Mudarat PTN Badan Hukum
Rabu, 16 Februari 2022 - 11:56 WIB
Buktinya, tidak sedikit mahasiswa yang sudah lulus perguruan tinggi negeri mengundurkan diri atau harus membayar mahal. Sistem uang kuliah tunggal (UKT) yang ditetapkan kampus kerap tidak sesuai dengan kemampuan riil orang tua mahasiswa. Orangtua diberi waktu untuk menyanggah tetapi jikapun turun, hanya sedikit sehingga masih tetap memberatkan mereka. UKT adalah besaran biaya kuliah yang harus dibayar mahasiswa setiap semester sesuai dengan perekonomian orang tua.
PTN BH dan PT negeri secara umum tidak memberikan ruang bagi mahasiswa miskin dan kurang cerdas. Kuota 20% bagi siswa miskin pada praktiknya bagi mereka yang cerdas alias pintar. Padahal, pendidikan adalah alat yang akan mengubah nasib individu untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera. Dengan demikian, ia tidak mewarisi kemiskinan kultural.
Variabel Kualitas
Secara normatif, tujuan PTN BH mulia yaitu meningkatkan kualitas kampus. Otonomi akademik dan nonakademik memberikan kampus leluasa bergerak dan berkembang. Faktanya, tidak semudah membalik telapak tangan. Jika otonomi menjadi alasan kualitas, seharusnya banyak kampus swasta yang berkualitas dan maju.
Status badan hukum bukan variabel tunggal peningkatan kualitas kampus, melainkan akumulasi kepemimpinan, sumber daya manusia, fasilitas, dan budaya kerja. Untuk menjadi kampus negeri yang berkualitas, tidak harus menunggu status PTN BH. Apapun status kampus akan berkualitas jika ada di tangan rektor dengan kepemimpinan yang transformatif, visioner, demokratis, dan berjiwa wirausaha.
Kecuali itu, para pemimpin kampus harus sadar bahwa terlalu fokus pada indikator publikasi ilmiah bertaraf internasional, namun mengabaikan peran akademisi atas masyarakat adalah keliru. Sudah lama kampus-kampus kita—juga Kemendikbudristek dan Kementerian Agama—mengejar publikasi ilmiah, namun tak terdengar kontribusinya bagi masyarakat.
Tom Nichols (2021: 6) dalam bukunya, Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya, menulis: banyak pakar, dan khususnya mereka yang berada di lembaga pendidikan, mengabaikan tugas mereka untuk berhubungan dengan masyarakat. Mereka menarik diri ke dalam jargon dan hal-hal yang tidak relevan, memilih untuk berinteraksi dengan sesamanya saja.
Lagi pula tak ada hasil berarti dari konsentrasi penuh kampus kita dalam riset kecuali publikasi internasional, nama baik penulis, dan peringkat universitas. Hasil-hasil riset itu berhenti sebatas ide, namun tidak diproduksi untuk kepentingan masyarakat luas. Terhalang oleh birokrasi, politik, dan iklim investasi yang buruk. Vaksin Merah Putih dan industri pesawat terbang Nusantara tutup misalnya. Maka ilmuwan Indonesia berkembang di luar negeri, tapi mati di dalam negeri.
Keseimbangan Ilmu dan Usaha
Tidak mudah menjadi rektor yang dituntut mengembangkan ilmu sekaligus mencari dana melalui usaha untuk pengembangan kualitas kampus. Dibutuhkan kapasitas dan kepemimpinan rektor yang di atas rata-rata. Andai pun berhasil, harus ada keseimbangan keduanya: ilmu dan usaha.
PTN BH dan PT negeri secara umum tidak memberikan ruang bagi mahasiswa miskin dan kurang cerdas. Kuota 20% bagi siswa miskin pada praktiknya bagi mereka yang cerdas alias pintar. Padahal, pendidikan adalah alat yang akan mengubah nasib individu untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera. Dengan demikian, ia tidak mewarisi kemiskinan kultural.
Variabel Kualitas
Secara normatif, tujuan PTN BH mulia yaitu meningkatkan kualitas kampus. Otonomi akademik dan nonakademik memberikan kampus leluasa bergerak dan berkembang. Faktanya, tidak semudah membalik telapak tangan. Jika otonomi menjadi alasan kualitas, seharusnya banyak kampus swasta yang berkualitas dan maju.
Status badan hukum bukan variabel tunggal peningkatan kualitas kampus, melainkan akumulasi kepemimpinan, sumber daya manusia, fasilitas, dan budaya kerja. Untuk menjadi kampus negeri yang berkualitas, tidak harus menunggu status PTN BH. Apapun status kampus akan berkualitas jika ada di tangan rektor dengan kepemimpinan yang transformatif, visioner, demokratis, dan berjiwa wirausaha.
Kecuali itu, para pemimpin kampus harus sadar bahwa terlalu fokus pada indikator publikasi ilmiah bertaraf internasional, namun mengabaikan peran akademisi atas masyarakat adalah keliru. Sudah lama kampus-kampus kita—juga Kemendikbudristek dan Kementerian Agama—mengejar publikasi ilmiah, namun tak terdengar kontribusinya bagi masyarakat.
Tom Nichols (2021: 6) dalam bukunya, Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya, menulis: banyak pakar, dan khususnya mereka yang berada di lembaga pendidikan, mengabaikan tugas mereka untuk berhubungan dengan masyarakat. Mereka menarik diri ke dalam jargon dan hal-hal yang tidak relevan, memilih untuk berinteraksi dengan sesamanya saja.
Lagi pula tak ada hasil berarti dari konsentrasi penuh kampus kita dalam riset kecuali publikasi internasional, nama baik penulis, dan peringkat universitas. Hasil-hasil riset itu berhenti sebatas ide, namun tidak diproduksi untuk kepentingan masyarakat luas. Terhalang oleh birokrasi, politik, dan iklim investasi yang buruk. Vaksin Merah Putih dan industri pesawat terbang Nusantara tutup misalnya. Maka ilmuwan Indonesia berkembang di luar negeri, tapi mati di dalam negeri.
Keseimbangan Ilmu dan Usaha
Tidak mudah menjadi rektor yang dituntut mengembangkan ilmu sekaligus mencari dana melalui usaha untuk pengembangan kualitas kampus. Dibutuhkan kapasitas dan kepemimpinan rektor yang di atas rata-rata. Andai pun berhasil, harus ada keseimbangan keduanya: ilmu dan usaha.
tulis komentar anda