Obesitas Regulasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Selasa, 14 Desember 2021 - 15:03 WIB
Romli Atmasasmita (Ist)
ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran

PADA 10 Desember 2021, Hari Anti Korupsi sedunia diperingati dengan

meriah di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian meriahnya perayaan tidak sebanding dengan kenyataan yang tengah dialami dalam praktik memerangi korupsi. Diakui, memang terjadi keberhasilan dari sisi kuantitas perkara tindak pidana korupsi (tipikor) dengan jumlah koruptor yang semakin meningkat. Pada 2020, mencapai 340 (tiga ratus empat puluh) penyelenggara negara yang terjerat, mereka berasal dari pusat dan daerah.

Namun, di tengah-tengah keberhasilan tersebut, terdapat keganjilan perilaku aparat penegak hukum (APH), khusus penyidik dan penuntut yang masih belum memahami asas praduga tak bersalah. Sebagai contoh, pemberitaan kepada pers dan masyarakat terkait seseorang yang masih dalam status tersangka, seolah yang bersangkutan sudah dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.



Begitu juga hakim yang masih belum memahami asas hukum ultimun remedium dalam penerapan hukum atas suatu peristiwa diduga perkara pidana padahal objek pokok perkara adalah perkara perdata atau pelanggaran yang bersifat administrasi. Misalnya, terkait undang-undang (UU) sektoral dan UU ASN atau UU Korporasi dan Ketentuan KUHPdt. Sejak di Fakultas Hukum telah diajarkan pembedaan kelompok hukum pidana dan hukum lainnya, misalnya hukum perdata dan hukum administrasi pemerintahan, begitu juga dengan hukum keuangan negara. Keadaan perlintasan hukum yang menganut hukum sektoral (yang bersifat administratif), hukum pidana dan hukum keuangan negara, serta hukum perseroan terbatas, ditemukan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi (UU PK). UU PK berbeda dengan UU lain pada umumnya yang bersifat one single regulation, seperti terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PK, yang memiliki 6 (enam ) aspek hukum di dalamnya, yaitu aspek hukum administrasi pemerintahan, 3 (tiga) kelompok undang-undang tentang keuangan negara, hukum korporasi dan hukum pidana.

Dalam keadaan multiaspek di mana peraturan tersebut tanpa petunjuk normatif, bagaimana penerapan hukum yang seharusnya dilakukan, menimbulkan kesimpang-siuran tafsir hukum dalam penerapannya, termasuk domain hukum yang mana yang harus didahulukan penerapannya.

Perdebatan di antara pakar dari keenam aspek hukum tersebut tidak menggoyahkan pendirian hakim pengadilan tipikor. Pertimbangannya adalah bahwa keterangan ahli dalam sidang pengadilan hanya merupakan keterangan saja, dan diakui hakim jika hakim menilai keterangan ahli memberikan kontribusi kepada keyakinannya dalam mempertimbangkan untuk memutus perkara yang dihadapinya.

Bahkan ada hakim yang berpendapat bahwa perkara yang sudah dilimpahkan ke pengadilan adalah domain keyakinan hakim, bukan para pihak lainnya yakni jaksa atau penasihat hukum (PH).
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More