Menyigi Peran Pendidikan Islam Menghadapi Krisis Ekologi
Rabu, 12 Januari 2022 - 15:10 WIB
Dalam Sixth Extinction (2014), Elizabeth Kolberg menggambarkan betapa dunia akan menghadapi kepunahan keenam berdasarkan indikasi tingginya pengasaman alami di lepas pantai Italia, nasib mengenaskan karang di Great Barrier Reef, kondisi hutan tropis di Peru dan Indonesia, fragmentasi habitat di lembah Amazon dan sekitarnya, dan dari konsekuensi perpindahan spesies global secara massal dari satu tempat ke tempat lain.
Kegelisahan Kolberg bernada mirip dengan kritik budaya dan lingkungan Timothy Morton dengan pandangannya mengenai hyperobject atau kecanggihan sekaligus kerakusan perkembangan biologi sintetis pada nilai dan eksistensi kemanusiaan dalam investigasi intelektual Craig Venter, serta beragam pandangan serupa lainnya. Di titik ini, kepunahan keenam ala Kolberg dan pandangan senada patut dijadikan renungan dan peringatan bersama.
Sejalan dengan pandangan Kolberg, Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio Guterres bahkan memberikan status “kode merah” kemanusiaan untuk problem lingkungan dan iklim. Dalam kapasitas dan dukungan saintifik pada Guterres serta liputan mendalam Kolberg, keduanya mengafirmasi kondisi lingkungan dan iklim dunia yang sedang tidak baik-baik saja, dengan manusia sebagai penyebabnya.
Kedua, kalangan pendidikan Islam dapat menjadi yang terdepan dalam membangun konsepsi rutinitas dan gaya hidup keummatan yang berkelanjutan. Dalam konsep ekologi sebagai bagian penting ranah sosial, hajat besar merawat bumi dan tantangan iklim harus menjadi kerja bersama. Rutinitas dan gaya hidup yang berkelanjutan dalam beragam praktik keseharian umat Islam, sangat mungkin menjadi daya dorong yang kuat bagi upaya dekarbonisasi sektor primer (Putri Setiani, 2020), dematerialisasi rantai produk, dan lebih mendasar lagi adalah menjadi unsur pemaksa. Jika sudah menjadi kesadaran dan gaya hidup komunitas terbesar, konsep produksi dan produsennya akan mengikuti kemauan entitas terpenting ini.
Dengan idealitas dan harapan demikian, tantangan juga mengiringi. Pendidikan Islam masih disibukkan dengan tahap perkembangan memenuhi sarana prasarana dan pemenuhan indeks baku mutu pada berbagai standarnya. Dalam posisi demikian, fokus untuk menjalankan fungsi mendorong kesadaran umat mengenai krisis lingkungan dan iklim bisa tidak mendapatkan tempat semestinya. Terlebih, secara teknis dan substansi keilmuan, kalangan pendidikan Islam memiliki jarak dengan konsepsi ilmu lingkungan dan iklim.
Namun, kesepakatan dan rancangan saintifik dan kebijakan politik secara global tidak berdiri sendiri sebagai sebuah rancangan perubahan. Islam dengan semangat moderat pada semesta patut diyakini menjadi daya dorong yang kuat menuju perubahan dimaksud. Keyakinan ini perlu secara intensif mendorong keharusan ambisi dan semangat besar penanganan krisis iklim dan investasi ekonomi yang didasari tata nilai yang menekankan kepentingan umat manusia jangka panjang. Kepentingan tersebut terkait erat dengan sikap dan tindakan manusia untuk menjaga harmoni dengan alam dan lingkungan. Di dalamnya, kewajiban untuk merawat planet bumi dalam keseimbangan alam dan kestabilan iklim mutlak dilakukan semua pihak.
Kegelisahan Kolberg bernada mirip dengan kritik budaya dan lingkungan Timothy Morton dengan pandangannya mengenai hyperobject atau kecanggihan sekaligus kerakusan perkembangan biologi sintetis pada nilai dan eksistensi kemanusiaan dalam investigasi intelektual Craig Venter, serta beragam pandangan serupa lainnya. Di titik ini, kepunahan keenam ala Kolberg dan pandangan senada patut dijadikan renungan dan peringatan bersama.
Sejalan dengan pandangan Kolberg, Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio Guterres bahkan memberikan status “kode merah” kemanusiaan untuk problem lingkungan dan iklim. Dalam kapasitas dan dukungan saintifik pada Guterres serta liputan mendalam Kolberg, keduanya mengafirmasi kondisi lingkungan dan iklim dunia yang sedang tidak baik-baik saja, dengan manusia sebagai penyebabnya.
Kedua, kalangan pendidikan Islam dapat menjadi yang terdepan dalam membangun konsepsi rutinitas dan gaya hidup keummatan yang berkelanjutan. Dalam konsep ekologi sebagai bagian penting ranah sosial, hajat besar merawat bumi dan tantangan iklim harus menjadi kerja bersama. Rutinitas dan gaya hidup yang berkelanjutan dalam beragam praktik keseharian umat Islam, sangat mungkin menjadi daya dorong yang kuat bagi upaya dekarbonisasi sektor primer (Putri Setiani, 2020), dematerialisasi rantai produk, dan lebih mendasar lagi adalah menjadi unsur pemaksa. Jika sudah menjadi kesadaran dan gaya hidup komunitas terbesar, konsep produksi dan produsennya akan mengikuti kemauan entitas terpenting ini.
Dengan idealitas dan harapan demikian, tantangan juga mengiringi. Pendidikan Islam masih disibukkan dengan tahap perkembangan memenuhi sarana prasarana dan pemenuhan indeks baku mutu pada berbagai standarnya. Dalam posisi demikian, fokus untuk menjalankan fungsi mendorong kesadaran umat mengenai krisis lingkungan dan iklim bisa tidak mendapatkan tempat semestinya. Terlebih, secara teknis dan substansi keilmuan, kalangan pendidikan Islam memiliki jarak dengan konsepsi ilmu lingkungan dan iklim.
Namun, kesepakatan dan rancangan saintifik dan kebijakan politik secara global tidak berdiri sendiri sebagai sebuah rancangan perubahan. Islam dengan semangat moderat pada semesta patut diyakini menjadi daya dorong yang kuat menuju perubahan dimaksud. Keyakinan ini perlu secara intensif mendorong keharusan ambisi dan semangat besar penanganan krisis iklim dan investasi ekonomi yang didasari tata nilai yang menekankan kepentingan umat manusia jangka panjang. Kepentingan tersebut terkait erat dengan sikap dan tindakan manusia untuk menjaga harmoni dengan alam dan lingkungan. Di dalamnya, kewajiban untuk merawat planet bumi dalam keseimbangan alam dan kestabilan iklim mutlak dilakukan semua pihak.
(bmm)
tulis komentar anda