Rusia Serang Ukraina, Ujian Polugri Indonesia
Selasa, 01 Maret 2022 - 12:01 WIB
Yuddy Chrisnandi
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional, Duta Besar RI di Kiev (2017–2021)
PADA 24 Februari 2022 pagi hari waktu Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin telah memerintahkan penyerangan skala penuh ke wilayah Ukraina dengan menembakkan 160 misil ke berbagai lokasi di wilayah kedaulatan negara tersebut. Imbauan masyarakat negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Asia-Pasifik agar Rusia tidak memulai perang sama sekali diabaikan.
Rusia menampilkan dirinya terlibat langsung dalam masalah separatis internal wilayah timur (eastern) Ukraina (Dombas Region: Luhank & Donets) setelah sejak meletusnya gerakan separatis pada 2014 selalu menyangkal keterlibatan mereka.
Apa pun alasan yang disampaikan Presiden Rusia, menyerang wilayah kedaulatan Ukraina tidak dapat dibenarkan oleh hukum internasional yang dirumuskan di dalam piagam PBB Pasal 2 ayat 4 mengenai penggunaan kekuatan (use of force) terhadap wilayah kedaulatan negara lain yang bukan untuk membela/mempertahankan diri. Setiap anggota PBB, termasuk Rusia dan Ukraina, diwajibkan menggunakan cara-cara damai dalam menyelesaikan sengketa, bukan dengan kekuatan senjata.
Penyerangan itu juga tidak dapat diterima dengan nalar akal sehat, suatu bentuk penyerangan militer terhadap suatu negara yang bukan merupakan ancaman terhadap negara lain. Tindakan Rusia tentu tidak dapat diterima oleh masyarakat dunia yang cinta damai, termasuk Indonesia. Hukum internasional secara tegas telah mengatur bahwa agresi merupakan sebuah kejahatan serius yang menjadi perhatian komunitas internasional.
Berbagai upaya negara Eropa yang memprakarsai pembicaraan damai Rusia-Ukraina melalui Minks Agreement maupun hadirnya OSCE (Organization for Security and Cooperation of Europe) di mana Jerman dan Prancis menjadi penengahnya sudah dilakukan sejak 2014. Sayangnya kesepakatan yang dibuat dianggap selalu dilanggar oleh kedua belah pihak dan dianggap menguntungkan salah satu pihak dari perspektif yang berbeda. Sementara itu tidak ada langkah-langkah yang lebih nyata dari negara-negara besar di Eropa seperti Jerman dan Prancis, juga Amerika Serikat yang merupakan sekutu Ukraina dalam membantu Ukraina mengatasi masalah keamanan negerinya dari ancaman Rusia.
Jika kita melihat sedikit ke belakang, apa yang menyebabkan konflik ini berlangsung memanas hingga Rusia menyerang Ukraina? Berawal dari tergulingnya Presiden Ukraina Keempat Victor Yanukovich pada 2014 yang pro-Rusia, yang membatalkan hasil referendum kehendak rakyat Ukraina bergabung dengan masyarakat Uni Eropa. Yanukovich melarikan diri ke Rusia hingga saat ini. Presiden selanjutnya Petro Poroshenko yang dilantik pada Juni 2014 atas hasil pemilihan umum dihadapkan pada okupasi semenanjung Crimea oleh Rusia dengan alasan referendum rakyat Crimea yang memilih bergabung dengan Rusia dan pemberontakan gerakan separatis di wilayah timur Ukraina yang berbatasan dengan Rusia. Kedua front konflik tidak dapat diatasi oleh kekuatan militer saat itu. Ukraina dan masyarakat dunia meyakini bahwa Rusia berada di belakang gerakan separatisme dan secara terbuka mencaplok Crimea yang berada dalam kedaulatan Ukraina tanpa perlawanan perang.
Saat pertama kali tiba di Ibu Kota Kiev, musim semi April 2017, saya berusaha mengenal budaya dan sosiologi masyarakat Ukraina, selain mencermati keadaan sosial ekonomi dan keamanan negara tersebut. Beberapa bulan kemudian, kami yang bertugas di KBRI Kiev menyimpulkan bahwa status negara zona kuning berbahaya bagi diplomat dan WNI yang ditetapkan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI agar dicabut. Ukraina aman, nyaman, dan damai. Sepanjang lebih dari empat tahun melaksanakan tugas diplomatik di Ukraina, diperolah kesan yang dalam akan masyarakatnya yang ramah, sederhana, dan cinta damai. Bahkan terhadap wilayah kedaulatannya yang dirampas pun Ukraina tidak menggunakan kekuatan bersenjata untuk merebutnya. Yang Ukraina lakukan di dalam wilayahnya di timur adalah menjaga agar gerakan separatis tidak masuk lebih jauh ke dalam wilayah Ukraina yang telah disepakati dalam perjanjian Minks oleh para pihak berkonflik, termasuk Rusia. Dalam kurun waktu 2017–2021, situasi keamanan dan stabilitas ekonomi serta politiknya cukup kondusif, tidak ada keraguan dan kekhawatiran hidup di negara tersebut.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional, Duta Besar RI di Kiev (2017–2021)
PADA 24 Februari 2022 pagi hari waktu Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin telah memerintahkan penyerangan skala penuh ke wilayah Ukraina dengan menembakkan 160 misil ke berbagai lokasi di wilayah kedaulatan negara tersebut. Imbauan masyarakat negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Asia-Pasifik agar Rusia tidak memulai perang sama sekali diabaikan.
Rusia menampilkan dirinya terlibat langsung dalam masalah separatis internal wilayah timur (eastern) Ukraina (Dombas Region: Luhank & Donets) setelah sejak meletusnya gerakan separatis pada 2014 selalu menyangkal keterlibatan mereka.
Apa pun alasan yang disampaikan Presiden Rusia, menyerang wilayah kedaulatan Ukraina tidak dapat dibenarkan oleh hukum internasional yang dirumuskan di dalam piagam PBB Pasal 2 ayat 4 mengenai penggunaan kekuatan (use of force) terhadap wilayah kedaulatan negara lain yang bukan untuk membela/mempertahankan diri. Setiap anggota PBB, termasuk Rusia dan Ukraina, diwajibkan menggunakan cara-cara damai dalam menyelesaikan sengketa, bukan dengan kekuatan senjata.
Penyerangan itu juga tidak dapat diterima dengan nalar akal sehat, suatu bentuk penyerangan militer terhadap suatu negara yang bukan merupakan ancaman terhadap negara lain. Tindakan Rusia tentu tidak dapat diterima oleh masyarakat dunia yang cinta damai, termasuk Indonesia. Hukum internasional secara tegas telah mengatur bahwa agresi merupakan sebuah kejahatan serius yang menjadi perhatian komunitas internasional.
Berbagai upaya negara Eropa yang memprakarsai pembicaraan damai Rusia-Ukraina melalui Minks Agreement maupun hadirnya OSCE (Organization for Security and Cooperation of Europe) di mana Jerman dan Prancis menjadi penengahnya sudah dilakukan sejak 2014. Sayangnya kesepakatan yang dibuat dianggap selalu dilanggar oleh kedua belah pihak dan dianggap menguntungkan salah satu pihak dari perspektif yang berbeda. Sementara itu tidak ada langkah-langkah yang lebih nyata dari negara-negara besar di Eropa seperti Jerman dan Prancis, juga Amerika Serikat yang merupakan sekutu Ukraina dalam membantu Ukraina mengatasi masalah keamanan negerinya dari ancaman Rusia.
Jika kita melihat sedikit ke belakang, apa yang menyebabkan konflik ini berlangsung memanas hingga Rusia menyerang Ukraina? Berawal dari tergulingnya Presiden Ukraina Keempat Victor Yanukovich pada 2014 yang pro-Rusia, yang membatalkan hasil referendum kehendak rakyat Ukraina bergabung dengan masyarakat Uni Eropa. Yanukovich melarikan diri ke Rusia hingga saat ini. Presiden selanjutnya Petro Poroshenko yang dilantik pada Juni 2014 atas hasil pemilihan umum dihadapkan pada okupasi semenanjung Crimea oleh Rusia dengan alasan referendum rakyat Crimea yang memilih bergabung dengan Rusia dan pemberontakan gerakan separatis di wilayah timur Ukraina yang berbatasan dengan Rusia. Kedua front konflik tidak dapat diatasi oleh kekuatan militer saat itu. Ukraina dan masyarakat dunia meyakini bahwa Rusia berada di belakang gerakan separatisme dan secara terbuka mencaplok Crimea yang berada dalam kedaulatan Ukraina tanpa perlawanan perang.
Saat pertama kali tiba di Ibu Kota Kiev, musim semi April 2017, saya berusaha mengenal budaya dan sosiologi masyarakat Ukraina, selain mencermati keadaan sosial ekonomi dan keamanan negara tersebut. Beberapa bulan kemudian, kami yang bertugas di KBRI Kiev menyimpulkan bahwa status negara zona kuning berbahaya bagi diplomat dan WNI yang ditetapkan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI agar dicabut. Ukraina aman, nyaman, dan damai. Sepanjang lebih dari empat tahun melaksanakan tugas diplomatik di Ukraina, diperolah kesan yang dalam akan masyarakatnya yang ramah, sederhana, dan cinta damai. Bahkan terhadap wilayah kedaulatannya yang dirampas pun Ukraina tidak menggunakan kekuatan bersenjata untuk merebutnya. Yang Ukraina lakukan di dalam wilayahnya di timur adalah menjaga agar gerakan separatis tidak masuk lebih jauh ke dalam wilayah Ukraina yang telah disepakati dalam perjanjian Minks oleh para pihak berkonflik, termasuk Rusia. Dalam kurun waktu 2017–2021, situasi keamanan dan stabilitas ekonomi serta politiknya cukup kondusif, tidak ada keraguan dan kekhawatiran hidup di negara tersebut.
tulis komentar anda