Pakar Hukum: Pemerintah dan DPR Sulit Perbaiki UU Ciptaker Dalam Waktu 2 Tahun
Sabtu, 04 Desember 2021 - 15:40 WIB
Namun, kata Fahri, berdasarkan putusan MK tersebut, ternyata proses pembahasan UU Cipta Kerja bermasalah karena dari 5 tahapan proses itu, 4 tahapan proses terkonfirmasi cacat prosedur. Dalam verifikasi tersebut, Mahkamah menggunakan parameter syarat penilaian pengujian formil sebagaimana termaktub dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019, yaitu:
Pertama, pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu UU menjadi UU; Kedua, pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang; Ketiga, pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU; Keempat, pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, dan semua tahapan dan standar yang di operasikan oleh Mahkamah, digunakan untuk menilai keabsahan formalitas pembentukan UU yang dikaitkan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah menilai tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif.
”Dalam hal ini, jika minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah UU dapat dikualifikasikan cacat formil dalam pembentukannya, dan UU Cipta Kerja ini termasuk dalam kategori cacat formil tersebut, sebab pertanyaan hipotetis pemohon adalah apakah pembentukan UU 11/2020 dengan metode Omnibus Law telah menimbulkan ketidakjelasan rumusan, yaitu apakah UU 11/2020 tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan sehingga bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang- undangan yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?,” tukas Fahri.
Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan terlepas dari definisi Omnibus Law tersebut, Fahri menyampaikan, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan teknik atau metode apa pun yang akan digunakan oleh pembentuk UU dalam upaya melakukan penyederhanaan UU, menghilangkan berbagai tumpang tindih UU, atau pun mempercepat proses pembentukan UU, bukanlah persoalan konstitusionalitas sepanjang pilihan atas metode tersebut dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar serta dituangkan terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik atau metode tersebut.
“Diperlukannya tata cara yang jelas dan baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya merupakan amanat konstitusi dalam mengatur rancang bangun pembentukan UU. Artinya, metode ini tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” jelas Fahri.
Mahkamah, menurut Fahri, menegaskan oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan UU; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Dengan demikian, MK memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan UU dengan menggunakan metode Omnibus Law yang mempunyai sifat kekhususan berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk, sehingga MK secara imperatif mewajibkan agar UU Cipta Kerja segera dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta dapat mengakomodir asas-asas pembentukan UU, sebagaimana amanat UU 12/2011.
“Khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan dengan menyertakan partisipasi publik secara maksimal dan lebih substansial, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi sesuai norma konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD NRI tahun 1945,” kata Fahri.
Pertama, pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu UU menjadi UU; Kedua, pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang; Ketiga, pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan UU; Keempat, pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil, dan semua tahapan dan standar yang di operasikan oleh Mahkamah, digunakan untuk menilai keabsahan formalitas pembentukan UU yang dikaitkan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah menilai tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif.
”Dalam hal ini, jika minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah UU dapat dikualifikasikan cacat formil dalam pembentukannya, dan UU Cipta Kerja ini termasuk dalam kategori cacat formil tersebut, sebab pertanyaan hipotetis pemohon adalah apakah pembentukan UU 11/2020 dengan metode Omnibus Law telah menimbulkan ketidakjelasan rumusan, yaitu apakah UU 11/2020 tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan sehingga bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang- undangan yang telah ditentukan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?,” tukas Fahri.
Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menegaskan terlepas dari definisi Omnibus Law tersebut, Fahri menyampaikan, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan teknik atau metode apa pun yang akan digunakan oleh pembentuk UU dalam upaya melakukan penyederhanaan UU, menghilangkan berbagai tumpang tindih UU, atau pun mempercepat proses pembentukan UU, bukanlah persoalan konstitusionalitas sepanjang pilihan atas metode tersebut dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar serta dituangkan terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi pedoman bagi pembentukan UU yang akan menggunakan teknik atau metode tersebut.
“Diperlukannya tata cara yang jelas dan baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya merupakan amanat konstitusi dalam mengatur rancang bangun pembentukan UU. Artinya, metode ini tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” jelas Fahri.
Mahkamah, menurut Fahri, menegaskan oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan UU; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Dengan demikian, MK memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan UU dengan menggunakan metode Omnibus Law yang mempunyai sifat kekhususan berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk, sehingga MK secara imperatif mewajibkan agar UU Cipta Kerja segera dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta dapat mengakomodir asas-asas pembentukan UU, sebagaimana amanat UU 12/2011.
“Khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan dengan menyertakan partisipasi publik secara maksimal dan lebih substansial, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi sesuai norma konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD NRI tahun 1945,” kata Fahri.
(cip)
tulis komentar anda