Menghindari Jebakan Pemaknaan Toleransi
Selasa, 08 Maret 2022 - 16:43 WIB
Di tahap ini, pemaknaan toleransi mengandung jebakan (tolerance trap). Semua pihak dapat mengklaim dirinya sebagai yang paling toleran. Saat konversi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid pada 2020 lalu, pemikir berkebangsaan Turki Mustafa Akyol menyinggung soal "supremasi Muslim". Akyol menganggap, pemerintahan di sebagian dunia muslim masih menerapkan standar ganda pada toleransi. Di satu sisi, dengan modernisme liberal, mereka mengecam supremasi di Barat, Uygur di China, dan Hindu di India, namun tidak banyak bicara soal diskriminasi domestik yang kerap dilakukan komunitas muslim. Akyol memotret fenomena ini sebagai "toleransi hegemonik".
Untuk menghindari jebakan pemaknaan toleransi itu, kita dapat mencontoh toleransi Muslim pra-modern yang maju terhadap umat lain. Namun, satu sisi yang perlu dihindari dari Muslim pra-modern adalah menganggap penganut agama lain sebagai warga negara kelas dua.
Nabi Muhammad sebagai Sumber
Autentisitas makna toleransi dapat ditemukan salah satunya pada historisitas Nabi Muhammad. Pada masa awal kenabian, Nabi Muhammad menyerukan pengikutnya mencari perlindungan dan suaka ke kerajaan Kristen di Abbesenia (saat ini Ethiopia). Nabi Muhammad juga memuji kualitas beragama Raja Negus dan model pemerintahannya.
Salah satu sikap lain Nabi Muhammad adalah mengetengahkan diktum “umat” sebagai persekutuan masyarakat universal. Pada Piagam Madinah Pasal 1 termaktub, annahum ummatun waahidatun min duuni an-nassi (sesungguhnya mereka satu umat, lain dari [komunitas] manusia lain).
Pada pasal-pasal selanjutnya, kaum Yahudi Bani Awf, Najjar, Hars, Sa’idah, Jusyam, al-Aws, Sa’labah, Jafnah, Syutaybah, mawaaliya Tsa’labata (sekutu-sekutu Tsa’labah), dan bithaanata Yahuuda (kerabat Yahudi [di luar Madinah]) diperlakukan sebagai “satu umat dengan mukminin”. Piagam Madinah mengedepankan persaudaraan universal yang melampaui batas-batas geografi, agama, dan kesukuan.
Dari Pasif ke Aktif
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad berbeda dengan yang dipotret Buya Hamka sebagai “toleransi paksaan”. Pada 1968, pemerintah menginisiasi acara “Lebaran-Natal” karena kedua hari raya itu berdekatan. Bagi Hamka, acara itu memaksakan toleransi dan mencerminkan pandangan sinkretisme.
Ketegangan atas makna toleransi semacam ini bersumber dari pemaknaannya yang pasif. Layaknya sebuah iman, toleransi yang dimaknai demikian selalu dibayangkan terdapat batas keyakinan. Yang menjadi sulit, batas-batas toleransi itu dimaknai berbeda-beda. Alhasil, pemaknaan seperti itu membuat proyek tentang toleransi menjadi kontraproduktif.
Pada 1996, melalui esai “Dari Kerukunan ke Kerjasama, dari Toleransi ke Koperasi”, cendekiawan Kuntowijoyo berpendapat, kerukunan atau toleransi menimbulkan sikap apologetis, merujuk pada status quo, dan berorientasi ke dalam.
Untuk menghindari jebakan pemaknaan toleransi itu, kita dapat mencontoh toleransi Muslim pra-modern yang maju terhadap umat lain. Namun, satu sisi yang perlu dihindari dari Muslim pra-modern adalah menganggap penganut agama lain sebagai warga negara kelas dua.
Nabi Muhammad sebagai Sumber
Autentisitas makna toleransi dapat ditemukan salah satunya pada historisitas Nabi Muhammad. Pada masa awal kenabian, Nabi Muhammad menyerukan pengikutnya mencari perlindungan dan suaka ke kerajaan Kristen di Abbesenia (saat ini Ethiopia). Nabi Muhammad juga memuji kualitas beragama Raja Negus dan model pemerintahannya.
Salah satu sikap lain Nabi Muhammad adalah mengetengahkan diktum “umat” sebagai persekutuan masyarakat universal. Pada Piagam Madinah Pasal 1 termaktub, annahum ummatun waahidatun min duuni an-nassi (sesungguhnya mereka satu umat, lain dari [komunitas] manusia lain).
Pada pasal-pasal selanjutnya, kaum Yahudi Bani Awf, Najjar, Hars, Sa’idah, Jusyam, al-Aws, Sa’labah, Jafnah, Syutaybah, mawaaliya Tsa’labata (sekutu-sekutu Tsa’labah), dan bithaanata Yahuuda (kerabat Yahudi [di luar Madinah]) diperlakukan sebagai “satu umat dengan mukminin”. Piagam Madinah mengedepankan persaudaraan universal yang melampaui batas-batas geografi, agama, dan kesukuan.
Dari Pasif ke Aktif
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad berbeda dengan yang dipotret Buya Hamka sebagai “toleransi paksaan”. Pada 1968, pemerintah menginisiasi acara “Lebaran-Natal” karena kedua hari raya itu berdekatan. Bagi Hamka, acara itu memaksakan toleransi dan mencerminkan pandangan sinkretisme.
Ketegangan atas makna toleransi semacam ini bersumber dari pemaknaannya yang pasif. Layaknya sebuah iman, toleransi yang dimaknai demikian selalu dibayangkan terdapat batas keyakinan. Yang menjadi sulit, batas-batas toleransi itu dimaknai berbeda-beda. Alhasil, pemaknaan seperti itu membuat proyek tentang toleransi menjadi kontraproduktif.
Pada 1996, melalui esai “Dari Kerukunan ke Kerjasama, dari Toleransi ke Koperasi”, cendekiawan Kuntowijoyo berpendapat, kerukunan atau toleransi menimbulkan sikap apologetis, merujuk pada status quo, dan berorientasi ke dalam.
tulis komentar anda