Arah Politik Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Haruskah Diubah?

Sabtu, 06 November 2021 - 08:01 WIB
Dalam konteks ini, penegakan hukum yang bersifat retributive dan kontraproduktif harus ditinggalkan karena hukum dan penegakan hukum selain harus memenuhi tujuan kepastian, juga keadilan dan terlebih kemanfaatan yang dapat dipetik daripadanya. Selama ini penegakan hukum selalu mempertimbangkan kepastian dan keadilan yang selalu dipertentangkan dan tujuan kemanfaatan diabaikan; sedangkan tujuan nyata yang diharapkan masyarakat adalah perlindungan masyarakat dan manfaat keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Untuk mengetahui aspek kemanfaatan diperlukan pendekatan efisiensi, maksimisasi dan keseimbangan dalam penegakan hukum dan dampaknya di masa depan. Melihat fakta terjadi hunian lapas yang mengalami over kapasitas mencapai 200 % di sebagaian besar lapas, tentu semakin terbukti bahwa memenjarakan setiap orang yang terlibat tindak pidana termasuk tindak pidana tipikor yang dianggap satu-satunya solusi mengatasi korupsi, tidaklah selalu berakhir keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Fakta yang terjadi sebagaimana diuraikan di atas membuktikan bahwa sudah saatnya kiranya jika diperlukan perubahan politik hukum pada umumnya khususnya pemberantasan korupsi di negeri ini apalagi jika dibandingkan dengan di beberapa negara maju telah tertinggal jauh baik dari aspek filosofi, tujuan dan misi yang seharusnya diemban negara demi satu-satunya tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan sosial untuk 270 juta penduduk. Contoh, perbandingan dalam hal ini adalah kasus suap yang melibatkan Dirut PT Garuda akhir-akhir ini.

Pemberi suap adalah pabrikan pesawat asing (AS, Inggris, dan Perancis) tidak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, sedangkan tersangka pemberi suap korporasi dari ketiga negara tersebut telah diberikan proteksi oleh Kejaksaan Agung AS, Perancis, dan Inggris dengan syarat yang sangat ketat dan kewajiban membayar denda sebesar 23.6 juta Euro. Kebijakan penegakan hukum terhadap korporasi yang terbukti terlibat tindak pidana suap di tiga negara tersebut disebut Deferred Prosecution Agreement (DPA).

Instruksi Presiden Joko Widodo kepada petinggi hukum agar dilakukan pendampingan atas proyek infrastruktur yang vital dan strategis adalah bertujuan agar tidak lagi terjadi “membunuh tikus dengan membakar lumbungnya” atau dikenal dengan asas subsidiaritas (J.Remmelink). Hal yang sama juga kiranya dapat dilakukan dalam bidang perekonomian sebagaimana diperintahkan UU CK.

Namun demikian cara pendampingan terkait proyek implementasi UU CK di kementerian teknis memerlukan badan khusus yang berfungsi sebagai filter antara kepentingan bisnis berbasis risiko dan kepentingan penegakan hukum. Dalam konteks pembentukan badan tersebut diperlukan terlebih perubahan arah politik hukum dalam pemberantasan suap/korupsi yang jelas dapat dibedakan metode dan tata cara penyelesaian pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana khususnya dalam tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi.

Selama ini dalam praktik, arah politik hukum dalam pemberantasan korupsi secara filosofis berlandaskan pendekatan retributive yang bertujuan pemenjaraan dan pertobatan (kantianisme) yang telah terbukti dalam kenyataan lebih banyak mudarat dari kemaslahatannya; pertobatan tidak terjadi, tetapi biaya negara yang dikeluarkan lebih tinggi daripada pemasukan keuangan negara yang dapat dikembalikan, dan juga masih jauh dari kemanfaatannya. Dalam kaitan pembentukan badan baru sebagaimana disebutkan di atas, maka pendekatan restorative dengan metode berbasis pada Analisa Cost-Benefit Analysis (CBA) lebih utama dari pada pendekatan retributive.

Metode CBA memberikan jaminan bahwa tujuan mencapai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan dapat dihasilkan secara maksimal, seimbang, dan efisien. Di dalam kerangka perubahan filosofi, visi dan misi penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi ini diperlukan penegasan mengenai peranan dan fungsi korporasi dalam memajukan perekonomian nasional; korporasi seharusnya menjadi tulang punggung (backbone) perekonomian negara, tidak sebaliknya.

Kita saksikan telah banyak perkara korupsi yang melibatkan korporasi selain kasus BLBI, seperti kasus Hambalang, Century, AJR, Asabri dan lain-lain. Di satu sisi terdapat anggapan bahwa langkah hukum dalam perkara korupsi terkait korporasi tersebut merupakan sukses besar dalam pemberantasan korupsi, akan tetapi di sisi lain luput perhatian terhadap perlindungan hak pihak lain (ketiga) selain terdakwa dan korporasinya.

Selain kelemahan tersebut, dalam pemberantasai korupsi atau suap aspek dampak (out come) tidak lagi dipertimbangkan selain hanya out-put dari suatu proses penegakan hukum. Dalam konteks inilah di dalam penegakan hukum perlu diperkuat dengan pendekatan analisis ekonomi tentang hukum (perkara korupsi) atau economic analysis of law (Richard Posner). Pendekatan baru tersebut bagi Indonesia adalah yaitu suatu pemahaman relative baru tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi nasional.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More