Melarat dan Membenci Kemapanan
Senin, 21 Februari 2022 - 14:29 WIB
Hal lain yang mengesalkan adalah sikap berada di pusara tapi tidak mau teriak perubahan. Kau melawan kapitalisme, tetapi kau tidak mau menerima sosialisme sebagai satu-satunya alternatif yang mungkin (hal.105). Comstock menjawab protes kawannya dengan bilang, menolak satu bukan berarti menerima yang lain. Gordon Comstock tampak seperti avatar dari Orwell sendiri. Orwell sendiri pernah menghadapi masa-masa susah sebagai penulis dan pekerja paruh waktu di toko buku Hampstead.
Bukunya yang lain, Down and Out in London and Paris, juga kerap dikaitkan dengan kisah hidup Orwell dan Comstock dalam buku ini. Namun nyatanya, Orwell hidup di tengah keluarga mapan dan karier sebagai penulis sukses, berbeda nasib dengan Comstock. Itulah mungkin sebabnya, Comstock tampak “malu-malu” memilih berdiri di kutub yang jelas. Selalu ambivalen. Dia menolak menjadi kaya, tetapi di akhir diam-diam mengidolakan aspidistra—tanaman yang disebut sebagai simbol orang berkelas.
Manusia dewasa ini, seperti ramalan Orwell dalam buku ini, tidak jauh berbeda dengan suasana sosial London 1930-an latar waktu kisah Comstock ini. Mendewakan materi, dan menjadi khayali bila nirmateri. Orang-orang seperti Orwell pastilah ada. Mereka yang memilih menepi dari pusara materialisme yang menguasai seluruh elemen kehidupan. Bahkan di ranjang pengantin jari dewa uang mengganggu! (hal.172)
Selain mendewakan uang, manusia (setidaknya di era 1930-an, untuk tidak serampangan membandingkan dengan yang sekarang) tidak adil menilai seni. Orwell, lewat mulut sinis Comstock, menyindir bagaimana sastra dan seni yang lain, tetap kalah oleh uang. Orwell yang bekerja dengan buku mengamati orang-orang yang datang tanpa semangat, seolah seni dan sastra adalah pikiran terakhir manusia yang mendewakan uang.
Semuanya jungkir balik, ketika Comstock mendapatkan cek atas pemuatan puisi. Uang yang cukup besar itu membuatnya mendapatkan surga satu malam. Dia makan mewah dengan kawan juga Rosemary. Kemudian mabuk-mabukan dan membikin onar. Di sinilah, kejengkelan saya seperti mendidih di ubun-ubun. Apalagi pasca membuat onar itu Comstock tidak juga mengerti betul posisinya, selain angan-angan idealisme. Ketika Rosemary hamil, barulah kita tahu Comstock tetaplah manusia yang tidak bisa lepas dari jerat benda bernama uang.
Novel ini betul-betul satire yang sebenarnya. Comstcok tokoh di tengah yang tahu dia tidak bisa mengubah. Dia juga tidak seanarkis, Ben Cash, tokoh dalam film Captain Fantastic (2016) yang kabur dari dunia yang dia benci. Comstock adalah manusia seperti kita pada umumnya. Nyinyir membenci sistem, dibuai utopia idealisme, tapi bila sudah betul-betul terjedot tembok yang tak bisa dilompati, kemungkinan putar balik itu ada.
Orwell benar-benar menyindir. Menyindir yang mendewakan uang. Juga menyindir yang kerap terbuai glorifikasi bernama idealisme.
Judul : Keep the Aspidistra Flying
Penulis : George Orwell
Penerjemah : Anton Kurnia
Bukunya yang lain, Down and Out in London and Paris, juga kerap dikaitkan dengan kisah hidup Orwell dan Comstock dalam buku ini. Namun nyatanya, Orwell hidup di tengah keluarga mapan dan karier sebagai penulis sukses, berbeda nasib dengan Comstock. Itulah mungkin sebabnya, Comstock tampak “malu-malu” memilih berdiri di kutub yang jelas. Selalu ambivalen. Dia menolak menjadi kaya, tetapi di akhir diam-diam mengidolakan aspidistra—tanaman yang disebut sebagai simbol orang berkelas.
Manusia dewasa ini, seperti ramalan Orwell dalam buku ini, tidak jauh berbeda dengan suasana sosial London 1930-an latar waktu kisah Comstock ini. Mendewakan materi, dan menjadi khayali bila nirmateri. Orang-orang seperti Orwell pastilah ada. Mereka yang memilih menepi dari pusara materialisme yang menguasai seluruh elemen kehidupan. Bahkan di ranjang pengantin jari dewa uang mengganggu! (hal.172)
Selain mendewakan uang, manusia (setidaknya di era 1930-an, untuk tidak serampangan membandingkan dengan yang sekarang) tidak adil menilai seni. Orwell, lewat mulut sinis Comstock, menyindir bagaimana sastra dan seni yang lain, tetap kalah oleh uang. Orwell yang bekerja dengan buku mengamati orang-orang yang datang tanpa semangat, seolah seni dan sastra adalah pikiran terakhir manusia yang mendewakan uang.
Semuanya jungkir balik, ketika Comstock mendapatkan cek atas pemuatan puisi. Uang yang cukup besar itu membuatnya mendapatkan surga satu malam. Dia makan mewah dengan kawan juga Rosemary. Kemudian mabuk-mabukan dan membikin onar. Di sinilah, kejengkelan saya seperti mendidih di ubun-ubun. Apalagi pasca membuat onar itu Comstock tidak juga mengerti betul posisinya, selain angan-angan idealisme. Ketika Rosemary hamil, barulah kita tahu Comstock tetaplah manusia yang tidak bisa lepas dari jerat benda bernama uang.
Novel ini betul-betul satire yang sebenarnya. Comstcok tokoh di tengah yang tahu dia tidak bisa mengubah. Dia juga tidak seanarkis, Ben Cash, tokoh dalam film Captain Fantastic (2016) yang kabur dari dunia yang dia benci. Comstock adalah manusia seperti kita pada umumnya. Nyinyir membenci sistem, dibuai utopia idealisme, tapi bila sudah betul-betul terjedot tembok yang tak bisa dilompati, kemungkinan putar balik itu ada.
Orwell benar-benar menyindir. Menyindir yang mendewakan uang. Juga menyindir yang kerap terbuai glorifikasi bernama idealisme.
Judul : Keep the Aspidistra Flying
Penulis : George Orwell
Penerjemah : Anton Kurnia
tulis komentar anda