Bawaslu dan Dua Mahkota Yang Melekat

Sabtu, 06 November 2021 - 17:06 WIB
Abdul Ghoffar Peneliti Mahkamah Konstitusi dan Sekretaris PP-ISNU. Foto/Ist
Abdul Ghoffar

Peneliti Mahkamah Konstitusi dan Sekretaris Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP-ISNU)

DALAM sebuah negara demokrasi, pemilihan umum (Pemilu) adalah kunci. Tidak ada demokrasi tanpa pemilihan umum. Karenanya, apabila terdapat kecurangan dalam proses Pemilu, maka bisa dipastikan demokrasi di negara tersebut juga akan rusak (Chanchai C. 2015). Untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil, selain dibutuhkan lembaga penyelenggara Pemilu yang kuat, juga dibutuhkan lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaran Pemilu tersebut.

Dalam catatan sejarah di Indonesia, perjuangan untuk membentuk lembaga pengawasan yang netral dan independen tidak lah muda. Pada era orde lama, tepatnya pada Pemilu tahun 1995, belum ada lembaga yang diberikan kewenangan terkait itu. Hal serupa juga terjadi pada awal era orde baru. Pada Pemilu tahun 1971 dan 1977 belum ada instrumen pengawasan Pemilu. Instrumen tersebut baru muncul pada Pemilu tahun 1982 untuk merespon tuntutan berbagai elemen masyarakat yang menginginkan adanya lembaga yang diberi kewenangan untuk mengawasi Pemilu.Lembaga tersebut dikenal dengan sebutan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu, yang biasa disingkat menjadi Panwaslak.



Meski telah dibentuk lembaga pengawasan, namun rupanya lembaga ini tidak bisa bekerja secara optimal. Pemerintah saat itu sengaja menjadikan lembaga ini tidak lebih dari “macan kertas.” Hal ini bisa dilihat dari komposisi Panwaslak yang diketuai oleh Jaksa Agung (bagian dari pemerintah), dan 5 orang Wakil Ketua merangkap anggota yang diambil dari unsur Departemen Dalam Negeri, ABRI, Golkar, PDI, dan PPP. Dari komposisi seperti ini, maka sulit untuk menyatakan bahwa lembaga ini adalah independent dan netral. Selain itu, panwaslu juga bertanggung-jawab kepada Lembaga Pemilihan Umum (Surbakti & Fitrianto, 2015).

Dalam perkembangan selanjutnya, dengan bergulirnya era reformasi, lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengawasi pemilu juga berubah. Selain nama, komposisi keanggotan lembaga juga lebih independent. Kalau pada era orde baru, komposisi keanggotannya lebih banyak diisi oleh unsur pemerintah, maka pada era reformasi, keanggotaannya diisi dari unsur yudikatif, perguruan tinggi, dan masyarakat. Praktis tidak ada sama sekali unsur dari pemerintah. Namanya pun berubah menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum, yang biasa disingkat menjadi Panwaslu. Lembaga ini memiliki kewenangan yang cukup besar yaitu mengawasi setiap tahapan Pemilu; menyelesaikan sengketa dan perselisihan Pemilu; dan menyampaikan rekomendasi kepada instansi penegak hukum terkait sengketa yang tidak bisa diselesaikan oleh Panwaslu.

Secara kelembagaan, meski keanggotanya sudah cukup independen, namun secara struktur organisasi, lembaga ini masih di bawah sub-ordinat KPU. Kondisi demikian tentunya membuat gerak dan langka Panwaslu kurang bisa maksimal. Menyikapi kondisi demikian, pada tahun 2007 dilakukan penguatan terhadap Panwaslu melalui UU No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum dengan menjadikan Panwaslu menjadi lembaga permanen dan namanya pun berubah menjadi Badan Pengawas Pemilihan umum (Bawaslu).

Tidak berhenti di situ, lembaga ini terus bermetamorfosis menjadi lembaga yang memiliki kewenangan sangat besar, khususnya setelah diundangkannya UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum(UU Pemilu). UU tersebut sejatinya “mengakomodir” tiga UU sekaligus, yaitu UU No. 15 tahun 2011 tentang Pemilihan Umum, UU No. 4 tahun 2008 tentang pemilihan Presiden, dan UU No. 8 tahun 2012 tentang pemilihan anggota legislatif. Melalui Pasal 93 sampai dengan Pasal 97, UU Pemilu secara gamblang menjelaskan tugas, wewenang, dan kewajiban Bawaslu, yang mau tidak mau menempatkan lembaga ini memainkan dua fungsi yang berbeda, yaitu sebagai fungsi pengawas, dan sekaligus menjalankan fungsi pengadil (ajudikasi).

Keberadaan dua fungsi ini rupanya menimbulkan perdebatan dikalangan masyarakat pemerhati Pemilu. Persoalan yang dipertanyakan adalah ketidaklaziman peran pengawasan dan peran pengadil dipegang oleh satu lembaga. Ibaratnya seperti peran jaksa dan peran hakim berada di satu lembaga, yang tentunya sangat berpotensi menimbulkan conflict of Interest.

Keberatan tersebut tidak sepenuhnya benar. Pada Pemilu 2019 lalu, kemampuan Bawaslu untuk menjalankan dua fungsi “mahkotanya”telah teruji. Penilaian tersebut setidaknya berdasarkan survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada kisaran Oktober 2019 yang menyatakan sebanyak 79% responden menyatakan yakin dengan kinerja Bawaslu dalam mengawasi Pileg, dan 78% menyatakan yakin terhahap kinerja Bawaslu dalam mengawasi Pilpres.

Begitu pula pada saat dilakukan pemilihan kepala daerah pada tahun 2020 lalu. Secara umum, Bawaslu tampil dengan cukup apik menjalankan dua fungsi yang diberikan oleh UU Pemilu. Dalam Pilkada kala itu, Bawaslu telah banyak mengeluarkan saran, rekomendasi, bahkan diskualifikasi calon di beberapa daerah, seperti Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Kutai Kertanegara, dan di beberapa daerah lainnya.

Meski demikian, Pemilu tahun 2024 yang akan datang berbeda dengan Pemilu pada tahun 2019. Pada tahun 2024, rencananya akan diselenggarakan Pemilu “super serentak”untuk memilih anggota legislatif (Pileg), Presiden-Wakil Presiden (Pilpres), dan kepala daerah (Pilkada) secara maraton. Bawaslu harus lebih menyiapkan diri dalam menjalankan dua mahkota yang melekat tersebut agar kinerja baik yang telah dilakukan saat ini dapat terus terjaga.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More