Menghindari Jebakan Pemaknaan Toleransi
Selasa, 08 Maret 2022 - 16:43 WIB
Savran Billahi
Ketua Lakpesdem PCINU Turki, Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sejarah Hacettepe University Ankar
BELAKANGAN ada kecenderungan masyarakat Indonesia memaknai toleransi secara elastis. Alih-alih menjadi sikap semestinya, diktum "toleransi" dalam beberapa kesempatan justru dimanfaatkan untuk menyerang pihak yang berseberangan.
Beberapa hari terakhir, misalnya, publik Indonesia diramaikan dengan isu pengaturan pengeras suara masjid. Terlepas dari pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mestinya lebih efektif, isu ini melebar menyinggung soal toleransi. Sebagian pihak membela dengan menganggap Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sebagai niatan menciptakan toleransi dan harmonisasi sosial.
Walakin, alih-alih mencapai tujuan itu, peraturan itu justru menambah ketegangan di masyarakat. Di media sosial berserakan narasi yang menyerang ritual agama lain hingga menghardik pemilik anjing. Sebagian publik menilai, mereka yang mendengarkan adzan, baik muslim maupun non-muslim, tidak peduli seberapa keras suaranya, harus bersikap toleran sebagai konsekuensi hidup di negara mayoritas muslim.
Baik yang mendukung maupun menolak sama-sama menggunakan dalih toleransi pada argumentasinya. Dalam dosis ini, toleransi hanya dimaknai secara intrumentalistik, sehingga menyekat masyarakat.
Toleransi Hegemonik
Toleransi sejatinya memang konsep yang rapuh. Bukan pada fondasi konsepsinya, melainkan pada pemaknaan subjektif dari masing-masing pihak. Seperti yang digariskan oleh Nahdlatul Ulama, secara prinsip sikap toleransi adalah kumpulan dari karakter at-tawasuth (tengah, tidak esktrem), at-tawazun (seimbang dalam segala hal), al-i'tidal (tegak lurus), dan tasamuh (menghargai perbedaan).
Yang menjadi soal, seperti yang dikhawatirkan beberapa kalangan adalah involusi makna toleransi. Terdapat ketegangan atas pemaknaan toleransi, yang seringkali berujung pada penyelewengan kata "toleransiā itu sendiri.
Ketua Lakpesdem PCINU Turki, Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sejarah Hacettepe University Ankar
BELAKANGAN ada kecenderungan masyarakat Indonesia memaknai toleransi secara elastis. Alih-alih menjadi sikap semestinya, diktum "toleransi" dalam beberapa kesempatan justru dimanfaatkan untuk menyerang pihak yang berseberangan.
Beberapa hari terakhir, misalnya, publik Indonesia diramaikan dengan isu pengaturan pengeras suara masjid. Terlepas dari pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mestinya lebih efektif, isu ini melebar menyinggung soal toleransi. Sebagian pihak membela dengan menganggap Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sebagai niatan menciptakan toleransi dan harmonisasi sosial.
Walakin, alih-alih mencapai tujuan itu, peraturan itu justru menambah ketegangan di masyarakat. Di media sosial berserakan narasi yang menyerang ritual agama lain hingga menghardik pemilik anjing. Sebagian publik menilai, mereka yang mendengarkan adzan, baik muslim maupun non-muslim, tidak peduli seberapa keras suaranya, harus bersikap toleran sebagai konsekuensi hidup di negara mayoritas muslim.
Baik yang mendukung maupun menolak sama-sama menggunakan dalih toleransi pada argumentasinya. Dalam dosis ini, toleransi hanya dimaknai secara intrumentalistik, sehingga menyekat masyarakat.
Toleransi Hegemonik
Toleransi sejatinya memang konsep yang rapuh. Bukan pada fondasi konsepsinya, melainkan pada pemaknaan subjektif dari masing-masing pihak. Seperti yang digariskan oleh Nahdlatul Ulama, secara prinsip sikap toleransi adalah kumpulan dari karakter at-tawasuth (tengah, tidak esktrem), at-tawazun (seimbang dalam segala hal), al-i'tidal (tegak lurus), dan tasamuh (menghargai perbedaan).
Yang menjadi soal, seperti yang dikhawatirkan beberapa kalangan adalah involusi makna toleransi. Terdapat ketegangan atas pemaknaan toleransi, yang seringkali berujung pada penyelewengan kata "toleransiā itu sendiri.
tulis komentar anda