Indonesia, G-20, dan Resolusi Konflik Rusia-Ukraina
Jum'at, 04 Maret 2022 - 07:12 WIB
Dalam sejarah politik internasional, Indonesia dikenal punya reputasi baik terkait dengan upaya menggalang perdamaian dunia. Misalnya di tahun 1955 Indonesia menginisiasi terbentuknya Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagai medium bagi negara-negara eks koloni bangsa-bangsa Eropa di kawasan Asia dan Afrika untuk berani menyatakan kemerdekaanya dan berdaulat secara ekonomi-politik. Tujuannya untuk menghilangkan segala bentuk kolonialisme, penjajahan dan penindasan di muka bumi.
Kemudian ketika dunia dilanda perang dingin yang melibatkan dua blok besar, yakni Amerika Serikat di blok barat dan Uni Soviet di blok timur, Indonesia menjadi salah satu inisiator terbentuknya Gerakan Non-Blok (GNB) pada 1 September 1961 di Beograd, Yugoslavia. Tujuannya GNB diharapkan mampu menjadi penyeimbang politik diantara kebekuan komunikasi blok barat dan timur yang berujung pada potensi perang bersenjata.Artinya, dengan prinsip politik bebas-aktif dan falsafah “mendayung diantara dua karang“ sebagaimana pernah disampaikan Bung Hatta, Indonesia memiliki preseden baik di masa lalu sebagai negara yang aktif mengambil peran untuk mendorong perdamaian dunia. Aktivisme Indonesia di panggung dunia telah terbukti: bahwa pilihan posisi Indonesia dalam konstelasi politik internasional sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi-politik nasional.
Komunikasi Politik Internasional
Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan untuk mengimplementasikan strategi komunikasi politik internasional yang efektif. Efektifitas komunikasi internasional itu menjadi relatif berat karena konstelasi politik internasional saat ini masih didominasi oleh “ke-adidayaan“ Amerika Serikat yang seringkali memamerkan praktik unilateralisme di berbagai forum dan medan komunikasi internasional. Ketidakseimbangan komunikasi internasional itu diperparah oleh posisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang seringkali bias pada kepentingan negara-negara kuat tertentu (Permana, 2014).
Di sisi lain, para pelaku komunikasi internasional, khususnya media mainstream, korporasi internasional dan organisasi-organisasi internasional kerap condong pada kepentingan negara-negara maju. Mereka mendominasi medan komunikasi internasional dengan menerapkan prinsip arus bebas informasi (free flow of information) sehingga arus informasi mengalir tanpa kendali (out of control) dari Utara ke Selatan maupun dari Barat ke Timur (Permana, 2014). Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman yang berujung pada konflik, baik laten maupun manifes.
Dalam konteks ini, Indonesia dapat memainkan peran sebagai komunikator yang relatif netral. Dengan menggunakan medium G-20, ruang komunikasi diharapkan dapat berlangsung relatif berimbang dengan daya tawar yang setara dari masing-masing pihak. Sekalipun Ukraina bukan anggota G-20, tapi banyak pakar mengindikasikan peran ini adalah proxy war yang melibatkan Rusia, China, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sebagai presidensi G-20 Indonesia dituntut bisa meyakinkan anggota G-20 bahwa perang tidak hanya merugikan kedua pihak yang bertikai. Tetapi juga merugikan seluruh komunitas internasional.
Kemudian ketika dunia dilanda perang dingin yang melibatkan dua blok besar, yakni Amerika Serikat di blok barat dan Uni Soviet di blok timur, Indonesia menjadi salah satu inisiator terbentuknya Gerakan Non-Blok (GNB) pada 1 September 1961 di Beograd, Yugoslavia. Tujuannya GNB diharapkan mampu menjadi penyeimbang politik diantara kebekuan komunikasi blok barat dan timur yang berujung pada potensi perang bersenjata.Artinya, dengan prinsip politik bebas-aktif dan falsafah “mendayung diantara dua karang“ sebagaimana pernah disampaikan Bung Hatta, Indonesia memiliki preseden baik di masa lalu sebagai negara yang aktif mengambil peran untuk mendorong perdamaian dunia. Aktivisme Indonesia di panggung dunia telah terbukti: bahwa pilihan posisi Indonesia dalam konstelasi politik internasional sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi-politik nasional.
Komunikasi Politik Internasional
Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan untuk mengimplementasikan strategi komunikasi politik internasional yang efektif. Efektifitas komunikasi internasional itu menjadi relatif berat karena konstelasi politik internasional saat ini masih didominasi oleh “ke-adidayaan“ Amerika Serikat yang seringkali memamerkan praktik unilateralisme di berbagai forum dan medan komunikasi internasional. Ketidakseimbangan komunikasi internasional itu diperparah oleh posisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang seringkali bias pada kepentingan negara-negara kuat tertentu (Permana, 2014).
Di sisi lain, para pelaku komunikasi internasional, khususnya media mainstream, korporasi internasional dan organisasi-organisasi internasional kerap condong pada kepentingan negara-negara maju. Mereka mendominasi medan komunikasi internasional dengan menerapkan prinsip arus bebas informasi (free flow of information) sehingga arus informasi mengalir tanpa kendali (out of control) dari Utara ke Selatan maupun dari Barat ke Timur (Permana, 2014). Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman yang berujung pada konflik, baik laten maupun manifes.
Dalam konteks ini, Indonesia dapat memainkan peran sebagai komunikator yang relatif netral. Dengan menggunakan medium G-20, ruang komunikasi diharapkan dapat berlangsung relatif berimbang dengan daya tawar yang setara dari masing-masing pihak. Sekalipun Ukraina bukan anggota G-20, tapi banyak pakar mengindikasikan peran ini adalah proxy war yang melibatkan Rusia, China, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sebagai presidensi G-20 Indonesia dituntut bisa meyakinkan anggota G-20 bahwa perang tidak hanya merugikan kedua pihak yang bertikai. Tetapi juga merugikan seluruh komunitas internasional.
(war)
tulis komentar anda