Pakar Hukum: Permohonan Uji Materi Presidential Threshold 0% Mudah Dipatahkan MK
Jum'at, 31 Desember 2021 - 14:41 WIB
JAKARTA - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai pengajuan permohonan judicial review atau uji materi presidential threshold (PT) 0% ke Mahkamah Konstitusi oleh individu dan sekelompok orang harus dihormati.
“Langkah itu harus dihormati karena berkenaan dengan hak orang,” kata Margarito di Jakarta, Jumat (31/12/2021).
Meski begitu, Margarito menilai permohonan judicial review presidential threshold 0% tersebut cukup rumit baik secara teknis maupun konseptual. “Masalahnya adalah begitu masuk ke Mahkamah Konstitusi maka harus berhadapan dengan masalah teknis maupun konsep,” ujarnya.
Secara konseptual, menurut Margarito, UUD 1945 Pasal 6a ayat (2) menyebutkan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Secara nalar, kata Margarito, parpol yang mempunya legal standing untuk mempersoalkan presidential threshold. Namun, kenyataannya sekarang yang mengajukan adalah individu maupun kelompok. “Saya mengalami kesulitan bagaimana hakim MK menerima gugatan dari perseorangan. Saya tidak tahu bagaimana jalan pikiran hakim, tetapi saya menduga hakim MK akan dengan mudah mengesampingkaan permohonan-permohonan dalam arti tidak diterima,” katanya.
Kalau melihat gejala hari ini, Margarito menduga pemohon akan berhadapan dengan masalah teknis maupun konsep. “Jujur saja saya tidak menemukan penalaran yang cukup logis utnuk menyerupakan manusia dengan parpol. Kalau saja, hakim berada dalam perspektif ini maka mudah saja tidak menerima permohonan tersebut,” ujar Margarito.
Margarito menegaskan persoalan legal standing sangat menentukan permohonan judicial review tersebut. “Jadi saya rasa, teman-teman yang mengajukan judicial review tentang PT 0%, sebaiknya memikirkan alternatif lain untuk mendemokrastisasi proses dalam menemukan capres-cawapres di parpol. Menurut saya, jika secara konsep atau legal standing tidak diterima maka otomatis secara teknis juga sulit,” ucapnya.
Oleh karena itu, Margarito menyarankan agar sebaiknya energi dipakai untuk tujuan memperkuat proses seleksi dan demokrasi di internal parpol. “Sebaiknya kita pakai ketentuan yang sudah ada,” kata Margarito
“Langkah itu harus dihormati karena berkenaan dengan hak orang,” kata Margarito di Jakarta, Jumat (31/12/2021).
Meski begitu, Margarito menilai permohonan judicial review presidential threshold 0% tersebut cukup rumit baik secara teknis maupun konseptual. “Masalahnya adalah begitu masuk ke Mahkamah Konstitusi maka harus berhadapan dengan masalah teknis maupun konsep,” ujarnya.
Secara konseptual, menurut Margarito, UUD 1945 Pasal 6a ayat (2) menyebutkan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Secara nalar, kata Margarito, parpol yang mempunya legal standing untuk mempersoalkan presidential threshold. Namun, kenyataannya sekarang yang mengajukan adalah individu maupun kelompok. “Saya mengalami kesulitan bagaimana hakim MK menerima gugatan dari perseorangan. Saya tidak tahu bagaimana jalan pikiran hakim, tetapi saya menduga hakim MK akan dengan mudah mengesampingkaan permohonan-permohonan dalam arti tidak diterima,” katanya.
Kalau melihat gejala hari ini, Margarito menduga pemohon akan berhadapan dengan masalah teknis maupun konsep. “Jujur saja saya tidak menemukan penalaran yang cukup logis utnuk menyerupakan manusia dengan parpol. Kalau saja, hakim berada dalam perspektif ini maka mudah saja tidak menerima permohonan tersebut,” ujar Margarito.
Margarito menegaskan persoalan legal standing sangat menentukan permohonan judicial review tersebut. “Jadi saya rasa, teman-teman yang mengajukan judicial review tentang PT 0%, sebaiknya memikirkan alternatif lain untuk mendemokrastisasi proses dalam menemukan capres-cawapres di parpol. Menurut saya, jika secara konsep atau legal standing tidak diterima maka otomatis secara teknis juga sulit,” ucapnya.
Oleh karena itu, Margarito menyarankan agar sebaiknya energi dipakai untuk tujuan memperkuat proses seleksi dan demokrasi di internal parpol. “Sebaiknya kita pakai ketentuan yang sudah ada,” kata Margarito
(cip)
tulis komentar anda