Senator: Peran Lembaga Adat Selesaikan Konflik Masyarakat Hampir Hilang

Jum'at, 05 November 2021 - 11:20 WIB
Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto. Foto/Okezone
JAKARTA - Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto menilai peran lembaga-lembaga adat di berbagai desa dalam menyelesaikan konflik masyarakat hampir hilang belakangan ini. Masalah kecil seringkali langsung dibawa ke polisi atau kejaksaan.

“Padahal, lembaga adat di desa-desa selama ini, punya cara sendiri dalam menyelesaikan masalah dan cepat prosesnya,” kata Abraham Liyanto, Jumat (5/11/2021).

Komite I DPD RI sedang menggarap revisi Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Prosesnya sudah masuk tahap finalisasi akhir. Salah satu poin dari revisi itu adalah pembentukan Majelis Perdamaian Desa (MPD).



MPD akan bertugas mendamaikan perselisihan masyarakat yang terjadi di desa. Dia mengatakan MPD disisipkan antara Pasal 68 dan Pasal 69. Ada sembilan pasal yang mengatur lembaga itu yakni Pasal 68 A hingga Pasal 68 I.



Senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur ini menuturkan MPD bersifat adhoc atau sementara yang diketuai oleh kepala desa (kades) dengan anggota dari pimpinan lembaga adat dan tokoh masyarakat. Keanggotaan ditunjuk oleh kades.

“MPD menyelesaikan masalah dengan musyawarah untuk mendamaikan para pihak yang berselisih. Perselisihan bisa perorangan maupun kelompok yang terjadi di desa,” ujarnya.

Abraham menjelaskan MPD menyelesaikan perselisihan sengketa keperdataan, pidana, dan pelanggaran norma atau tradisi masyarakat. MPD dalam menyelesaikan perselisihan harus memperhatikan pranata lokal tradisional yang masih berlaku dan diakui keberadaannya oleh masyarakat desa.

“MPD menyelesaikan masalah dalam waktu paling lama 14 hari kerja sejak permohonan dan laporan diterima,” kata Ketua Kadin Provinsi NTT ini.

Lebih lanjut dia menjelaskan setelah disepakati melalui MPD, perselisihan tidak dapat dilakukan proses hukum dan tidak dapat diajukan ke pengadilan. Tetapi, jika tidak mencapai perdamaian, penyelesaian masalah dapat dilanjutkan melalui proses hukum yang ada.

Dia mengatakan anggota MPD berhak mendapatkan honorarium pertemuan yang diberikan berdasarkan kehadiran. Besaran honorarium ditetapkan oleh bupati atau wali kota.

“Ini terobosan baru dalam revisi UU Desa untuk menyelesaikan berbagai persoalan di desa. Kita coba mencegah agar masyarakat tidak gampang bawa persoalan ke aparat penegak hukum karena proses seperti itu sangat lama dan memakan waktu serta tenaga para pihak bersengketa,” pungkasnya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(rca)
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More