Menimbang Reformasi Konstitusi
Jum'at, 07 Januari 2022 - 11:15 WIB
Sri Soemantri telah mengingatkan perubahan konstitusi harus didahului alasan dan tujuan yang jelas. Menurutnya, untuk melakukan perubahan konstitusi, hal yang mesti diperhatikan adalah alasan objektif serta arah perubahan yang akan dicapai. Tanpa itu, hasilnya bisa “prematur” yang akan memiliki banyak konsekuensi.
Pelajaran berharga dari begawan hukum tersebut patut direvitalisasi sebab pada realitasnya amandemen konstitusi cenderung menegasikan prinsip dan teori perubahan konstitusi. Harus diakui bahwa reformasi konstitusi pada periode 1999—2002 belum tuntas dan menyisakan ruang terbuka untuk perubahan kembali.
Realitas itu kini ada di depan mata begitupun probabilitas momentumnya. Sejumlah fraksi pendukung pemerintah seperti PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, dan PAN cenderung solid akan mendukung perubahan konstitusi.
Tersisa hanya Demokrat dan PKS—oposisi pemerintah—yang hampir pasti menolak ide tersebut. Meskipun demikian, secara kalkulasi politik, peluang untuk amandemen konstitusi masih terbuka lebar.
Momentum Perubahan Konstitusi
Secara normatif aturan mengenai usulan perubahan konstitusi diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Pasal 37 ayat (1) UUD mengatur bahwa “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Aturan itu tidak mengatur perubahan konstitusi harus didasarkan pada suatu momentum konstitusional tertentu.
Sebagian pakar hukum tata negara mengatakan perubahan konstitusi harus dilatarbelakangi adanya keadaan instabilitaspolitik, konteks hak asasi manusia, atau adanya referendum menuntut perubahan konstitusi. Kita tidak menghendaki adanya keadaan tersebut untuk kemudian melakukan perubahan konstitusi.
Perubahan konstitusi dapat terjadi jika mayoritas fraksi di DPR setuju dengan usulan perubahan terhadap UUD 1945. Pasal 37 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya”.
Ketentuan tersebut harus dimaknai bahwa jika terdapat ada beberapa pasal yang akan dilakukan perubahan maka pasal usulan perubahan tersebut harus didasarkan pada argumentasi hukum yang logis dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Itu artinya usulan perubahan konstitusi harus didasarkan pada desain dan arah yang jelas ingin dicapai dari ide perubahan. Selain itu usulan perubahan konstitusi patut didasarkan pada alasan filosofis, teoritis, yuridis, historis, dan politis.
UUD 1945 mengatur hanya mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dapat dilakukan perubahan. Hal tersebut mutlak tidak dapat diubah dan ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945, yang mengatur bahwa “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
Pelajaran berharga dari begawan hukum tersebut patut direvitalisasi sebab pada realitasnya amandemen konstitusi cenderung menegasikan prinsip dan teori perubahan konstitusi. Harus diakui bahwa reformasi konstitusi pada periode 1999—2002 belum tuntas dan menyisakan ruang terbuka untuk perubahan kembali.
Realitas itu kini ada di depan mata begitupun probabilitas momentumnya. Sejumlah fraksi pendukung pemerintah seperti PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, dan PAN cenderung solid akan mendukung perubahan konstitusi.
Tersisa hanya Demokrat dan PKS—oposisi pemerintah—yang hampir pasti menolak ide tersebut. Meskipun demikian, secara kalkulasi politik, peluang untuk amandemen konstitusi masih terbuka lebar.
Momentum Perubahan Konstitusi
Secara normatif aturan mengenai usulan perubahan konstitusi diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Pasal 37 ayat (1) UUD mengatur bahwa “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Aturan itu tidak mengatur perubahan konstitusi harus didasarkan pada suatu momentum konstitusional tertentu.
Sebagian pakar hukum tata negara mengatakan perubahan konstitusi harus dilatarbelakangi adanya keadaan instabilitaspolitik, konteks hak asasi manusia, atau adanya referendum menuntut perubahan konstitusi. Kita tidak menghendaki adanya keadaan tersebut untuk kemudian melakukan perubahan konstitusi.
Perubahan konstitusi dapat terjadi jika mayoritas fraksi di DPR setuju dengan usulan perubahan terhadap UUD 1945. Pasal 37 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya”.
Ketentuan tersebut harus dimaknai bahwa jika terdapat ada beberapa pasal yang akan dilakukan perubahan maka pasal usulan perubahan tersebut harus didasarkan pada argumentasi hukum yang logis dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Itu artinya usulan perubahan konstitusi harus didasarkan pada desain dan arah yang jelas ingin dicapai dari ide perubahan. Selain itu usulan perubahan konstitusi patut didasarkan pada alasan filosofis, teoritis, yuridis, historis, dan politis.
UUD 1945 mengatur hanya mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dapat dilakukan perubahan. Hal tersebut mutlak tidak dapat diubah dan ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945, yang mengatur bahwa “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
tulis komentar anda