Impor Kedelai yang Mematikan
Jum'at, 04 Maret 2022 - 13:47 WIB
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
SETELAH mogok tiga hari, 21-23 Februari 2022, produsen tahu dan tempe kembali berproduksi. Para pelaku UMKM makanan, terutama yang berbasis tahu dan tempe, bisa kembali berjualan. Konsumen pun bisa tersenyum semringah. Namun, senyum mereka agak tertahan. Pasalnya, produsen tahu dan tempe menaikkan harga jual mereka. Ini ditempuh karena produsen tahu-tempe tidak memiliki alternatif lain. Pemerintah sampai saat ini belum memberikan solusi apa pun terkait keluhan harga kedelai yang tinggi.
Cara menaikkan harga jual adalah alternatif terakhir. Sebab, seperti usaha skala UMKM lain, produsen tahu dan tempe terkendala daya beli konsumen. Bukan saja karena pandemi Covid-19 masih menyergap, tapi mayoritas para penyuka tahu dan tempe adalah wong cilik. Konsumen tahu dan tempe amat peka harga (price elastic). Kala harga tahu dan tempe naik, permintaan pasti akan turun. Satu-satunya jalan hanya menutup usaha. Jika cara ini yang ditempuh, barisan pengangguran dan kemiskinan akan bertambah.
Apa yang terjadi saat ini seperti memutar ulang jarum jam. Mogok produksi setidaknya terjadi 2008, 2010, 2012, 2013, 2015, dan 2021. Penyebabnya sama: harga kedelai impor naik tinggi. Krisis kedelai berulang karena pemerintah tidak merespons dengan kebijakan memadai. Dalam kebijakan publik, krisis berulang menandakan ada kealpaan dari otoritas pembuat kebijakan. Pemerintah sebenarnya sudah amat paham apa penyebab krisis berulang, yakni menyerahkan harga kedelai pada mekanisme pasar. Sayangnya, sejauh ini respons kebijakan sama sekali tidak menyentuh akar masalah ini.
Apa yang kita tuai hari ini adalah buah politik pembiaran (hands-of economic policy) yang berkepanjangan itu. Pertama, harga kedelai bergerak bagai roller coaster mengikuti pergerakan harga di pasar dunia. Ketika harga turun, produsen tahu-tempe, juga konsumen, bergembira karena harga tahu-tempe jauh lebih terjangkau. Kala harga kedelai naik, seperti saat ini, kita merasakan akibatnya. Dampak ikutannya, bukan hanya kepastian usaha produsen tahu-tempe terganggu, kehidupan ratusan ribu rakyat jelata, dari pedagang tahu-tempe hingga penjual gorengan pinggir jalan juga terancam usahanya.
Kedua, akibat pelepasan kedelai pada mekanisme pasar, membuat ketergantungan Indonesia pada kedelai impor mencapai 75-80% dari kebutuhan. Ketergantungan impor yang tinggi ini diiringi gelombang emoh menanam kedelai di dalam negeri yang akut. Pada 1992 luas panen kedelai masih 1.665.706 hektare, tapi pada 2019 tinggal 285.265 hektare (17,13% dari 1992). Karena produktivitas tidak bergerak dari 1,4-1,5 ton/hektare, konsekuensinya produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,424 juta ton (2019) atau tinggal 22,69%. Gelombang menjauh dari kedelai ini sepertinya berlanjut.
Mengapa petani enggan menanam kedelai? Keuntungan usaha tani kedelai selama semusim (3-4 bulan) kecil, hanya 11,95% (BPS, 2017). Keuntungan ini tak ada separuh dari mereka yang bertanam padi (26,76%) atau jagung (29,06%). Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, wajar petani enggan bertanam kedelai. Bukan saja untungnya kecil, setiap saat harga kedelai di pasar domestik bisa jatuh karena serbuan kedelai impor yang supermurah. Dengan kata lain, usaha tani kedelai sebenarnya penuh ketidakpastian.
Di balik penyerahan kepada impor itu, ada argumen daya saing. Petani kedelai domestik dinilai tidak bisa bersaing dengan produk impor. Justifikasinya adalah harga kedelai yang murah di pasar dunia. Argumen ini sesat dan menyesatkan. Harga pangan di pasar dunia tidak selalu mencerminkan efisiensi dan daya saing. Karena harga pangan yang murah itu terdistorsi oleh aneka subsidi dan dukungan di negara produsen, termasuk kedelai. Impor kedelai Indonesia mayoritas didatangkan dari Amerika Serikat (AS). Di AS, kedelai adalah 1 dari 20 komoditas yang dilidungi dan disubsidi luar biasa besar.
Tidak jarang, harga murah itu juga terkait praktik dumping. Dumping membuat harga kedelai di pasar demikian murah, dan membuat produsen komoditas sejenis sulit bersaing. Termasuk kedelai Indonesia. Disparitas harga yang tinggi antara harga di pasar dunia dan pasar domestik membuat ngiler siapa saja untuk mengimpor. Kebijakan ini kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampak ikutannya (contagion effect). Jika pada era 1990-an kita swasembada kedelai, kini produksi domestik kian meluruh.
Impor, juga ekspor, termasuk impor-ekspor pangan, merupakan kegiatan ekonomi biasa. Ekspor dilakukan guna meraih devisa. Sebaliknya, impor untuk memenuhi barang yang tidak bisa diproduksi sendiri. Impor menjadi krusial karena terkait produk pertanian domestik. Sepanjang jumlah impor tak signifikan atau produk domestik siap bersaing, impor tak masalah. Masalah muncul karena impor tak selalu karena ada kebutuhan. Atau impor dilakukan tanpa menimbang nasib petani domestik, seperti perubahan sejumlah pasal UU terkait impor pangan-pertanian oleh UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Ditilik dari kepentingan memberikan jaminan hak hidup petani, impor jadi soal fundamental. Menurut konstitusi, warga negara dijamin memperoleh pekerjaan yang layak sesuai kemanusiaan dan fakir miskin dipelihara negara. Artinya, negara wajib melindungi hak hidup petani. Karena itu, kebijakan apa pun tak boleh mensubordinasi hak hidup petani. Misal impor dan daya saing. Daya saing berjalan lurus dengan efisiensi. Tapi efisiensi bukan tujuan jika tak manusiawi. Harga pangan impor murah adalah efisien. Tapi ini tidak manusiawi apabila mensubordinasi, bahkan mematikan hidup petani.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
SETELAH mogok tiga hari, 21-23 Februari 2022, produsen tahu dan tempe kembali berproduksi. Para pelaku UMKM makanan, terutama yang berbasis tahu dan tempe, bisa kembali berjualan. Konsumen pun bisa tersenyum semringah. Namun, senyum mereka agak tertahan. Pasalnya, produsen tahu dan tempe menaikkan harga jual mereka. Ini ditempuh karena produsen tahu-tempe tidak memiliki alternatif lain. Pemerintah sampai saat ini belum memberikan solusi apa pun terkait keluhan harga kedelai yang tinggi.
Cara menaikkan harga jual adalah alternatif terakhir. Sebab, seperti usaha skala UMKM lain, produsen tahu dan tempe terkendala daya beli konsumen. Bukan saja karena pandemi Covid-19 masih menyergap, tapi mayoritas para penyuka tahu dan tempe adalah wong cilik. Konsumen tahu dan tempe amat peka harga (price elastic). Kala harga tahu dan tempe naik, permintaan pasti akan turun. Satu-satunya jalan hanya menutup usaha. Jika cara ini yang ditempuh, barisan pengangguran dan kemiskinan akan bertambah.
Apa yang terjadi saat ini seperti memutar ulang jarum jam. Mogok produksi setidaknya terjadi 2008, 2010, 2012, 2013, 2015, dan 2021. Penyebabnya sama: harga kedelai impor naik tinggi. Krisis kedelai berulang karena pemerintah tidak merespons dengan kebijakan memadai. Dalam kebijakan publik, krisis berulang menandakan ada kealpaan dari otoritas pembuat kebijakan. Pemerintah sebenarnya sudah amat paham apa penyebab krisis berulang, yakni menyerahkan harga kedelai pada mekanisme pasar. Sayangnya, sejauh ini respons kebijakan sama sekali tidak menyentuh akar masalah ini.
Apa yang kita tuai hari ini adalah buah politik pembiaran (hands-of economic policy) yang berkepanjangan itu. Pertama, harga kedelai bergerak bagai roller coaster mengikuti pergerakan harga di pasar dunia. Ketika harga turun, produsen tahu-tempe, juga konsumen, bergembira karena harga tahu-tempe jauh lebih terjangkau. Kala harga kedelai naik, seperti saat ini, kita merasakan akibatnya. Dampak ikutannya, bukan hanya kepastian usaha produsen tahu-tempe terganggu, kehidupan ratusan ribu rakyat jelata, dari pedagang tahu-tempe hingga penjual gorengan pinggir jalan juga terancam usahanya.
Kedua, akibat pelepasan kedelai pada mekanisme pasar, membuat ketergantungan Indonesia pada kedelai impor mencapai 75-80% dari kebutuhan. Ketergantungan impor yang tinggi ini diiringi gelombang emoh menanam kedelai di dalam negeri yang akut. Pada 1992 luas panen kedelai masih 1.665.706 hektare, tapi pada 2019 tinggal 285.265 hektare (17,13% dari 1992). Karena produktivitas tidak bergerak dari 1,4-1,5 ton/hektare, konsekuensinya produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,424 juta ton (2019) atau tinggal 22,69%. Gelombang menjauh dari kedelai ini sepertinya berlanjut.
Mengapa petani enggan menanam kedelai? Keuntungan usaha tani kedelai selama semusim (3-4 bulan) kecil, hanya 11,95% (BPS, 2017). Keuntungan ini tak ada separuh dari mereka yang bertanam padi (26,76%) atau jagung (29,06%). Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, wajar petani enggan bertanam kedelai. Bukan saja untungnya kecil, setiap saat harga kedelai di pasar domestik bisa jatuh karena serbuan kedelai impor yang supermurah. Dengan kata lain, usaha tani kedelai sebenarnya penuh ketidakpastian.
Di balik penyerahan kepada impor itu, ada argumen daya saing. Petani kedelai domestik dinilai tidak bisa bersaing dengan produk impor. Justifikasinya adalah harga kedelai yang murah di pasar dunia. Argumen ini sesat dan menyesatkan. Harga pangan di pasar dunia tidak selalu mencerminkan efisiensi dan daya saing. Karena harga pangan yang murah itu terdistorsi oleh aneka subsidi dan dukungan di negara produsen, termasuk kedelai. Impor kedelai Indonesia mayoritas didatangkan dari Amerika Serikat (AS). Di AS, kedelai adalah 1 dari 20 komoditas yang dilidungi dan disubsidi luar biasa besar.
Tidak jarang, harga murah itu juga terkait praktik dumping. Dumping membuat harga kedelai di pasar demikian murah, dan membuat produsen komoditas sejenis sulit bersaing. Termasuk kedelai Indonesia. Disparitas harga yang tinggi antara harga di pasar dunia dan pasar domestik membuat ngiler siapa saja untuk mengimpor. Kebijakan ini kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampak ikutannya (contagion effect). Jika pada era 1990-an kita swasembada kedelai, kini produksi domestik kian meluruh.
Impor, juga ekspor, termasuk impor-ekspor pangan, merupakan kegiatan ekonomi biasa. Ekspor dilakukan guna meraih devisa. Sebaliknya, impor untuk memenuhi barang yang tidak bisa diproduksi sendiri. Impor menjadi krusial karena terkait produk pertanian domestik. Sepanjang jumlah impor tak signifikan atau produk domestik siap bersaing, impor tak masalah. Masalah muncul karena impor tak selalu karena ada kebutuhan. Atau impor dilakukan tanpa menimbang nasib petani domestik, seperti perubahan sejumlah pasal UU terkait impor pangan-pertanian oleh UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Ditilik dari kepentingan memberikan jaminan hak hidup petani, impor jadi soal fundamental. Menurut konstitusi, warga negara dijamin memperoleh pekerjaan yang layak sesuai kemanusiaan dan fakir miskin dipelihara negara. Artinya, negara wajib melindungi hak hidup petani. Karena itu, kebijakan apa pun tak boleh mensubordinasi hak hidup petani. Misal impor dan daya saing. Daya saing berjalan lurus dengan efisiensi. Tapi efisiensi bukan tujuan jika tak manusiawi. Harga pangan impor murah adalah efisien. Tapi ini tidak manusiawi apabila mensubordinasi, bahkan mematikan hidup petani.
(bmm)
tulis komentar anda