punya peluang kuat untuk kembali duduk sebagai gubernur jika urung maju sebagai capres. Selain Anies, Ahmad Riza Patria yang kini menjabat wagub juga disebutnya cukup punya peluang.
Baca juga: Digosipkan Maju Pilgub DKI, Jubir Sandiaga: Biarlah Waktu yang Menjawab
Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio berpandangan, dengan wacana Sahroni-Airin diusung Nasdem dan Golkar di Pilgub Jakarta maka sinyal Anies untuk maju di pilpres makin jelas. Nasdem termasuk partai yang sering disebut akan mengusung Anies di Pilpres 2024. Dengan “hilangnya” Anies dari peta pilgub, kata Hendri, justru kesempatan yang baik buat Riza Patria sebagai wakil gubernur petahana. Namun, bukan langkah yang mudah juga buat Riza terpilih.
“Pilgub Jakarta sejak dilaksanakan secara langsung belum pernah petahana menang atau menjabat dua periode. Ini masukan untuk Riza Patria, harus hati-hati sekali, harus tepat dalam memilih pasangan dan mengatur strategi,” tandasnya.
Sementara itu, peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby juga menegaskan keunikan Pilgub Jakarta. Menurutnya, ketika seseorang terpilih menjadi gubernur Jakarta, lalu berkinerja baik, dan dicitrakan baik pula oleh publik, maka itu menjadi modal popularitas dan elektabilitas dalam memasuki pertarungan level nasional.
“Kursi gubernur DKI Jakarta ibarat menjadi laboratorium bagi publik. Mereka yang berhasil di DKI dianggap mampu untuk memimpin Indonesia,” tutur Adjie Minggu (13/3).
Ancaman Isu Politik Identitas
Pilgub DKI Jakarta pada 2017 tercatat sebagai pilkada dengan pertarungan yang sangat keras. Pertarungan putaran kedua yang melibatkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang diusung koalisi Gerindra-PKS dan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang diusung koalisi PDIP, diwarnai isu politik identitas. Terjadi pembelahan di masyarakat yang melibatkan pendukung dua kubu yang bertarung. Kelompok Islam diidentikkan dengan kubu Anies-Sandi, sedangkan kelompok nasionalis diidentikkan dengan Ahok-Djarot. Pembelahan di masyarakat sebagai residu pertarungan pilgub lima tahun lalu tersebut bahkan masih terasa hingga saat ini.
Baca juga: Politikus PKB Prediksi Gibran Tak Laku di Pilgub DKI Jakarta
Lantas, bagaimana tensi Pilgub DKI 2024? Adjie Alfaraby memprediksi pertarungan tetap bakal sengit, namun auranya tidak akan sepanas seperti perhelatan pada 2017, terutama jika dikaitkan dengan isu politik identitas. Kemungkinan penggunaan isu identitas masih ada masih ada namun skalanya lebih kecil dan minimal.
“Dan, pasti tak akan sama karena ketika pilgub sebelumnya ada Ahok sebagai double minority yang ikut bertarung dan ada dugaan kasus penistaan terhadap agama mayoritas,” kata dia.
Adapun yang menjadi perhatian, lanjut Adjie, yaitu blok politik di Pilpres 2019 yang mungkin masih tersisa dan ada kemungkinan mewarnai pertarungan Pilgub Jakarta 2024. Kelompok Islam politik mungkin akan menyatu pada calon yang dianggap paling mewakili mereka. Sementara, kelompok nasionalis juga akan menyatu pada calon yang dianggap paling mewakili mereka.
“Intinya, kedua kelompok ini tak ingin kalah di pertarungan Jakarta yang dianggap strategis. Yang akan menentukan kemenangan adalah kelompok pemilih yang di tengah-di tengah keduanya itu. Dan, jumlahnya lebih banyak,” ujar Adjie menganilisis.
Daya Ungkit Elektoral
Keputusan Golkar dan Nasdem mengenalkan pasangan cagub dan cawagubnya meski pilgub masih tersisa dua tahun disinyalir langkah politik dini. Namun, pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indosmep Riset & Consulting Aprikie Putra Wijaya menilai, langkah dua parpol tersebut sangat logis. Begitu pun partai lain seperti PDIP dan Gerindra yang juga sudah menyebut nama calon. Tujuan parpol tersebut adalah untuk mengaktivasi nama-nama yang ada supaya masuk ke frekuensi Pilgub Jakarta 2024.
“Karena ketika nama, seperti Sahroni, Airin, Gibran, Risma, Ahok, dan Riza Patria masuk ke dalam frekuensi calon gubernur Jakarta, para kandidat itu akan menjadi perbincangan publik, diulas oleh media, yang bahasannya kemudian sudah pada konteks sebagai calon gubernur atau wakil gubernur dalam Pilkada Jakarta,” ujarnya Sabtu (12/3).
Menurut dia, yang diharapkan parpol ketika melempar nama-nama calon gubernur tersebut ke publik adalah mereka cepat dikenal sebagai calon gubernur atau wakil gubernur yang secara tidak langsung juga akan memberikan daya ungkit elektoral. “Ditambah juga dengan riset-riset politik yang pasti akan menganalisa kelayakan elektoral nama-nama calon tersebut . Sehingga nanti parpol bisa mengambil keputusan yang tepat dalam menentukan kandidat terbaik yang akan diusung di pilgub,” paparnya.
Terkait tensi pilkada, Pilgub Jakarta menurut Aprikie akan melahirkan dinamika yang tinggi. Tetap akan tersaji pertarungan yang keras karena masih ada polarisasi pasca-Pilgub Jakarta 2017. “Apalagi nama Ahok juga mulai dimunculkan kembali sebagai calon gubernur DKI. Meskipun itu belum pasti, tapi pasti sudah disiapkan antisipasi oleh faksi yang kontra,” ujarnya.
Peneliti Indikator Politik Indonesia (IPI) Bawono Kumoro juga memahami sikap sejumlah parpol yang mulai melirik sosok bakal cagub yang berpotensi maju di Pilkada Jakarta 2024. Jakarta disebutnya memiliki posisi strategis. Selain ibu kota negara, Jakarta juga pusat kanal dan arus informasi.
“Karena itu, Pilkada Jakarta seperti jadi barometer politik nasional. Orang nomor satu di Ibu Kota akan memperoleh coverage media massa dan juga atensi publik luas dari seluruh Indonesia. Meski nanti DKI Jakarta sudah tidak lagi menjadi ibu kota negara tetapi magnet dari Pilkada Jakarta tidak akan hilang sama sekali,” kata Bawono, Minggu (13/3).
Menjadi pemimpin Jakarta juga akan mengerek popularitas gubernur dan wakil gubernur terutama jika dapat membuktikan kinerjanya. Dengan begitu bukan hal mustahil mereka akan digadang-gadang naik level bertarung di pilpres.
“Memang tren sejak dua pemilu terakhir ini sumber-sumber kepemimpinan nasional akan berasal dari kepala-kepala daerah. Karena jabatan kepala daerah memungkinkan seseorang untuk dapat menunjukkan kapasitas kepemimpinan mereka dalam mengatasi problem warga sehari-hari dibandingkan jabatan publik lain,” lanjut dia.
Siapa pun nantinya yang akan maju di pilgub, Bawono berharap pertarungan akan berlangsung lebih kondusif. Tidak lagi mengulang kejadian seperti pilkada sebelumnya, terutama memanfaatkan isu politik identitas untuk mencari suara publik. Masyarakat, menurut dia, akan lebih menantikan tawaran soal kinerja para calon jika nantinya terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
(bmm)