Dilematik Ekonomi dan Terdesaknya Lingkungan
Selasa, 09 November 2021 - 15:22 WIB
Prof Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
DALAM 1 minggu terakhir, kita melihat ujian demi ujian tiada henti menerpa bangsa kita. Belum usai pandemi melanda, bencana alam banjir dan tanah longsor melanda di sejumlah wilayah bumi pertiwi. Kota Batu, Jawa Timur, merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang diterjang banjir bandang dalam beberapa hari silam. Curah hujan yang tinggi diiringi dengan kerusakan lingkungan adalah pemicu bencana alam banjir menerpa. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas menyebutkan bahwa banjir bandang yang terjadi di Kota Batu terjadi tak lain akibat daerah resapan air di hulu aliran telah mengalami kerusakan. Hal tersebut yang menyebabkan banjir melanda disertai material lumpur, batu dan kayu. Curah hujan yang cukup tinggi kian diperparah dengan kondisi tangkapan air yang tak dapat berfungsi dengan baik telah menyebabkan banyak terjadinya erosi tanah dan batu.
Sebagai manusia, sepatutnya kita dapat belajar dan mengambil banyak hikmah dibalik setiap peristiwa bencana alam yang terjadi. Semesta yang kita diami ini bersifat dinamis dan terus berubah sepanjang waktu. Seperti halnya alam semesta, kondisi bumi juga mengalami perubahan. Perubahan kondisi bumi dapat terjadi karena dua faktor, yaitu faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Kerusakan alam lebih banyak dipengaruhi oleh campur tangan manusia dibandingkan faktor peristiwa alam serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan. Kerusakan lingkungan alam di Indonesia kian lama semakin parah setiap waktunya. Kota Batu, sebagai salah satu daerah yang didominasi kawasan dataran tinggi dan perbukitan yang berlembah-lembah yang terletak di lereng dua pegunungan besar yang sejatinya memiliki resapan air yang baik, namun semakin lama wilayah tersebut kian mengalami degradasi lingkungan, terdesak akan kebutuhan perumahan, atau semakin cepatnya proses pengalihan fungsi lahan.
Ekonomi dan Lingkungan
Pergeseran komposisi dari pertanian ke produksi industri (industrialisasi) merupakan penentu utama perubahan kualitas lingkungan sebagai konsekuensi dari pembangunan ekonomi (Cherniwchan, 2012). Tak sedikit hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan pencemaran lingkungan. Bahkan, fenomena tersebut umumnya terjadi di negara berkembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pesat di Cina berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di negara tersebut akibat buruknya penegakan hukum dan undang-undang lingkungan di Cina (Chen et al., 2015).
Sebagai negara yang masuk dalam sepuluh besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, ironisnya Indonesia memiliki sepuluh permasalahan lingkungan yang krusial, di antaranya permasalahan sampah, banjir, pencemaran sungai, rusaknya ekosistem laut, pemanasan global, pencemaran udara, sulitnya air bersih, kerusakan hutan, abrasi dan pencemaran tanah.
Pesatnya perkembangan industri yang ada di Indonesia memberikan kontribusi besar kepada perubahan iklim, berupa pencemaran udara, air, tanah oleh emisi gas rumah kaca serta gas polutan karbon dioksida (CO2) yang saat ini juga menjadi isu penting dalam lingkup global. Pengolahan limbah dari kegiatan industri yang tidak tepat menyebabkan pencemaran lingkungan. Data menunjukkan bahwa terdapat 52 sungai strategis di Indonesia dalam kondisi tercemar, diantaranya Sungai Citarum di Jawa Barat dan Sungai Ciliwung di DKI Jakarta versi World Wide Fund for Nature (WWF) tahun 2019.
Selain itu, data World Health Organization (WHO) di tahun 2017 juga menunjukkan bahwa Kota Jakarta dan Bandung masuk dalam daftar 10 besar kota dengan pencemaran udara terburuk di Asia Tenggara. Tingkat polusi udara Jakarta sangat mengkhawatirkan yaitu berada pada level 4,5 kali dari ambang batas yang ditetapkan WHO, dan tiga kali lebih besar dari standar yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Sedangkan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total luas hutan Indonesia saat ini mencapai 124 juta hektar. Sejak 2010 sampai 2017, Indonesia kehilangan luas hutannya hingga lebih dari 684.000 hektar per tahunnya.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
DALAM 1 minggu terakhir, kita melihat ujian demi ujian tiada henti menerpa bangsa kita. Belum usai pandemi melanda, bencana alam banjir dan tanah longsor melanda di sejumlah wilayah bumi pertiwi. Kota Batu, Jawa Timur, merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang diterjang banjir bandang dalam beberapa hari silam. Curah hujan yang tinggi diiringi dengan kerusakan lingkungan adalah pemicu bencana alam banjir menerpa. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas menyebutkan bahwa banjir bandang yang terjadi di Kota Batu terjadi tak lain akibat daerah resapan air di hulu aliran telah mengalami kerusakan. Hal tersebut yang menyebabkan banjir melanda disertai material lumpur, batu dan kayu. Curah hujan yang cukup tinggi kian diperparah dengan kondisi tangkapan air yang tak dapat berfungsi dengan baik telah menyebabkan banyak terjadinya erosi tanah dan batu.
Sebagai manusia, sepatutnya kita dapat belajar dan mengambil banyak hikmah dibalik setiap peristiwa bencana alam yang terjadi. Semesta yang kita diami ini bersifat dinamis dan terus berubah sepanjang waktu. Seperti halnya alam semesta, kondisi bumi juga mengalami perubahan. Perubahan kondisi bumi dapat terjadi karena dua faktor, yaitu faktor alami dan faktor campur tangan manusia. Kerusakan alam lebih banyak dipengaruhi oleh campur tangan manusia dibandingkan faktor peristiwa alam serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan. Kerusakan lingkungan alam di Indonesia kian lama semakin parah setiap waktunya. Kota Batu, sebagai salah satu daerah yang didominasi kawasan dataran tinggi dan perbukitan yang berlembah-lembah yang terletak di lereng dua pegunungan besar yang sejatinya memiliki resapan air yang baik, namun semakin lama wilayah tersebut kian mengalami degradasi lingkungan, terdesak akan kebutuhan perumahan, atau semakin cepatnya proses pengalihan fungsi lahan.
Ekonomi dan Lingkungan
Pergeseran komposisi dari pertanian ke produksi industri (industrialisasi) merupakan penentu utama perubahan kualitas lingkungan sebagai konsekuensi dari pembangunan ekonomi (Cherniwchan, 2012). Tak sedikit hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan pencemaran lingkungan. Bahkan, fenomena tersebut umumnya terjadi di negara berkembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pesat di Cina berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang terjadi di negara tersebut akibat buruknya penegakan hukum dan undang-undang lingkungan di Cina (Chen et al., 2015).
Sebagai negara yang masuk dalam sepuluh besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, ironisnya Indonesia memiliki sepuluh permasalahan lingkungan yang krusial, di antaranya permasalahan sampah, banjir, pencemaran sungai, rusaknya ekosistem laut, pemanasan global, pencemaran udara, sulitnya air bersih, kerusakan hutan, abrasi dan pencemaran tanah.
Pesatnya perkembangan industri yang ada di Indonesia memberikan kontribusi besar kepada perubahan iklim, berupa pencemaran udara, air, tanah oleh emisi gas rumah kaca serta gas polutan karbon dioksida (CO2) yang saat ini juga menjadi isu penting dalam lingkup global. Pengolahan limbah dari kegiatan industri yang tidak tepat menyebabkan pencemaran lingkungan. Data menunjukkan bahwa terdapat 52 sungai strategis di Indonesia dalam kondisi tercemar, diantaranya Sungai Citarum di Jawa Barat dan Sungai Ciliwung di DKI Jakarta versi World Wide Fund for Nature (WWF) tahun 2019.
Selain itu, data World Health Organization (WHO) di tahun 2017 juga menunjukkan bahwa Kota Jakarta dan Bandung masuk dalam daftar 10 besar kota dengan pencemaran udara terburuk di Asia Tenggara. Tingkat polusi udara Jakarta sangat mengkhawatirkan yaitu berada pada level 4,5 kali dari ambang batas yang ditetapkan WHO, dan tiga kali lebih besar dari standar yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Sedangkan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total luas hutan Indonesia saat ini mencapai 124 juta hektar. Sejak 2010 sampai 2017, Indonesia kehilangan luas hutannya hingga lebih dari 684.000 hektar per tahunnya.
tulis komentar anda