Antara Aturan Toa, Framing dan Suara Anjing
Jum'at, 25 Februari 2022 - 22:07 WIB
Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat dan bertambahnya rumah-rumah ibadah yang makin berdekatan satu sama lain, di beberapa tempat diperlukan penyesuaian-penyesuaian dalam penggunaan pengeras suara. Seperti disampaikan berulang-ulang oleh Menteri Agama, tidak ada upaya dari pemerintah untuk melarang Umat Islam menggunakan toa dalam rumah ibadah. Yang diatur adalah ketinggian volume suara sehingga jalannya ibadah menjadi lebih khidmat dan bermanfaat bagi sekelilingnya.
Aturan-aturan tentang ketertiban penggunaan pengeras suara sudah beberapa kali diterbitkan sejak berdirinya republik ini. Pada 1978 silam misalnya, sudah ada Instruksi Dirjen Binmas Islam Nomor: KEP/d/101/1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar dan Musala. Aturan tersebut juga dijadikan dasar Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Surat Nomor: B.3940/DJ.III/HK.00.07/2018 yang juga mengatur soal penggunaan pengeras suara. Sehingga aturan yang baru dikeluarkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bukanlah tanpa pijakan dan pertimbangan yang menjadi legacy dari sesepuh-sesepuh di Kemenag sebelumnya.
Di dunia Islam yang lebih luas, aturan-aturan tentang ketertiban dan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah tidak hanya dilembarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim juga lebih awal serta konsisten menerapkan aturan tersebut, bahkan dengan sanksi yang lebih keras. Arab Saudi misalnya, hanya mengizinkan penggunaan speaker dalam mesjid untuk adzan, Shalat Jumat, Shalat Eid, dan Shalat Istisqa (minta hujan). Negara tetangga kita, Malaysia, hanya membolehkan penggunaan toa untuk adzan saja. Tilawah sebelum adzan maupun dzikir setelah shalat tidak boleh dikumandangkan melalui pengeras suara.
Di Mesir juga ada larangan menghidupkan pengeras suara selama Bulan Ramadan dengan tujuan ibadah lebih tenang. Sementara di India penggunaan pengeras suara di rumah ibadah, termasuk masjid, dilarang dan akan dikenakan sanksi oleh negara.
Beberapa contoh tersebut semakin menunjukkan bahwa penggunaan pengeras suara adalah bukan esensi ibadah melainkan sebuah inovasi yang berkembang seiring teknologi zaman sehingga selalu terbuka untuk diberlakukan regulasi yang tentu saja bertujuan, meminjam kata-kata yang diartikulasikan oleh Menteri Agama, untuk menambah manfaat dan mengurangi mafsadat.
Nasehat dan Tabayyun Sebagai Perisai Umat
Islam adalah agama nasehat dan pemberi rahmat bagi sekalian alam. Hal tersebut hendaknya selalu ditanamkan dalam benak Umat Islam di mana pun mereka berada. Untuk menutup risalah singkat ini, penting kiranya sekali lagi kita saling mengingatkan pentingnya selalu mempraktikkan sikaptabayyun setiap menerima informasi dari pihak manapun.
Di zaman teknologi informasi yang makin pesat ini, selalu ada pihak-pihak yang mencari manfaat ekonomi dan manfaat kekuasaan dari kegaduhan-kegaduhan yang timbul dari berita-berita tidak bertanggungjawab. Banyak media berbasis digital dewasa ini menggantungkan pengaruh dan mata rantai finansialnya dari click bait, di mana semakin banyak orang mengakses dan membagikan satu link berita maka akan semakin tinggi rating penyedia platform tersebut.
Hal tersebut membuat sebagian orang meninggalkan etika bermedia dan tugas mulia seorang pewarta demi mengejar keuntungan dari iklan. Menutup mata atas kontroversi yang muncul dari framing media telah memberikan mafsadat tidak hanya bagi pribadi seorang menteri tetapi juga bagi imej Umat Islam di mata dunia. Wallahu’alam bissawab.
Aturan-aturan tentang ketertiban penggunaan pengeras suara sudah beberapa kali diterbitkan sejak berdirinya republik ini. Pada 1978 silam misalnya, sudah ada Instruksi Dirjen Binmas Islam Nomor: KEP/d/101/1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar dan Musala. Aturan tersebut juga dijadikan dasar Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Surat Nomor: B.3940/DJ.III/HK.00.07/2018 yang juga mengatur soal penggunaan pengeras suara. Sehingga aturan yang baru dikeluarkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bukanlah tanpa pijakan dan pertimbangan yang menjadi legacy dari sesepuh-sesepuh di Kemenag sebelumnya.
Di dunia Islam yang lebih luas, aturan-aturan tentang ketertiban dan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah tidak hanya dilembarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim juga lebih awal serta konsisten menerapkan aturan tersebut, bahkan dengan sanksi yang lebih keras. Arab Saudi misalnya, hanya mengizinkan penggunaan speaker dalam mesjid untuk adzan, Shalat Jumat, Shalat Eid, dan Shalat Istisqa (minta hujan). Negara tetangga kita, Malaysia, hanya membolehkan penggunaan toa untuk adzan saja. Tilawah sebelum adzan maupun dzikir setelah shalat tidak boleh dikumandangkan melalui pengeras suara.
Di Mesir juga ada larangan menghidupkan pengeras suara selama Bulan Ramadan dengan tujuan ibadah lebih tenang. Sementara di India penggunaan pengeras suara di rumah ibadah, termasuk masjid, dilarang dan akan dikenakan sanksi oleh negara.
Beberapa contoh tersebut semakin menunjukkan bahwa penggunaan pengeras suara adalah bukan esensi ibadah melainkan sebuah inovasi yang berkembang seiring teknologi zaman sehingga selalu terbuka untuk diberlakukan regulasi yang tentu saja bertujuan, meminjam kata-kata yang diartikulasikan oleh Menteri Agama, untuk menambah manfaat dan mengurangi mafsadat.
Nasehat dan Tabayyun Sebagai Perisai Umat
Islam adalah agama nasehat dan pemberi rahmat bagi sekalian alam. Hal tersebut hendaknya selalu ditanamkan dalam benak Umat Islam di mana pun mereka berada. Untuk menutup risalah singkat ini, penting kiranya sekali lagi kita saling mengingatkan pentingnya selalu mempraktikkan sikaptabayyun setiap menerima informasi dari pihak manapun.
Di zaman teknologi informasi yang makin pesat ini, selalu ada pihak-pihak yang mencari manfaat ekonomi dan manfaat kekuasaan dari kegaduhan-kegaduhan yang timbul dari berita-berita tidak bertanggungjawab. Banyak media berbasis digital dewasa ini menggantungkan pengaruh dan mata rantai finansialnya dari click bait, di mana semakin banyak orang mengakses dan membagikan satu link berita maka akan semakin tinggi rating penyedia platform tersebut.
Hal tersebut membuat sebagian orang meninggalkan etika bermedia dan tugas mulia seorang pewarta demi mengejar keuntungan dari iklan. Menutup mata atas kontroversi yang muncul dari framing media telah memberikan mafsadat tidak hanya bagi pribadi seorang menteri tetapi juga bagi imej Umat Islam di mata dunia. Wallahu’alam bissawab.
(ynt)
tulis komentar anda