Digugat Ramai-ramai, Ini 3 Fakta tentang Presidential Threshold
Jum'at, 17 Desember 2021 - 10:37 WIB
JAKARTA - Sejumlah kelompok masyarakat belakangan ramai-ramai menggugat aturan mengenai presidential threshold alias ambang batas pencapresan. Politikus Partai Gerindra Ferry Juliantono hingga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus aturan yang tercantum dalam UU Nomor 17/2017 tentang Pemilu tersebut.
Sejak awal, aturan mengenai presidential threshold telah membelah pendapat masyarakat dalam dua kelompok besar. Para penentangnya menilai presidential threshold menghalangi hak politik warga negara sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Sebaliknya mereka yang mendukung berargumen presidential threshold dibutuhkan untuk menyaring capres sehingga diperoleh yang berkualitas.
Berikut tiga fakta terkait presidential threshold di Indonesia:
1. Berawal dari Amendemen Ketiga UUD 1945
Aturan mengenai presidential threshold bermula sejak amendemen ketiga UUD 1945 pada 2001. Pasal 6, salah satu pasal yang diamandemen mengatur bahwa presiden terpilih harus mendapat dukungan 50% jumlah suara partisipan pemilu dan 20% suara di setiap provinsi dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Berdasarkan hal itu, DPR menyusun aturan baru tentang presidential threshold yang mulai diterapkan pada pemilihan langsung pertama (juga berdasarkan amendemen ketiga) pada 2004
2. Berubah di Setiap Pemilu
Setiap lima tahun, besaran angka presidential threshold selalu menjadi perdebatan sengit di luar dan di dalam parlemen. Pada Pemilu 2004 dan 2009, ambang batas ditetapkan pada angka 15% atau setara 20% perolehan kursi di DPR berdasarkan UU Nomor 23/2003.
Pada 2014 presidential threshold ditetapkan sebesar 20 perolehan kursi di DPR atau 25% perolehan suara nasional pemilihan anggota legislatif. Hal ini diatur dalam UU Nomor 42/2008. Pada Pilpres 2019, berlaku UU Nomor 17/2017 di mana angka presidential threshold ditetapkan sama dengan 2014.
Sejak awal, aturan mengenai presidential threshold telah membelah pendapat masyarakat dalam dua kelompok besar. Para penentangnya menilai presidential threshold menghalangi hak politik warga negara sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Sebaliknya mereka yang mendukung berargumen presidential threshold dibutuhkan untuk menyaring capres sehingga diperoleh yang berkualitas.
Berikut tiga fakta terkait presidential threshold di Indonesia:
1. Berawal dari Amendemen Ketiga UUD 1945
Aturan mengenai presidential threshold bermula sejak amendemen ketiga UUD 1945 pada 2001. Pasal 6, salah satu pasal yang diamandemen mengatur bahwa presiden terpilih harus mendapat dukungan 50% jumlah suara partisipan pemilu dan 20% suara di setiap provinsi dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Berdasarkan hal itu, DPR menyusun aturan baru tentang presidential threshold yang mulai diterapkan pada pemilihan langsung pertama (juga berdasarkan amendemen ketiga) pada 2004
Baca Juga
2. Berubah di Setiap Pemilu
Setiap lima tahun, besaran angka presidential threshold selalu menjadi perdebatan sengit di luar dan di dalam parlemen. Pada Pemilu 2004 dan 2009, ambang batas ditetapkan pada angka 15% atau setara 20% perolehan kursi di DPR berdasarkan UU Nomor 23/2003.
Pada 2014 presidential threshold ditetapkan sebesar 20 perolehan kursi di DPR atau 25% perolehan suara nasional pemilihan anggota legislatif. Hal ini diatur dalam UU Nomor 42/2008. Pada Pilpres 2019, berlaku UU Nomor 17/2017 di mana angka presidential threshold ditetapkan sama dengan 2014.
Lihat Juga :
tulis komentar anda