Potensi Konflik Sosial di Era Teknokultur

Kamis, 10 Februari 2022 - 11:56 WIB
Perubahan sosial akan menuntut ada rekonstruksi sosial baik bersifat konstruktif maupun destruktif. Adaptasi elemen bangsa baik pemerintah maupun masyarakat diperlukan untuk mendorong perubahan ke arah konstruktif. Namun, dalam upaya tersebut, suatu keniscayaan bahwa dinamika yang destruktif juga akan mengiringinya. Dalam pandangan ini, era penyebaran informasi yang sangat cepat juga dapat menyebabkan tantangan bagi penjagaan stabilitas nasional. Perluasan konflik sosial akibat perang siber dapat terjadi melalui teknologi komunikasi dan informasi. Aplikasi sosial media sebagai alat komunikasi dapat berkontribusi terhadap eskalasi konflik sosial yakni dengan penerusan informasi ke beberapa orang dan kelompok secara masif yang diketahui memiliki persepsi yang beragam terhadap isu yang disebar.

Model penyebaran komunikasi dan informasi melalui aplikasi pesan atau media sosial tersebut juga dapat mendorong ada misinterpretasi. Pesan yang disampaikan dalam bentuk tulisan pada penerima berpotensi memberikan tafsiran lain yang lebih luas terhadap informasi yang diberikan. Fenomena tersebut dapat dilihat dalam perkembangan kehidupan politik masyarakat saat ini. Beragam isu yang tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya dengan mudah menyebar di tengah-tengah masyarakat.

Dalam kehidupan politik, kondisi semacam itu dapat mengakibatkan polarisasi masyarakat yang sangat kuat pada masing-masing sisi. Tentunya kondisi ini rentan menimbulkan konflik sosial dengan eskalasi yang bisa meningkat. Polarisasi akibat dinamika politik di masyarakat yang dipicu dengan penyebaran informasi tidak benar atau bahkan ujaran kebencian menjadi tantangan serius keamanan nasional saat ini.

Antisipasi dan Penanganan

Perang siber akibat adanya polarisasi politik kerap terjadi di dunia maya. Bukan tidak mungkin apabila konflik siber ini dapat berkembang menjadi konflik fisik. Atau menurunkan kadar integrasi bangsa. Ada karakter menonjol dalam konflik siber. Pertama, pertentangan antarkelompok masyarakat mudah tersulut dengan adanya penyebaran informasi bohong atau hoaks. Kedua, pertentangan antarkelompok masyarakat dengan sensitivitas tinggi yang mudah disulut. Ketiga, polarisasi akibat pertentangan konflik sosial dapat berlanjut secara virtual dengan periode waktu yang lama. Keempat, eskalasi konflik bisa berkembang dengan cepat.

Di era teknokultur, komitmen seluruh elemen bangsa ini akan dihadapkan pada potensi polarisasi dan permusuhan yang mengancam integrasi dan persatuan bangsa. Adanya polarisasi dan permusuhan akan mudah menyulut berbagai gangguan ketertiban, bahkan pada aspek keamanan nasional. Gangguan tersebut dapat dilihat dari keberadaan potensi konflik siber yang muncul dan berkepanjangan.

Karena itu, pada era teknokultur saat ini penanganan konflik siber akibat adanya hoaks dan ujaran kebencian yang bisa menimbulkan eskalasi pada bentuk konflik fisik perlu dikendalikan dengan sasaran pembatasan sampai pada penghentian produksi hoaks dan ujaran kebencian. Hal lain yang perlu ditempuh adalah penyampaian kontranarasi atau meluruskan informasi yang berkembang supaya masyarakat memiliki persepsi yang tepat atas suatu berita bohong/hoaks dan ujaran kebencian.

Berdasarkan kondisi empiris di Indonesia dalam penggunaan teknologi media sosial, perlu ada suatu langkah antisipasi dari negara terhadap penyalahgunaan media sosial yang berdampak terjadi konflik sosial karena berita bohong/hoaks dan ujaran kebencian. Perlu dilakukan penyesuaian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terhadap kebutuhan perkembangan masyarakat di dalam menghadapi konflik siber yang dapat memunculkan konflik sosial. Penyesuaian tersebut difokuskan pada pengaturan tentang perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam kaitan penanganan konflik siber dan konflik sosial pada era teknokultur.

Optimalisasi penanganan dan penegakan hukum konflik siber dan konflik sosial memerlukan sinergi dari berbagai pihak sehingga diperlukan penataan kelembagaan dan fungsi yang mengintegrasikan peran berbagai kementerian/lembaga terkait serta pengaturan keterlibatan elemen masyarakat dalam penanganan konflik siber. Penataan kelembagaan ini dilakukan dalam kerangka penciptaan keamanan nasional.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More