Polemik NFT dan Seni Kripto: Celah Eksploitasi Hak Cipta Karya Seni Digital
Rabu, 15 Desember 2021 - 10:39 WIB
Seperti contoh kasus seniman asal Indonesia bernama Kendra Ahimsa atau lebih dikenal dengan moniker “Ardneks”. Pada awal tahun 2021, Kendra mendapat laporan tentang plagiarisme yang dilakukan oleh seniman kripto bernama Twisted Vacancy. Selain beberapa elemen yang diambil secara langsung dari ilustrasinya tanpa modifikasi, Kendra merasa sangat dirugikan karena ia merasa Twisted Vacancy merenggut identitas visualnya di dunia seni, terlebih lagi dalam dunia seni kripto yang masih sangat muda. Di sini permasalahan utamanya adalah ketika NFT pada sebuah karya seni dienkripsi dan masuk ke dalam blockchain, maka selamanya akan melekat dan tak bisa dihapus. Berdasarkan hal tersebut, karya orisinal Kendra akan selamanya dianggap palsu karena Twisted Vacancy yang sudah mendaftarkan NFT terlebih dahulu.
Contoh kasus lainnya menimpa Qing Han atau lebih dikenal dengan moniker “Qinni”, seorang seniman asal Kanada yang telah meninggal dunia karena kanker. Pada April 2021, hampir setahun setelah kematiannya, ditemukan bahwa seseorang mencuri identitas Qinni untuk menjual NFT dari karya seninya melalui Twinci, sebuah aplikasi yang memasarkan dirinya sebagai pasar sosial NFT pertama. Melalui Twinci, relatif mudah bagi seseorang untuk membuat NFT. Mereka hanya perlu mengunggah gambar karya seni dan menyebutkan harganya dalam mata uang kripto. Twinci kemudian mencetak token dan barang koleksinya langsung beredar di pasar.
Peningkatan pesat NFT sayangnya disertai oleh kehadiran scammers atau penipu semacam kasus Qinni yang mencoba mengambil keuntungan dari tren jual beli karya seni digital ini. Eksistensi mereka diimbangi juga dengan kurangnya regulasi khusus terkait NFT. Ketika sebuah karya seni menjadi NFT, bagian dari penggunaannya adalah untuk membuktikan keasliannya sendiri, artinya tidak lagi dapat dilindungi oleh hak cipta. Di sini letak kelemahan sistem NFT dan kriptografi yang rawan dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab dan dijadikan celah eksploitasi. Secara teori, NFT merupakan alat untuk memberi seniman kontrol lebih besar atas kreasi mereka, namun telah terjadi banyak kasus NFT justru memudahkan aktor jahat untuk menjual karya seni orang lain.
Saat mempertimbangkan implikasi kekayaan intelektual NFT, penting untuk membedakan antara kepemilikan NFT dan kepemilikan atas kekayaan intelektual yang mendasarinya. Hak yang diberikan oleh penjual NFT bergantung pada hak yang dialihkan melalui lisensi atau penugasan, dan hak ini dapat berbeda di setiap NFT. Contoh nyatanya adalah seseorang dapat membeli klip video atau foto dunk LeBron James dalam bentuk NFT, tetapi hak dasarnya adalah milik NBA. Dalam konteks hak cipta, kepemilikan hak yang mendasari hanya akan dialihkan jika pencipta karya asli secara tegas setuju untuk mengalihkan hak tersebut kepada pemilik NFT.
Perkara hak cipta di dunia seni rupa kontemporer adalah perkara yang kompleks dan lebih berpusat pada aspek hukum ketimbang estetika. Permasalahan ini dapat diatasi dengan sarana perlindungan yang menyeluruh dan terharmonisasi antar negara, baik secara hukum ataupun teknologi. Dalam hal seni kripto dan teknologi NFT, penting bagi dunia internasional untuk mengharmonisasikan sistem hukum terkait NFT guna menghindari terjadinya kasus pelanggaran hak cipta yang tidak dapat ditindaklanjuti seperti kasus Kendra dan Qinni.
Sebagai sebuah teknologi yang baru dan berkembang dengan sangat pesat, antusiasme dari penggunanya perlu ditopang oleh regulasi yang akomodatif sehingga dapat memaksimalkan manfaat teknologi itu tersendiri.
Contoh kasus lainnya menimpa Qing Han atau lebih dikenal dengan moniker “Qinni”, seorang seniman asal Kanada yang telah meninggal dunia karena kanker. Pada April 2021, hampir setahun setelah kematiannya, ditemukan bahwa seseorang mencuri identitas Qinni untuk menjual NFT dari karya seninya melalui Twinci, sebuah aplikasi yang memasarkan dirinya sebagai pasar sosial NFT pertama. Melalui Twinci, relatif mudah bagi seseorang untuk membuat NFT. Mereka hanya perlu mengunggah gambar karya seni dan menyebutkan harganya dalam mata uang kripto. Twinci kemudian mencetak token dan barang koleksinya langsung beredar di pasar.
Peningkatan pesat NFT sayangnya disertai oleh kehadiran scammers atau penipu semacam kasus Qinni yang mencoba mengambil keuntungan dari tren jual beli karya seni digital ini. Eksistensi mereka diimbangi juga dengan kurangnya regulasi khusus terkait NFT. Ketika sebuah karya seni menjadi NFT, bagian dari penggunaannya adalah untuk membuktikan keasliannya sendiri, artinya tidak lagi dapat dilindungi oleh hak cipta. Di sini letak kelemahan sistem NFT dan kriptografi yang rawan dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab dan dijadikan celah eksploitasi. Secara teori, NFT merupakan alat untuk memberi seniman kontrol lebih besar atas kreasi mereka, namun telah terjadi banyak kasus NFT justru memudahkan aktor jahat untuk menjual karya seni orang lain.
Saat mempertimbangkan implikasi kekayaan intelektual NFT, penting untuk membedakan antara kepemilikan NFT dan kepemilikan atas kekayaan intelektual yang mendasarinya. Hak yang diberikan oleh penjual NFT bergantung pada hak yang dialihkan melalui lisensi atau penugasan, dan hak ini dapat berbeda di setiap NFT. Contoh nyatanya adalah seseorang dapat membeli klip video atau foto dunk LeBron James dalam bentuk NFT, tetapi hak dasarnya adalah milik NBA. Dalam konteks hak cipta, kepemilikan hak yang mendasari hanya akan dialihkan jika pencipta karya asli secara tegas setuju untuk mengalihkan hak tersebut kepada pemilik NFT.
Perkara hak cipta di dunia seni rupa kontemporer adalah perkara yang kompleks dan lebih berpusat pada aspek hukum ketimbang estetika. Permasalahan ini dapat diatasi dengan sarana perlindungan yang menyeluruh dan terharmonisasi antar negara, baik secara hukum ataupun teknologi. Dalam hal seni kripto dan teknologi NFT, penting bagi dunia internasional untuk mengharmonisasikan sistem hukum terkait NFT guna menghindari terjadinya kasus pelanggaran hak cipta yang tidak dapat ditindaklanjuti seperti kasus Kendra dan Qinni.
Sebagai sebuah teknologi yang baru dan berkembang dengan sangat pesat, antusiasme dari penggunanya perlu ditopang oleh regulasi yang akomodatif sehingga dapat memaksimalkan manfaat teknologi itu tersendiri.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda