Ketua DPD RI Sebut Ada Kelakar Wajah Legislasi Nasional Ditentukan 9 Ketum Parpol
Kamis, 25 November 2021 - 15:43 WIB
Ketiga, legitimasi partai politik dan pemilu. Karena melalui pemilu yang legitimate partai politik dianggap sebagai institusi demokrasi yang penting dan dibutuhkan. Keempat, sumber daya partai politik telah mencukupi, baik secara materi maupun sumber daya manusianya.
Kepemimpinan partai tidak dibayangi oleh kepentingan pemimpin secara individu dan proses kelembagaan berlangsung dengan baik. Terakhir, demokrasi internal di tubuh partai serta platform ideologi partai yang jelas.
"Terus terang, fakta yang terjadi di dalam internal partai politik di Indonesia lebih banyak terjebak dalam bentuk oligarki dalam proses pengambilan keputusan strategis. Kecenderungan selama ini menunjukkan pengambilan keputusan partai politik bersifat tertutup dan hanya ditentukan oleh sekelompok kecil elit partai," ulas LaNyalla.
Keputusan tertinggi biasanya berada pada seseorang atau sekelompok kecil elite partai saja. Persoalan mekanisme internal dalam pembuatan keputusan dicirikan dengan sentralisasi dalam pengambilan keputusan.
Peran pengurus pusat masih dominan dan terkadang berbeda dengan aspirasi daerah, terutama terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi partai, seperti fungsi rekrutmen politik, komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi penyelesaian konflik internal.
"Bukan rahasia lagi bila para anggota DPR harus belok kanan atau belok kiri berdasarkan perintah fraksi yang merupakan kepanjangan tangan partai politik, di mana keputusan itu lebih banyak ditentukan ketua umum atau elit pengurus di tingkat pusat. Ini yang terjadi, sehingga publik merasa tidak punya harapan yang kuat kepada para Legislator di Gedung DPR RI," tegas LaNyalla.
LaNyalla ingin kita semua belajar dari kasus Korea Selatan dan Korea Utara. Dari sisi geografis, dua negara itu banyak memiliki kesamaan. SDA yang dimiliki pun tidak jauh berbeda. "Perbedaan yang mencolok di antara dua negara itu adalah kesejahteraan rakyatnya," tutur LaNyalla.
Korsel merupakan salah satu negara maju dan kaya raya, sementara Korut adalah negara miskin. Rakyatnya masih membutuhkan bantuan internasional untuk mendapatkan makanan. "Perbedaan dalam hal kemakmuran itu terjadi karena institusi politik dan ekonomi di Korsel jauh lebih baik dibandingkan Korut. Korsel tak hanya menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis, tetapi juga sistem demokrasi secara substansial, bukan prosedural," ujarnya.
Kebebasan dan penegakan hukum berjalan seimbang, sehingga institusi politik dan ekonomi dibangun untuk menyejahterakan rakyat. Sementara di Korut, institusi politik dan ekonomi dikuasai sepenuhnya oleh segelintir penguasa atau oligarki. Mereka bekerja untuk kepentingan pribadi dan golongan, bukan untuk rakyat.
Indonesia, kata LaNyalla, perlu berkaca dari Korsel dan negara-negara demokrasi lain yang membangun institusi politik dan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan.
Kepemimpinan partai tidak dibayangi oleh kepentingan pemimpin secara individu dan proses kelembagaan berlangsung dengan baik. Terakhir, demokrasi internal di tubuh partai serta platform ideologi partai yang jelas.
"Terus terang, fakta yang terjadi di dalam internal partai politik di Indonesia lebih banyak terjebak dalam bentuk oligarki dalam proses pengambilan keputusan strategis. Kecenderungan selama ini menunjukkan pengambilan keputusan partai politik bersifat tertutup dan hanya ditentukan oleh sekelompok kecil elit partai," ulas LaNyalla.
Keputusan tertinggi biasanya berada pada seseorang atau sekelompok kecil elite partai saja. Persoalan mekanisme internal dalam pembuatan keputusan dicirikan dengan sentralisasi dalam pengambilan keputusan.
Peran pengurus pusat masih dominan dan terkadang berbeda dengan aspirasi daerah, terutama terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi partai, seperti fungsi rekrutmen politik, komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi penyelesaian konflik internal.
"Bukan rahasia lagi bila para anggota DPR harus belok kanan atau belok kiri berdasarkan perintah fraksi yang merupakan kepanjangan tangan partai politik, di mana keputusan itu lebih banyak ditentukan ketua umum atau elit pengurus di tingkat pusat. Ini yang terjadi, sehingga publik merasa tidak punya harapan yang kuat kepada para Legislator di Gedung DPR RI," tegas LaNyalla.
LaNyalla ingin kita semua belajar dari kasus Korea Selatan dan Korea Utara. Dari sisi geografis, dua negara itu banyak memiliki kesamaan. SDA yang dimiliki pun tidak jauh berbeda. "Perbedaan yang mencolok di antara dua negara itu adalah kesejahteraan rakyatnya," tutur LaNyalla.
Korsel merupakan salah satu negara maju dan kaya raya, sementara Korut adalah negara miskin. Rakyatnya masih membutuhkan bantuan internasional untuk mendapatkan makanan. "Perbedaan dalam hal kemakmuran itu terjadi karena institusi politik dan ekonomi di Korsel jauh lebih baik dibandingkan Korut. Korsel tak hanya menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis, tetapi juga sistem demokrasi secara substansial, bukan prosedural," ujarnya.
Kebebasan dan penegakan hukum berjalan seimbang, sehingga institusi politik dan ekonomi dibangun untuk menyejahterakan rakyat. Sementara di Korut, institusi politik dan ekonomi dikuasai sepenuhnya oleh segelintir penguasa atau oligarki. Mereka bekerja untuk kepentingan pribadi dan golongan, bukan untuk rakyat.
Indonesia, kata LaNyalla, perlu berkaca dari Korsel dan negara-negara demokrasi lain yang membangun institusi politik dan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan.
tulis komentar anda