Selama 2020, YLBHI Temukan Puluhan Kasus Penodaan Agama
Selasa, 09 Juni 2020 - 14:20 WIB
JAKARTA - Kasus penistaan atau penodaan agama menjadi salah persoalan krusial yang masih rentan terjadi di Indonesia. Berdasarkan pemantauan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) selama Januari-Mei 2020, terdapat puluhan kasus terkait penistaan atau penodaan agama yang terjadi di berbagai daerah.
“Awalnya ada dua kasus terkait Covid-19 yaitu nasi anjing dan pembubaran salat Jumat. Namun setelah ditelusuri, ternyata ada 38 kasus penodaan agama di beberapa daerah,” papar Ketua YLBHI Asfinawati dalam sebuah diskusi daring terkait laporan kasus penodaan agama, Selasa (9/6/2020).
Bila dirinci, terbanyak ada di Sulawesi Selatan dengan jumlah 6 kasus. Kemudian, Jawa Timur dan Maluku Utara masing-masing 5 kasus. Sementara, baik di Jawa Barat maupun Sumatera Utara sebanyak 4 kasus terkait dugaan penodaan agama. “Ini pola yang harus kita cermati. Memang ada beberapa daerah yang dianggap cukup panas terkait keagamaan,” katanya. (Baca juga: Bubarkan Jamaah Salat Jumat dengan Alasan Corona, Camat di Parepare Dipolisikan)
Asfi menjelaskan, penanganan seluruh kasus tersebut sudah masuk ke pengadilan. Sebanyak 28 kasus di antaranya sudah diproses kepolisian. Namun ada 23 kasus dari yang sudah diproses tersebut justru telah terjadi aksi main hakim sendiri atau melibatkan massa. “28 kasus diproses polisi karena dianggap mengancam ketertiban masyarakat. Ada 23 kasus di antaranya melibatkan massa. Jadi sejak 2005, kasus seperti ini selalu melibatkan aksi massa,” imbuh dia.
Berdasarkan analisisnya, ada 8 perkara yang justru dikenakan Pasal 156A KUHP. Sementara, 11 perkara belum ditetapkan pasal yang dikaitkan dengan kasus tersebut. Sisanya dijerat dengan pasal 27 (3) UU ITE. 7 perkara lainnya tidak diproses. (Baca juga: Diduga Menistakan Agama, Youtuber Medan Ditetapkan Tersangka)
Asfi menilai, penggunaan Pasal 156A KUHP tidak memenuhi asas legalitas. Selain itu, dia juga menyoroti tentang penggunaan UU ITE dalam beberapa perkara. Menurut dia, media sosial tidak hanya dijadikan alat untuk mencemarkan atau menghina nama baik, tetapi sudah dipakai sebagai alat untuk kasus penodaan agama.
Dia pun mendesak beberapa norma hukum dianggap pasal karet seperti pasal penodaan agama di KUHP dan UU Ormas serta penistaan agama di ormas yang tidak memenuhi asas legalitas segera dihapus. Termasuk juga menghapus beberapa pasal di UU ITE. (Baca juga: Salat Sambil Joget, Remaja Pangkep Dijerat Pasal Penistaan Agama)
“Menghapus pasal penodaan agama di KUHP, UU Ormas. Kemudian, pasal 27 ayat (3), 28 ayat (3) dan 45A ayat (2) di UU ITE agar tidak multitafsir dan menjadi pasal yang mengkriminalisasikan kebebasan berpendapat, beragama, berkeyakinan, dan hak berekspresi lainnya,” pintanya.
Menurut dia, negara bisa membuat norma hukum lainnya bila bermaksud melindungi orang termasuk umat beragama dari perbuatan permusuhan, kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan atribut lainnya. Misalnya, pasal hate crime, siar kebencian, dan diskriminasi berbasis agama sehingga penegakan hukumnya lebih tepat.
“Awalnya ada dua kasus terkait Covid-19 yaitu nasi anjing dan pembubaran salat Jumat. Namun setelah ditelusuri, ternyata ada 38 kasus penodaan agama di beberapa daerah,” papar Ketua YLBHI Asfinawati dalam sebuah diskusi daring terkait laporan kasus penodaan agama, Selasa (9/6/2020).
Bila dirinci, terbanyak ada di Sulawesi Selatan dengan jumlah 6 kasus. Kemudian, Jawa Timur dan Maluku Utara masing-masing 5 kasus. Sementara, baik di Jawa Barat maupun Sumatera Utara sebanyak 4 kasus terkait dugaan penodaan agama. “Ini pola yang harus kita cermati. Memang ada beberapa daerah yang dianggap cukup panas terkait keagamaan,” katanya. (Baca juga: Bubarkan Jamaah Salat Jumat dengan Alasan Corona, Camat di Parepare Dipolisikan)
Asfi menjelaskan, penanganan seluruh kasus tersebut sudah masuk ke pengadilan. Sebanyak 28 kasus di antaranya sudah diproses kepolisian. Namun ada 23 kasus dari yang sudah diproses tersebut justru telah terjadi aksi main hakim sendiri atau melibatkan massa. “28 kasus diproses polisi karena dianggap mengancam ketertiban masyarakat. Ada 23 kasus di antaranya melibatkan massa. Jadi sejak 2005, kasus seperti ini selalu melibatkan aksi massa,” imbuh dia.
Berdasarkan analisisnya, ada 8 perkara yang justru dikenakan Pasal 156A KUHP. Sementara, 11 perkara belum ditetapkan pasal yang dikaitkan dengan kasus tersebut. Sisanya dijerat dengan pasal 27 (3) UU ITE. 7 perkara lainnya tidak diproses. (Baca juga: Diduga Menistakan Agama, Youtuber Medan Ditetapkan Tersangka)
Asfi menilai, penggunaan Pasal 156A KUHP tidak memenuhi asas legalitas. Selain itu, dia juga menyoroti tentang penggunaan UU ITE dalam beberapa perkara. Menurut dia, media sosial tidak hanya dijadikan alat untuk mencemarkan atau menghina nama baik, tetapi sudah dipakai sebagai alat untuk kasus penodaan agama.
Dia pun mendesak beberapa norma hukum dianggap pasal karet seperti pasal penodaan agama di KUHP dan UU Ormas serta penistaan agama di ormas yang tidak memenuhi asas legalitas segera dihapus. Termasuk juga menghapus beberapa pasal di UU ITE. (Baca juga: Salat Sambil Joget, Remaja Pangkep Dijerat Pasal Penistaan Agama)
“Menghapus pasal penodaan agama di KUHP, UU Ormas. Kemudian, pasal 27 ayat (3), 28 ayat (3) dan 45A ayat (2) di UU ITE agar tidak multitafsir dan menjadi pasal yang mengkriminalisasikan kebebasan berpendapat, beragama, berkeyakinan, dan hak berekspresi lainnya,” pintanya.
Menurut dia, negara bisa membuat norma hukum lainnya bila bermaksud melindungi orang termasuk umat beragama dari perbuatan permusuhan, kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan atribut lainnya. Misalnya, pasal hate crime, siar kebencian, dan diskriminasi berbasis agama sehingga penegakan hukumnya lebih tepat.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda