Cerdas Menyikapi Kemajuan Teknologi
Jum'at, 11 Februari 2022 - 15:48 WIB
DALAM satu dekade terakhir, penduduk Bumi sedang menikmati anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi dan digitalisasi di hampir semua lini kehidupan. Dengan kemajuan teknologi internet dan digital manusia bisa memangkas jarak dan waktu sedemikian rupa sehingga pekerjaan bisa menjadi lebih cepat, masif, simpel, mudah, efisien dan menghasilkan output berlipat yang belum pernah terjadi di era revolusi teknologi sebelumnya. Revolusi industri 4.0 menjadi semacam tren yang seolah-olah menjadi wajib hukumnya dimiliki oleh setiap negara, institusi, perusahaan bahkan para individu jika ingin selalu menang dalam kompetisi dunia yang semakin ketat dan keras.
Teknologi adalah kunci sebuah peradaban bisa menjadi unggul dibandingkan peradaban lain. Dalam bahasa yang politis, bangsa yang menguasai teknologi akan mampu menguasai bangsa dan negara lain tanpa harus menaklukkan secara fisik pemerintahan dan rakyat bangsa tersebut. Dengan kata lain, bangsa yang kurang menguasai teknologi akan leluasa "menjajah" bangsa lain yang sama sekali tidak merasa dirinya sedang dijajah. Terdengar kontroversi. Tapi inilah kenyataan kekinian yang sedang kita alami.
Kita bisa pakai istilah imperalisme supermodern, imperialisme digital, penjajahan algoritma, penguasaan data dan informasi, dan seterusnya. Yang jelas, negara-negara kelas medioker (miskin tidak, maju pun belum) akan mengalami posisi sulit. Untuk masuk ke jajaran negara maju yang sudah kaya duluan dan kemampuan sumber daya manusia (SDM)-nya mumpuni dalam penguasaan teknologi, negara kelas menengah ini akan kesulitan dan pasti juga dipersulit. Kalau pun diajak bergabung negara-negara maju, dia ibarat sebagai teman ngopi yang tugasnya hanya mengiyakan gagasan dan perintah kawanya yang supertajir ini. Di geng negara elite ini, peran negara medioker biasanya hanya menjadi pelengkap penderita saja. Bisa diperankan sebagai pasar dari produk negara negara kaya, bisa menjadi ujicoba barang-barang teknologi yang masih belum jelas manfaatnya jika dibeli. Celakanya, saking ingin dianggap sebagai anggota kelompok elite itu, pemerintahan negeri tanggung ini pun rela menghabiskan anggaran negaranya yang cekak untuk membeli sesuatu yang tidak diperlukan rakyatnya.
Alih-alih mendapat pujian tepuk tangan. Rakyat negeri tanggung ini sudah cerdas berpikir dan sadar bahwa sebenarnya pemimpinanya sedang ditipu oleh imperialisme ultramodern itu yang gimiknya sepertinya canggih-canggih. Metaverse, Internet of Things, green energy, green economy, blue sky, industry 4.0, web 3.0, dan segala macam pameran kecanggihan teknologi yang menyihir semua yang mengalaminya. Alih-alih mendapatkan manfaat dari sederet kecanggihan itu untuk kemakmuran rakyat. Banyak proyek-proyek yang mangkrak, tidak berlanjut, tidak bisa digunakan karena ekosistemnya belum terbentuk, proses pembangunannya yang korup dan segala problem klasik khas negeri nanggung di berbagai belahan dunia lain.
Tanpa bermaksud antipati terhadap perkembangan teknologi oleh negeri-negeri maju itu. Mestinya para pemimpin negeri bisa lebih jeli, cerdas dan hati-hati dengan jebakan yang ada di balik itu. Dengan mengerahkan kemampuan SDM-nya yang cukup kompeten, mestinya keputusan tidak diambil gegabah atau asal jadi. Banyak talenta muda, pintar, kaya pengalaman yang jika disatukan, diramu dengan baik bisa menjadi kekuatan dahsyat untuk menahan laju teknologi itu sembari mempersiapkan kemampuan anak bangsa untuk bisa bersaing dengan para elite itu. Teknologi apapun wajib dipelajari, dikuasai, dan digunakan semaksimal mungkin untuk kemajuan bangsa. Bukan sebaliknya hanya untuk gagah-gagahan, pamer, membuat proyek untuk tujuan politik lima tahunan atau untuk menguntungkan sekelompok orang atau pihak.
Jika negeri kelas menengah ini mampu menyikapi secara cerdas jebakan penjajahan baru berbalut teknologi itu, disertai konsistensi mengelola SDM dan sumber daya alam (SDA) yang melimpah secara tepat, tidak mustahil bisa mengejar ketertinggalan dalam waktu cepat. Kita bisa gunakan sebagian teknologi ciptaan negeri maju itu disesuaikan dengan kondisi domestik untuk melawan imperialisme baru itu. Bukankah itu sudah dilakukan? Mengapa posisinya masih jalan di tempat? Ya, bisa jadi ada yang salah dalam manajemennya. Semoga kita semua bisa belajar dari kemajuan teknologi dan memanfaatkan kecanggihannya untuk bangsa. Bukan sebaliknya. Justru bangsa negeri tanggung itu yang diperbudak teknologi dan tidak mendapatkan apa-apa. Semoga.
Teknologi adalah kunci sebuah peradaban bisa menjadi unggul dibandingkan peradaban lain. Dalam bahasa yang politis, bangsa yang menguasai teknologi akan mampu menguasai bangsa dan negara lain tanpa harus menaklukkan secara fisik pemerintahan dan rakyat bangsa tersebut. Dengan kata lain, bangsa yang kurang menguasai teknologi akan leluasa "menjajah" bangsa lain yang sama sekali tidak merasa dirinya sedang dijajah. Terdengar kontroversi. Tapi inilah kenyataan kekinian yang sedang kita alami.
Kita bisa pakai istilah imperalisme supermodern, imperialisme digital, penjajahan algoritma, penguasaan data dan informasi, dan seterusnya. Yang jelas, negara-negara kelas medioker (miskin tidak, maju pun belum) akan mengalami posisi sulit. Untuk masuk ke jajaran negara maju yang sudah kaya duluan dan kemampuan sumber daya manusia (SDM)-nya mumpuni dalam penguasaan teknologi, negara kelas menengah ini akan kesulitan dan pasti juga dipersulit. Kalau pun diajak bergabung negara-negara maju, dia ibarat sebagai teman ngopi yang tugasnya hanya mengiyakan gagasan dan perintah kawanya yang supertajir ini. Di geng negara elite ini, peran negara medioker biasanya hanya menjadi pelengkap penderita saja. Bisa diperankan sebagai pasar dari produk negara negara kaya, bisa menjadi ujicoba barang-barang teknologi yang masih belum jelas manfaatnya jika dibeli. Celakanya, saking ingin dianggap sebagai anggota kelompok elite itu, pemerintahan negeri tanggung ini pun rela menghabiskan anggaran negaranya yang cekak untuk membeli sesuatu yang tidak diperlukan rakyatnya.
Alih-alih mendapat pujian tepuk tangan. Rakyat negeri tanggung ini sudah cerdas berpikir dan sadar bahwa sebenarnya pemimpinanya sedang ditipu oleh imperialisme ultramodern itu yang gimiknya sepertinya canggih-canggih. Metaverse, Internet of Things, green energy, green economy, blue sky, industry 4.0, web 3.0, dan segala macam pameran kecanggihan teknologi yang menyihir semua yang mengalaminya. Alih-alih mendapatkan manfaat dari sederet kecanggihan itu untuk kemakmuran rakyat. Banyak proyek-proyek yang mangkrak, tidak berlanjut, tidak bisa digunakan karena ekosistemnya belum terbentuk, proses pembangunannya yang korup dan segala problem klasik khas negeri nanggung di berbagai belahan dunia lain.
Tanpa bermaksud antipati terhadap perkembangan teknologi oleh negeri-negeri maju itu. Mestinya para pemimpin negeri bisa lebih jeli, cerdas dan hati-hati dengan jebakan yang ada di balik itu. Dengan mengerahkan kemampuan SDM-nya yang cukup kompeten, mestinya keputusan tidak diambil gegabah atau asal jadi. Banyak talenta muda, pintar, kaya pengalaman yang jika disatukan, diramu dengan baik bisa menjadi kekuatan dahsyat untuk menahan laju teknologi itu sembari mempersiapkan kemampuan anak bangsa untuk bisa bersaing dengan para elite itu. Teknologi apapun wajib dipelajari, dikuasai, dan digunakan semaksimal mungkin untuk kemajuan bangsa. Bukan sebaliknya hanya untuk gagah-gagahan, pamer, membuat proyek untuk tujuan politik lima tahunan atau untuk menguntungkan sekelompok orang atau pihak.
Jika negeri kelas menengah ini mampu menyikapi secara cerdas jebakan penjajahan baru berbalut teknologi itu, disertai konsistensi mengelola SDM dan sumber daya alam (SDA) yang melimpah secara tepat, tidak mustahil bisa mengejar ketertinggalan dalam waktu cepat. Kita bisa gunakan sebagian teknologi ciptaan negeri maju itu disesuaikan dengan kondisi domestik untuk melawan imperialisme baru itu. Bukankah itu sudah dilakukan? Mengapa posisinya masih jalan di tempat? Ya, bisa jadi ada yang salah dalam manajemennya. Semoga kita semua bisa belajar dari kemajuan teknologi dan memanfaatkan kecanggihannya untuk bangsa. Bukan sebaliknya. Justru bangsa negeri tanggung itu yang diperbudak teknologi dan tidak mendapatkan apa-apa. Semoga.
(bmm)
tulis komentar anda