Jalan Tengah Menghadapi Pandemi Corona
Senin, 15 Juni 2020 - 15:20 WIB
Sunanto
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
BEBERAPA hari belakangan muncul beberapa tindakan masyarakat yang mengindikasikan perlawanan terhadap serangkaian kebijakan terkait penanganan virus corona. Aksi pengambilan paksa jenazah berstatus pasiden dalam pengawasan (PDP) di 3 Rumah Sakit (RS) di Makassar, Sulawesi Selatan, pengambilan paksa jenazah berstatus PDP di RS Mekar Sari, Kota Bekasi, dan berbagai ketegangan antara oknum masyarakat dengan aparat TNI/Polri menjadi umum kita saksikan di berbagai saluran media.
Sikap acuh dan mengabaikan protokol kesehatan yang diimbau pemerintah dan para ahli menjadi pemandangan kita sehari-hari. Tiga periode penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa provinsi dan kota di Indonesia sepertinya hanya menjadi kehendak pemerintah. Pada saat tenaga kesehatan (Nakes) berjibaku menaklukkan virus dengan nama Covid-19, masyarakat belum menjadi bagian penting dalam menekan penyebaran virus asal Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China ini.
Dalam melihat fenomena yang muncul akhir-akhir ini, menjadi relevan jika mengutip teori Robert Ted Gurr dalam bukunya Why Men Rebel (1970) tentang konsep perampasan (deprivation). Perampasan menurut Gurr memunculkan resistensi atau perlawanan.
Resistensi akan terjadi apabila seseorang merasa yang dihargai dan yang bermanfaat dirampas. Imbasnya, muncul ketidakpuasan (discontent) yang berakibat pada kemarahan, kemurkaan, kejengkelan, dan tergantung pada sedalam apa kelompok masyarakat itu rasanya terampas.
Teori Gurr menemukan relevansinya jika kita kontekskan hari ini. Sejak awal Pemerintah nampak gagap dalam menangani wabah mematikan dengan sebutan Covid-19 itu. Mulai awal kemunculan virus di Kota Wuhan pada Desember 2019, pemerintah terkesan meremehkan. Bahkan sejak awal kasus diumumkan pada 2 Maret 2020, pemerintah seakan-akan menganggap bahwa Covid-19 akan dengan mudah dan cepat diselesaikan.
Akar Masalah Masa Pandemik
Dalam 3 bulan terakhir masyarakat disuguhkan dengan silang pendapat antar pejabat yang tak kunjung mereda. Mulai beda sikap antar menteri kabinet Indonesia Maju, saling bantah kebijakan pemerintah pusat dengan Kepala daerah, semakin menambah benang kusut penanganan Covid-19. Pada saat masyarakat mulai ketakutan dengan wabah Covid-19, pemerintah justru melontarkan pernyataan bahwa Covid-19 adalah virus yang tidak bisa berkembang di kawasan bercuaca tropis seperti Indonesia.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
BEBERAPA hari belakangan muncul beberapa tindakan masyarakat yang mengindikasikan perlawanan terhadap serangkaian kebijakan terkait penanganan virus corona. Aksi pengambilan paksa jenazah berstatus pasiden dalam pengawasan (PDP) di 3 Rumah Sakit (RS) di Makassar, Sulawesi Selatan, pengambilan paksa jenazah berstatus PDP di RS Mekar Sari, Kota Bekasi, dan berbagai ketegangan antara oknum masyarakat dengan aparat TNI/Polri menjadi umum kita saksikan di berbagai saluran media.
Sikap acuh dan mengabaikan protokol kesehatan yang diimbau pemerintah dan para ahli menjadi pemandangan kita sehari-hari. Tiga periode penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa provinsi dan kota di Indonesia sepertinya hanya menjadi kehendak pemerintah. Pada saat tenaga kesehatan (Nakes) berjibaku menaklukkan virus dengan nama Covid-19, masyarakat belum menjadi bagian penting dalam menekan penyebaran virus asal Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China ini.
Dalam melihat fenomena yang muncul akhir-akhir ini, menjadi relevan jika mengutip teori Robert Ted Gurr dalam bukunya Why Men Rebel (1970) tentang konsep perampasan (deprivation). Perampasan menurut Gurr memunculkan resistensi atau perlawanan.
Resistensi akan terjadi apabila seseorang merasa yang dihargai dan yang bermanfaat dirampas. Imbasnya, muncul ketidakpuasan (discontent) yang berakibat pada kemarahan, kemurkaan, kejengkelan, dan tergantung pada sedalam apa kelompok masyarakat itu rasanya terampas.
Teori Gurr menemukan relevansinya jika kita kontekskan hari ini. Sejak awal Pemerintah nampak gagap dalam menangani wabah mematikan dengan sebutan Covid-19 itu. Mulai awal kemunculan virus di Kota Wuhan pada Desember 2019, pemerintah terkesan meremehkan. Bahkan sejak awal kasus diumumkan pada 2 Maret 2020, pemerintah seakan-akan menganggap bahwa Covid-19 akan dengan mudah dan cepat diselesaikan.
Akar Masalah Masa Pandemik
Dalam 3 bulan terakhir masyarakat disuguhkan dengan silang pendapat antar pejabat yang tak kunjung mereda. Mulai beda sikap antar menteri kabinet Indonesia Maju, saling bantah kebijakan pemerintah pusat dengan Kepala daerah, semakin menambah benang kusut penanganan Covid-19. Pada saat masyarakat mulai ketakutan dengan wabah Covid-19, pemerintah justru melontarkan pernyataan bahwa Covid-19 adalah virus yang tidak bisa berkembang di kawasan bercuaca tropis seperti Indonesia.
tulis komentar anda