Arah Politik Pemberantasan Korupsi di Indonesia: Haruskah Diubah?

Sabtu, 06 November 2021 - 08:01 WIB
loading...
Arah Politik Pemberantasan...
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita. Foto/Dok.SINDOnews
A A A
Prof Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran

PENGALAMAN Indonesia dalam pemberantasan korupsi telah dirintis sejak 60 tahun yang lampau dan menitikberatkan pada strategi represif bertujuan memenjarakan pelaku korupsi sebanyak-banyaknya, akan tetapi mengabaikan strategi pencegahan (preventif), sehingga terjadi ketimpangan antara kedua strategi tersebut yang mengakibatkan ketidakpastian mengenai politik hukum pemberantasan korupsi. Perubahan mendasar terdapat pada UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 yang mengutamakan strategi preventif dan mengutamakan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa korupsi.

Di dalam Pasal 6 tugas KPK ditambah/diperluas meliputi, melindungi hak asasi tersangka dan orang lain yang ada hubungannya dengan tersangka terdakwa, dan tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan diletakkan pada urutan kelima.

Di dalam praktik tugas tersebut dilaksanakan berdampingan satu sama lain. Di dalam konteks pencegahan suap dan korupsi yang menyangkut fungsi pelayanan publik di seluruh kementerian dan lembaga, KPK melakukan koordinasi, supervise, dan monitoring, akan tetapi langkah-langkah tersebut belum cukup memadai disebabkan struktur pemerintahan dalam suatu negara kepulauan sangat luas sekalipun telah diakomodasi oleh 24 kementerian teknis.

Kelemahan sistem birokrasi yang utama terletak pada sistem pengawasan dan sistem kepatuhan penyelenggara negara terhadap tugas dan kewajiban yang telah ditentukan di dalam undang-undang termasuk larangan-larangan yang seharusnya menumbuhkan kesadaran hukum bagi mereka. Hal ini terbukti dimana data KPK tahun 2014 menunjukkan bahwa KPK telah berhasil memasukkan terdakwa sebanyak 340 orang yang berasal dari pejabat tingkat pusat dan daerah kabupaten/kota.

Masalah sistem kepatuhan dan pengawasan terhadap fungsi pelayanan pubik sedemikian sudah tentu berdampak terhadap implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja memerlukan perubahan cara berpikir (mindset) dan perubahan sikap pejabat birokrasi dalam bidang tugasnya. Mengapa? Hal ini disebabkan keberhasilan implementasi UU tersebut berkaitan dengan berhasil atau tidaknya Indonesia membangun sistem perekonomian dan perizinan berusaha berbasis risiko yang selama ini selalu terpuruk dan tertinggal dalam persaingan sehat di bidang perekonomian dengan negara lain.

Di sisi lain fakta penegakan hukum yang “zero tolerance against corruption” dan bersifat agresif telah kontra-produktif yang sangat merugikan negara. Contoh kasus BLBI, uang negara yang dapat diselamatkan hanya Rp114 triliun daripada yang tidak, sebanyak Rp147 triliun. Salah satu contoh kontra-produktif, adalah Tambak Udang Dipasena terletak di Kabupaten Lampung dengan ekspor tertinggi se-dunia.

Hasil ekspor udang Dipasena tahun 1996 sebesar $ 300 juta atau sekitar Rp4 triliun dan devisa yang masuk ke negara sebesar $300 juta/tahun. Di samping hal tersebut telah terjadi masalah sosial, yakni pengangguran karyawan. Mengambil contoh kasus Dipasena tidak berarti bahwa tidak boleh dilakukan penegakan hukum akan tetapi harus dilakukan dengan kehati-hatian (due care), penuh tanggung jawab (responsible), professional, dan dilaksanakan oleh aparatur hukum yang pernuh integritas.

Dalam konteks ini, penegakan hukum yang bersifat retributive dan kontraproduktif harus ditinggalkan karena hukum dan penegakan hukum selain harus memenuhi tujuan kepastian, juga keadilan dan terlebih kemanfaatan yang dapat dipetik daripadanya. Selama ini penegakan hukum selalu mempertimbangkan kepastian dan keadilan yang selalu dipertentangkan dan tujuan kemanfaatan diabaikan; sedangkan tujuan nyata yang diharapkan masyarakat adalah perlindungan masyarakat dan manfaat keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Untuk mengetahui aspek kemanfaatan diperlukan pendekatan efisiensi, maksimisasi dan keseimbangan dalam penegakan hukum dan dampaknya di masa depan. Melihat fakta terjadi hunian lapas yang mengalami over kapasitas mencapai 200 % di sebagaian besar lapas, tentu semakin terbukti bahwa memenjarakan setiap orang yang terlibat tindak pidana termasuk tindak pidana tipikor yang dianggap satu-satunya solusi mengatasi korupsi, tidaklah selalu berakhir keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Fakta yang terjadi sebagaimana diuraikan di atas membuktikan bahwa sudah saatnya kiranya jika diperlukan perubahan politik hukum pada umumnya khususnya pemberantasan korupsi di negeri ini apalagi jika dibandingkan dengan di beberapa negara maju telah tertinggal jauh baik dari aspek filosofi, tujuan dan misi yang seharusnya diemban negara demi satu-satunya tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan sosial untuk 270 juta penduduk. Contoh, perbandingan dalam hal ini adalah kasus suap yang melibatkan Dirut PT Garuda akhir-akhir ini.

Pemberi suap adalah pabrikan pesawat asing (AS, Inggris, dan Perancis) tidak ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, sedangkan tersangka pemberi suap korporasi dari ketiga negara tersebut telah diberikan proteksi oleh Kejaksaan Agung AS, Perancis, dan Inggris dengan syarat yang sangat ketat dan kewajiban membayar denda sebesar 23.6 juta Euro. Kebijakan penegakan hukum terhadap korporasi yang terbukti terlibat tindak pidana suap di tiga negara tersebut disebut Deferred Prosecution Agreement (DPA).

Instruksi Presiden Joko Widodo kepada petinggi hukum agar dilakukan pendampingan atas proyek infrastruktur yang vital dan strategis adalah bertujuan agar tidak lagi terjadi “membunuh tikus dengan membakar lumbungnya” atau dikenal dengan asas subsidiaritas (J.Remmelink). Hal yang sama juga kiranya dapat dilakukan dalam bidang perekonomian sebagaimana diperintahkan UU CK.

Namun demikian cara pendampingan terkait proyek implementasi UU CK di kementerian teknis memerlukan badan khusus yang berfungsi sebagai filter antara kepentingan bisnis berbasis risiko dan kepentingan penegakan hukum. Dalam konteks pembentukan badan tersebut diperlukan terlebih perubahan arah politik hukum dalam pemberantasan suap/korupsi yang jelas dapat dibedakan metode dan tata cara penyelesaian pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana khususnya dalam tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi.

Selama ini dalam praktik, arah politik hukum dalam pemberantasan korupsi secara filosofis berlandaskan pendekatan retributive yang bertujuan pemenjaraan dan pertobatan (kantianisme) yang telah terbukti dalam kenyataan lebih banyak mudarat dari kemaslahatannya; pertobatan tidak terjadi, tetapi biaya negara yang dikeluarkan lebih tinggi daripada pemasukan keuangan negara yang dapat dikembalikan, dan juga masih jauh dari kemanfaatannya. Dalam kaitan pembentukan badan baru sebagaimana disebutkan di atas, maka pendekatan restorative dengan metode berbasis pada Analisa Cost-Benefit Analysis (CBA) lebih utama dari pada pendekatan retributive.

Metode CBA memberikan jaminan bahwa tujuan mencapai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan dapat dihasilkan secara maksimal, seimbang, dan efisien. Di dalam kerangka perubahan filosofi, visi dan misi penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi ini diperlukan penegasan mengenai peranan dan fungsi korporasi dalam memajukan perekonomian nasional; korporasi seharusnya menjadi tulang punggung (backbone) perekonomian negara, tidak sebaliknya.

Kita saksikan telah banyak perkara korupsi yang melibatkan korporasi selain kasus BLBI, seperti kasus Hambalang, Century, AJR, Asabri dan lain-lain. Di satu sisi terdapat anggapan bahwa langkah hukum dalam perkara korupsi terkait korporasi tersebut merupakan sukses besar dalam pemberantasan korupsi, akan tetapi di sisi lain luput perhatian terhadap perlindungan hak pihak lain (ketiga) selain terdakwa dan korporasinya.

Selain kelemahan tersebut, dalam pemberantasai korupsi atau suap aspek dampak (out come) tidak lagi dipertimbangkan selain hanya out-put dari suatu proses penegakan hukum. Dalam konteks inilah di dalam penegakan hukum perlu diperkuat dengan pendekatan analisis ekonomi tentang hukum (perkara korupsi) atau economic analysis of law (Richard Posner). Pendekatan baru tersebut bagi Indonesia adalah yaitu suatu pemahaman relative baru tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi nasional.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1197 seconds (0.1#10.140)