Dilema Penerapan Pembelajaran Tatap Muka dan Solusinya
Selasa, 11 Januari 2022 - 11:05 WIB
Aspek pengawasan sistem pelaporan oleh aparat dan otoritas ditingkat desa hingga provinsi perlu dipikirkan secara matang, termasuk Sistem pelaporan dan evaluasi impak pembelajaran. Belum lagi apakah pembelajaran ini merupakan satuan utuh atau kombinasi prosentase PTM dan Pembelajaran Tatap Layar atau sistem Daring hingga kombinasi PTM dan PTL (Blended Learning).
Bisa dibayangkan situasi Konfliktual antar empat lembaga yang terkait dalam memutuskan kesepakatan PTM ini. Masing-masing Otoritas Kementerian memiliki basis argumentasi yang terkadang saling bertentangan. Namun harus diwujudkan dalam sebuah keputusan yang baku, komprehensif, aman serta memiliki impak positif berkaitan dengan suasana penanggulangan wabah pandemik Covid-19 yang tak kunjung usai.
Dinamika Tanggapan Masyarakat terhadap Penerapan PTM
Selama ini (seperti pengamatan penulis dan tim CIGO-FIA-UI) banyak orang tua dan juga siswa yang merasa bingung dalam menjalani kegiatan PTL. Apalagi bagi keluarga yang kurang memiliki dukungan fasilitas infrastruktur daring dan kelengkapan kepemilikan gadget serta kurangnya pemahaman teknologi dalam PTL.
Demikian pula bagi keluarga yang berdomisili di daerah pedesaan apalagi yang tinggal desa-desa di kawasan 3 T (Terdepan, Terluar dan Termiskin) selama ini tidak puas membimbing putra putrinya dalam kegiatan PTL atau daring, merasa puas dengan penerapan PTM yang dimulai awal Tahun 2022. Karena banyak orang tua siswa yang gaptek dan tidak memiliki gadget sarana pendukung daring.
Dalam banyak kasus, kelompok siswa di wilayah perkotaan dan pedesaan menganggap bahwa PTM merupakan bentuk ideal pembelajaran karena dapat berinteraksi dengan guru dan teman secara langsung. Kesulitan-kesulitan dalam menangkap pelajaran bisa dapat diketahui dan diselesaikan secara lebih cepat.
Namun, ada cukup banyak kasus, siswa yang sudah terbiasa dengan PTL selama ini, lebih memilih sistem pembelajaran daring atau PTL dan sesekali saja kegiatan PTM. Kegiatan PTL dianggap dapat menghemat waktu, biaya transportasi, hemat pakaian, lebih praktis dan bisa melakukan kegiatan simultan lainnya. Kelompok keluarga yang tidak gaptek pun, banyak yang makin menyukai kegiatan PTL. Apalagi bagi mereka yang sudah melaksanakan home schooling.
Pengalaman penulis sebagai pengajar pada perguruan tinggi, memang kebiasaan mengajar sistem daring lebih menyenangkan dari aspek efisiensi waktu dan dinamika pemanfaatan bahan-bahan ajar dari luar kampus dan dari mancanegara seperti bahan-bahan MOOC (Massive On Line Open Courses) dari kampus-kampus ternama di dunia. Dengan pemanfaatan sistem perkuliahan baik yang synchronous dan unsynchronous maka efektifitas PTL dapat lebih diandalkan.
Kerumitan Tata-kelola Dinamis PTM
Sebelum adanya wabah pandemi Covid-19, banyak pihak yang menganggap bahwa kebijakan PTM merupakan tanggung jawab pihak sekolah. Padahal tokoh pendidikan Taman Siswa Ki Hajar Dewantara, sudah mengingatkan bahwa sistem pendidikan yang ideal harus diselenggarakan di tiga gugus otoritas yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat (Sistem Tripusat Pendidikan).
Bisa dibayangkan situasi Konfliktual antar empat lembaga yang terkait dalam memutuskan kesepakatan PTM ini. Masing-masing Otoritas Kementerian memiliki basis argumentasi yang terkadang saling bertentangan. Namun harus diwujudkan dalam sebuah keputusan yang baku, komprehensif, aman serta memiliki impak positif berkaitan dengan suasana penanggulangan wabah pandemik Covid-19 yang tak kunjung usai.
Dinamika Tanggapan Masyarakat terhadap Penerapan PTM
Selama ini (seperti pengamatan penulis dan tim CIGO-FIA-UI) banyak orang tua dan juga siswa yang merasa bingung dalam menjalani kegiatan PTL. Apalagi bagi keluarga yang kurang memiliki dukungan fasilitas infrastruktur daring dan kelengkapan kepemilikan gadget serta kurangnya pemahaman teknologi dalam PTL.
Demikian pula bagi keluarga yang berdomisili di daerah pedesaan apalagi yang tinggal desa-desa di kawasan 3 T (Terdepan, Terluar dan Termiskin) selama ini tidak puas membimbing putra putrinya dalam kegiatan PTL atau daring, merasa puas dengan penerapan PTM yang dimulai awal Tahun 2022. Karena banyak orang tua siswa yang gaptek dan tidak memiliki gadget sarana pendukung daring.
Dalam banyak kasus, kelompok siswa di wilayah perkotaan dan pedesaan menganggap bahwa PTM merupakan bentuk ideal pembelajaran karena dapat berinteraksi dengan guru dan teman secara langsung. Kesulitan-kesulitan dalam menangkap pelajaran bisa dapat diketahui dan diselesaikan secara lebih cepat.
Namun, ada cukup banyak kasus, siswa yang sudah terbiasa dengan PTL selama ini, lebih memilih sistem pembelajaran daring atau PTL dan sesekali saja kegiatan PTM. Kegiatan PTL dianggap dapat menghemat waktu, biaya transportasi, hemat pakaian, lebih praktis dan bisa melakukan kegiatan simultan lainnya. Kelompok keluarga yang tidak gaptek pun, banyak yang makin menyukai kegiatan PTL. Apalagi bagi mereka yang sudah melaksanakan home schooling.
Pengalaman penulis sebagai pengajar pada perguruan tinggi, memang kebiasaan mengajar sistem daring lebih menyenangkan dari aspek efisiensi waktu dan dinamika pemanfaatan bahan-bahan ajar dari luar kampus dan dari mancanegara seperti bahan-bahan MOOC (Massive On Line Open Courses) dari kampus-kampus ternama di dunia. Dengan pemanfaatan sistem perkuliahan baik yang synchronous dan unsynchronous maka efektifitas PTL dapat lebih diandalkan.
Kerumitan Tata-kelola Dinamis PTM
Sebelum adanya wabah pandemi Covid-19, banyak pihak yang menganggap bahwa kebijakan PTM merupakan tanggung jawab pihak sekolah. Padahal tokoh pendidikan Taman Siswa Ki Hajar Dewantara, sudah mengingatkan bahwa sistem pendidikan yang ideal harus diselenggarakan di tiga gugus otoritas yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat (Sistem Tripusat Pendidikan).
tulis komentar anda