Keadilan bagi Peternak Telur
Kamis, 06 Januari 2022 - 07:54 WIB
Kala itu, peternak menjerit karena harga telur dan ayam terjun bebas, sementara harga pakan membubung. Jagung, bahan baku pakan yang biasa diracik sendiri, harganya mencapai Rp6.000 per kg, jauh dari harga acuan Rp4.500 per kg. Presiden menjanjikan solusi, termasuk harga jagung seebsar Rp4.500 per kg.
Jagung merupakan komponen utama dalam industri pakan. Dalam pakan unggas, sekitar 50-55% berasal dari jagung. Di sisi lain, pakan merupakan komponen utama dalam industri perunggasan, mengambil porsi sekitar 70% dari ongkos produksi.
Karena itu, tinggi-rendahnya harga jagung akan menentukan tinggi-rendahnya harga daging dan telur ayam. Ketersediaan jagung yang pasti dengan harga yang terjangkau merupakan pilar penting terciptanya industri perunggasan yang efisien, kompetitif dan berdaya saing.
Seharusnya, setelah pertemuan itu masalah peternak selesai di tangan pembantu Presiden; Menteri Perdagangan M Lutfi dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Tapi itu tak terjadi. Harga telur tersungkur tanpa solusi. Harga jagung bukan hanya tetap tinggi, tapi juga sulit didapat. Peternak merugi karena harga pakan dari pabrikan terus meroket. Harga telur hanya Rp13.500 per kg, sementara biaya produksi Rp21.500 per kg. pada rentang Juli-Oktober 2021 banyak peternak layer atau telur mengafkir dini ayam mereka.
Memasuki November, harga telur membaik dan semakin tinggi pada Desember. Harga telur tertolong oleh permintaan yang naik saat Natal dan Tahun Baru 2022.
Di luar itu, pelonggaran aktivitas membuat berbagai permintaan dari hotel, restoran, katering, warung makan, pabrik, dan aneka aktivitas lainnya mulai menggeliat. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga telur saat ini didorong oleh pasokan yang terbatas akibat afkir dini? Dugaan saya tidak. Karena sejauh ini tak ada laporan kekurangan/kelangkaan telur.
Satu yang pasti, harga biaya produksi telur memang kian mahal. Dengan harga pakan Rp7.000 per kg, biaya pokok produksi telur saat ini mencapai Rp24.500 per kg. Ditambah margin pedagang dan pengangkutan Rp6.800 per kg, harga telur di konsumen akhir berkisar Rp30.000 hingga Rp31.000 per kg.
Harga ini jauh di atas acuan yang diatur di Permendag 7/2020: Rp24.000 per kg. Mengusung alasan heroik, yakni tak ingin membebani konsumen, pemerintah buru-buru menggelar operasi pasar. Harga telur dibanderol Rp25.000 per kg.
Langkah pemerintah yang demikian sigap membela konsumen kembali mengusik rasa keadilan. Pemerintah –sebagai pemegang mandat dari negara—seharusnya bertindak sebagai wasit yang adil. Dalam kasus ternak unggas, keadilan itu miring ke konsumen. Sementara produsen kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan. Jika pemerintah siap menegakkan harga acuan telur di konsumen sebesar Rp24.000 per kg, mengapa sikap serupa tidak muncul kala harga telur tersungkur? Bukankah ada harga acuan pembelian telur di tingkat produsen Rp19.000-Rp21.000 per kg dan harga jagung Rp4.500 per kg?.
Selain bias konsumen, kebijakan pemerintah hari-hari ini kasat mata lebih menguntungkan pelaku usaha besar. Pengusaha minyak goreng, misalnya, dibiarkan melanggar harga acuan berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan.
Jagung merupakan komponen utama dalam industri pakan. Dalam pakan unggas, sekitar 50-55% berasal dari jagung. Di sisi lain, pakan merupakan komponen utama dalam industri perunggasan, mengambil porsi sekitar 70% dari ongkos produksi.
Karena itu, tinggi-rendahnya harga jagung akan menentukan tinggi-rendahnya harga daging dan telur ayam. Ketersediaan jagung yang pasti dengan harga yang terjangkau merupakan pilar penting terciptanya industri perunggasan yang efisien, kompetitif dan berdaya saing.
Seharusnya, setelah pertemuan itu masalah peternak selesai di tangan pembantu Presiden; Menteri Perdagangan M Lutfi dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Tapi itu tak terjadi. Harga telur tersungkur tanpa solusi. Harga jagung bukan hanya tetap tinggi, tapi juga sulit didapat. Peternak merugi karena harga pakan dari pabrikan terus meroket. Harga telur hanya Rp13.500 per kg, sementara biaya produksi Rp21.500 per kg. pada rentang Juli-Oktober 2021 banyak peternak layer atau telur mengafkir dini ayam mereka.
Memasuki November, harga telur membaik dan semakin tinggi pada Desember. Harga telur tertolong oleh permintaan yang naik saat Natal dan Tahun Baru 2022.
Di luar itu, pelonggaran aktivitas membuat berbagai permintaan dari hotel, restoran, katering, warung makan, pabrik, dan aneka aktivitas lainnya mulai menggeliat. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga telur saat ini didorong oleh pasokan yang terbatas akibat afkir dini? Dugaan saya tidak. Karena sejauh ini tak ada laporan kekurangan/kelangkaan telur.
Satu yang pasti, harga biaya produksi telur memang kian mahal. Dengan harga pakan Rp7.000 per kg, biaya pokok produksi telur saat ini mencapai Rp24.500 per kg. Ditambah margin pedagang dan pengangkutan Rp6.800 per kg, harga telur di konsumen akhir berkisar Rp30.000 hingga Rp31.000 per kg.
Harga ini jauh di atas acuan yang diatur di Permendag 7/2020: Rp24.000 per kg. Mengusung alasan heroik, yakni tak ingin membebani konsumen, pemerintah buru-buru menggelar operasi pasar. Harga telur dibanderol Rp25.000 per kg.
Langkah pemerintah yang demikian sigap membela konsumen kembali mengusik rasa keadilan. Pemerintah –sebagai pemegang mandat dari negara—seharusnya bertindak sebagai wasit yang adil. Dalam kasus ternak unggas, keadilan itu miring ke konsumen. Sementara produsen kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan. Jika pemerintah siap menegakkan harga acuan telur di konsumen sebesar Rp24.000 per kg, mengapa sikap serupa tidak muncul kala harga telur tersungkur? Bukankah ada harga acuan pembelian telur di tingkat produsen Rp19.000-Rp21.000 per kg dan harga jagung Rp4.500 per kg?.
Selain bias konsumen, kebijakan pemerintah hari-hari ini kasat mata lebih menguntungkan pelaku usaha besar. Pengusaha minyak goreng, misalnya, dibiarkan melanggar harga acuan berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan.
tulis komentar anda