Perpres 64/2020: Babak Baru Kenaikan Iuran BPJS Pasca-Putusan MA
Selasa, 16 Juni 2020 - 06:52 WIB
Alhasil, pemerintah menganggap bahwa besaran iuran BPJS tersebut perlu untuk "disesuaikan" kembali guna meningkatkan kualitas dan kesinambungan dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Perpres Nomor 75/2019, meskipun pada akhirnya pasal yang memuat aturan yang mengatur mengenai kenaikan iuran BPJS tersebut dibatalkan MA.
Tentu menjadi sebuah pertanyaan, kenapa pasal tersebut akhirnya dibatalkan? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat pada konsideran atau dasar pertimbangan dari MA dalam membatalkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) yang memuat aturan mengenai kenaikan iuran BPJS tersebut. Defisit anggaran BPJS yang besarannya mencapai lebih dari Rp25 triliun ialah pertimbangan faktual dari pemerintah dalam menaikkan iuran BPJS. Di lain pihak, MA menganggap bahwa defisit anggaran BPJS tersebut karena tata kelola BPJS yang kurang koordinatif yang akhirnya berimplikasi pada terjadinya defisit anggaran BPJS sehingga berdasarkan realitas aktual tersebut, MA menganggap bahwa menjadi satu hal yang tidak tepat kalau kerugian BPJS tersebut ditanggungkan kepada masyarakat melalui kenaikan iuran BPJS.
Oleh karena itu, kalau kemudian iuran BPJS tersebut kembali dinaikkan melalui Perpres Nomor 64/2020 dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menutupi defisit anggaran BPJS, tidak menutup kemungkinan bahwa MA akan kembali membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS yang "serupa tapi tak sama" tersebut jika diajukan permohonan uji materiil.
Sementara kalimat "kalau tidak mampu kelas I, turun kelas saja" bukanlah opsi yang seharusnya dihadapkan kepada masyarakat dalam menghadapi kenaikan iuran BPJS tersebut. Karena persoalan mau dan mampu untuk membayar iuran BPJS ialah satu persoalan lain yang seharusnya dipisahkan terlebih dahulu. Proses migrasi dari kelas I ke kelas II atau turun kelas tidak akan solutif dan efektif untuk menyelesaikan akar persoalan.
Karena, sekali lagi, defisit anggaran BPJS tidak bisa disederhanakan dengan cara memberikan beban kepada masyarakat melalui kenaikan iuran BPJS. BPJS perlu untuk disempurnakan secara tepat, sistematis, dan komprehensif melalui efisiensi, transparansi, pengawasan, penguatan, dan perbaikan kualitas sistem pengelolaan keuangan dan kelembagaan internal BPJS. Dengan demikian, dua tujuan dapat tercapai sekaligus, yakni peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat dan kesinambungan dari program jaminan kesehatan itu sendiri. Hal tersebut merupakan hak konstitusional warga negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Meskipun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa iuran BPJS pada waktunya nanti perlu disesuaikan. Tetapi, sekali lagi, implementasinya tidak dilakukan dengan tujuan untuk menambal jurang defisit anggaran BPJS. (*)
Tentu menjadi sebuah pertanyaan, kenapa pasal tersebut akhirnya dibatalkan? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat pada konsideran atau dasar pertimbangan dari MA dalam membatalkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) yang memuat aturan mengenai kenaikan iuran BPJS tersebut. Defisit anggaran BPJS yang besarannya mencapai lebih dari Rp25 triliun ialah pertimbangan faktual dari pemerintah dalam menaikkan iuran BPJS. Di lain pihak, MA menganggap bahwa defisit anggaran BPJS tersebut karena tata kelola BPJS yang kurang koordinatif yang akhirnya berimplikasi pada terjadinya defisit anggaran BPJS sehingga berdasarkan realitas aktual tersebut, MA menganggap bahwa menjadi satu hal yang tidak tepat kalau kerugian BPJS tersebut ditanggungkan kepada masyarakat melalui kenaikan iuran BPJS.
Oleh karena itu, kalau kemudian iuran BPJS tersebut kembali dinaikkan melalui Perpres Nomor 64/2020 dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menutupi defisit anggaran BPJS, tidak menutup kemungkinan bahwa MA akan kembali membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS yang "serupa tapi tak sama" tersebut jika diajukan permohonan uji materiil.
Sementara kalimat "kalau tidak mampu kelas I, turun kelas saja" bukanlah opsi yang seharusnya dihadapkan kepada masyarakat dalam menghadapi kenaikan iuran BPJS tersebut. Karena persoalan mau dan mampu untuk membayar iuran BPJS ialah satu persoalan lain yang seharusnya dipisahkan terlebih dahulu. Proses migrasi dari kelas I ke kelas II atau turun kelas tidak akan solutif dan efektif untuk menyelesaikan akar persoalan.
Karena, sekali lagi, defisit anggaran BPJS tidak bisa disederhanakan dengan cara memberikan beban kepada masyarakat melalui kenaikan iuran BPJS. BPJS perlu untuk disempurnakan secara tepat, sistematis, dan komprehensif melalui efisiensi, transparansi, pengawasan, penguatan, dan perbaikan kualitas sistem pengelolaan keuangan dan kelembagaan internal BPJS. Dengan demikian, dua tujuan dapat tercapai sekaligus, yakni peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat dan kesinambungan dari program jaminan kesehatan itu sendiri. Hal tersebut merupakan hak konstitusional warga negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Meskipun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa iuran BPJS pada waktunya nanti perlu disesuaikan. Tetapi, sekali lagi, implementasinya tidak dilakukan dengan tujuan untuk menambal jurang defisit anggaran BPJS. (*)
(cip)
tulis komentar anda