Waspadai Harga Listrik Didikte Asing
Rabu, 03 Juni 2020 - 14:05 WIB
Ketiga, berdasarkan data Kementerian ESDM, dari total pembangkit yang 64.9 GWe, PLN berkontribusi sebesar 40.8 GWe atau 63%, dan sisanya sebesar 24.1 GWe atau 37 % dikontribusikan oleh IPP. Tapi di sisi lain berbasis pada RUPTL 2019-2028, diperkirakan akan ada tambahan pembangkit listrik sebesar 56.4 GWe dimana kontribusi PLN kurang dari 40%, sementara kontribusi IPP sebesar 33.7 GWe atau sekitar 60%-nya.
Dan jika angka tersebut diakumulasi, maka peran IPP bertambah menjadi lebih kurang 50%. Peran IPP yang dominan ini memungkinkan munculnya kartel listrik, dimana harga listrik didikte oleh pihak swasta, termasuk swasta asing. "Cuma yang menjadi masalah sesuai dengan pengakuan Dirut PLN dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI, secara umum harga listrik dari pembangkit PLN kalah efisien dibandingkan dengan IPP," ungkapnya.
Di sisi lain, karena kesulitan dana investasi, Pemerintah pada tahun 2018 mengeluarkan bisnis pembangkit listrik > 10 MWe dari DNI. Itu sebabnya Asing boleh masuk 100% pada bidang usaha ini. Bahkan pemerintah meminta PLN fokus pada bidang transmisi dan distribusi. "Kondisi ini tentu akan mengerdirkan peran PLN dalam menyediakan listrik bagi masyarakat. Dan ini patut dikhawatirkan," papar Mulyanto.
Dia melanjutkan, sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dari negara, sekaligus aktor monopoli bidang transmisi dan distribusi listrik, kedudukan PLN sudah sangat kuat secara konstitusional. Namun, Mulyanto melihat peran negara masih belum maksimal untuk menjadikan PLN sebagai perusahaan listrik yang tangguh.
PLN masih rentan diintervensi oleh kelompok kepentingan tertentu. Akibatnya operasional dan manajemen PLN sering terganggu dan terkesan tidak maksimal melayani masyarakat. Maka itu, Mulyanto mendorong dilakukan reformasi kelembagaan PLN, sehingga PLN semakin efisien, profesional, mandiri dan murah.
Dan jika angka tersebut diakumulasi, maka peran IPP bertambah menjadi lebih kurang 50%. Peran IPP yang dominan ini memungkinkan munculnya kartel listrik, dimana harga listrik didikte oleh pihak swasta, termasuk swasta asing. "Cuma yang menjadi masalah sesuai dengan pengakuan Dirut PLN dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI, secara umum harga listrik dari pembangkit PLN kalah efisien dibandingkan dengan IPP," ungkapnya.
Di sisi lain, karena kesulitan dana investasi, Pemerintah pada tahun 2018 mengeluarkan bisnis pembangkit listrik > 10 MWe dari DNI. Itu sebabnya Asing boleh masuk 100% pada bidang usaha ini. Bahkan pemerintah meminta PLN fokus pada bidang transmisi dan distribusi. "Kondisi ini tentu akan mengerdirkan peran PLN dalam menyediakan listrik bagi masyarakat. Dan ini patut dikhawatirkan," papar Mulyanto.
Dia melanjutkan, sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dari negara, sekaligus aktor monopoli bidang transmisi dan distribusi listrik, kedudukan PLN sudah sangat kuat secara konstitusional. Namun, Mulyanto melihat peran negara masih belum maksimal untuk menjadikan PLN sebagai perusahaan listrik yang tangguh.
PLN masih rentan diintervensi oleh kelompok kepentingan tertentu. Akibatnya operasional dan manajemen PLN sering terganggu dan terkesan tidak maksimal melayani masyarakat. Maka itu, Mulyanto mendorong dilakukan reformasi kelembagaan PLN, sehingga PLN semakin efisien, profesional, mandiri dan murah.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda